‘No Other Choice’: Tragikomedi Hidup di Dunia Kapitalis yang Makin Tak Memberi Pilihan
“You know what, I’ve got it all,” ujar Man-soo (Lee Byung-hun) penuh kebanggaan di awal No Other Choice. Ia merangkul istrinya, Me-ri (Son Ye-jin), dua anak, dan dua anjing golden retriever kesayangannya di rumah indah yang dikelilingi hutan, hasil dari 25 tahun kerja penuh dedikasi di pabrik kertas Solar Paper.
Kerja kerasnya itu bahkan mengantarkannya dinobatkan sebagai “pulp man of the year” tahun 2019. Hidup Man-soo tampak sempurna, setidaknya sampai kapitalisme—sistem yang memberikannya semua yang ia miliki itu—menampakkan wajah aslinya.
Park Chan-wook, sutradara dengan reputasi sebagai penenun andal satire sosial, dalam film ini mengadaptasi novel The Ax karya Donald E. Westlake. Hasilnya adalah sebuah thriller tragikomedi yang pedih sekaligus luar biasa lucu, tentang bagaimana dunia kerja modern menghancurkan gagasan tentang penghidupan yang jujur.
Bintang Squid Game Lee Byung-hun menyuguhkan penampilan memikat potret pekerja yang tak hanya hidupnya amburadul pasca-dipecat dari pekerjaannya, tapi juga kehilangan martabat di tengah sistem ekonomi yang semakin mencekik.
Baca juga: Kontroversi ‘Squid Game 2’: Catatan Kriminal Para Aktornya sampai Tokenisme Karakter Transgender
Tragikomedi Kapitalisme
Setelah 25 tahun mengabdi, kabar paling ditakutkan semua pegawai kantoran mendatangi Man-soo. Perusahaan tempat ia bekerja diakuisisi Amerika, dan Man-soo diberi tahu bahwa mereka “tidak punya pilihan” selain memutuskan hubungan kerja. Judul No Other Choice di sini ternyata merujuk pada justifikasi klise khas korporasi global saat mengorbankan para pekerja.
Man-soo berusaha tetap tegap berdiri. Ia melamar pekerjaan di berbagai perusahaan kertas, termasuk Moon Paper, tapi persaingan untuk mendapatkan posisi yang ia incar terlalu ketat. Industri kertas tengah mengalami konsolidasi, lowongan makin sedikit.
Otomatisasi pun mengambil alih, mengubah industri yang awalnya padat karya jadi digerakkan oleh robot-robot. Untuk menyambung hidup sembari mencari lowongan yang lebih baik, ia pun kerja serabutan jadi pengangkut kotak kardus di gudang, sementara istrinya menjadi asisten dokter gigi. Tagihan menumpuk, langganan Netflix disetop, dan rumah nyaman yang Man-soo renovasi dengan tangannya sendiri itu pun terpaksa dijual.
Ketika jalan buntu semakin di depan mata, muncul lah sebuah ide keji: menyingkirkan para pelamar lain yang jadi saingannya.
Man-soo menciptakan perusahaan fiktif untuk menjebak para kandidat lain, lalu berencana membunuh mereka satu per satu. Namun, rencana busuk ini tidak berjalan semudah teorinya. David Ehrlich dalam ulasannya di IndieWire dengan sempurna mendeskripsikan bagaimana Man-soo beroperasi sebagai kriminal gadungan: ia memplot rencananya bak villain dari Oldboy atau heroine dari Lady Vengeance, tapi mengeksekusinya layaknya tokoh kartun Wile E. Coyote.
Dengan kata lain, rencananya terdengar bengis dan terstruktur, tapi pelaksanaannya konyol dan serampangan. Dan dari sini lah gemuruh tawa penonton berasal.
Absurditas situasi ini mengedepankan penyadaran, bahwa yang Man-soo anggap sebagai ‘lawan’, pada dasarnya hanyalah versi yang berbeda dari dirinya. Satire ini menunjukkan betapa kompetisi di dunia kerja sering kali hanya pertarungan antar-rorang yang sama-sama terjebak dalam sistem brutal, saling mematikan demi bisa menggapai remah-remah kesempatan.
Park Chan-wook, seperti biasa, membungkus cerita ini dengan visual indah yang kontras dengan tindakan karakter-karakternya. Gerak kamera dan penggunaan match cut punya peran penting dalam mempertinggi level absurditas situasi.
Bersama sinematografer Kim Woo-hyung, ia menampilkan simetri gambar, transisi indah, hingga komposisi cermat yang memperlihatkan dunia teratur namun penuh kekacauan moral. Banyak adegan yang, secara visual, disunting menjadi saling tumpang tindih; seakan-akan hidup Man-soo memang tak bisa dipisahkan dari runtuhnya sistem sosial-ekonomi di sekitarnya.
No Other Choice menyingkap wajah kapitalisme yang kini sudah berada di tahap lanjut. Di mana manusia makin tak bernilai di mata sistem, direduksi menjadi angka-angka yang mudah dipangkas demi efisiensi. No Other Choice memotret bagaimana situasi ini memengaruhi tata laku manusia di dalamnya guna bisa tetap bertahan. Tak ada lagi yang mengejar penghidupan jujur dan main kotor sudah jadi norma.
Baca juga: Why Netflix’s Squid Game Becomes a Streaming Phenomenon?
Hidup di Dunia Tanpa Pilihan
Seperti sudah disinggung, No Other Choice adalah adaptasi dari novel The Ax, yang sebelumnya pernah difilmkan oleh sutradara legendaris Costa-Gavras dalam Le couperet (2005). Park Chan-wook diketahui sudah lama ingin menggarap versi Koreanya, bahkan film ini didedikasikan untuk Costa-Gavras, sementara istri dan anak sang sutradara terlibat sebagai produser.
Tradisi adaptasi ini memperlihatkan bagaimana kisah tentang pekerja yang didepak dari sistem, lalu terdorong pada tindakan ekstrem, selalu relevan lintas budaya dan generasi. Jika Le couperet menyoroti krisis pekerjaan di Prancis pasca-globalisasi, Park membawa isu tersebut ke konteks kapitalisme Asia Timur yang tak kalah brutal. Dalam konteks ini, No Other Choice menjadi bagian dari percakapan panjang tentang relasi manusia dengan mesin ekonomi global yang tak kenal ampun.
Bagi penonton Indonesia, pesan ini sudah terasa terlalu dekat dan familiar. Gelombang PHK di berbagai sektor, dari startup digital hingga industri manufaktur, telah menghantui banyak pekerja dalam beberapa tahun terakhir. Narasi “efisiensi,” “restrukturisasi,” atau “transformasi digital” seringkali jadi eufemisme yang menutupi kenyataan pahit bahwa ribuan orang harus kehilangan pekerjaan mereka.
Padahal mencari kerja baru bukanlah perkara mudah. Layaknya Man-soo, banyak orang tiba-tiba menemukan diri mereka tak lagi relevan di pasar kerja yang semakin sempit.
Fenomena perusahaan melakukan kontrak jangka pendek, outsourcing, hingga menetapkan jam kerja fleksibel yang justru memberatkan pekerja, menciptakan generasi baru Man-soo di negeri ini. Perusahan-perusahaan macam itu mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai kriminal, tapi tetap merupakan efek domino dari sistem yang menolak memberi ruang bagi stabilitas. Dalam situasi demikian, ungkapan “tidak ada pilihan lain” sering muncul bukan hanya dari mulut bos perusahaan, tetapi juga dari pekerja yang dipaksa bertahan dengan syarat-syarat kerja tidak manusiawi.
Tragikomedi yang dihidangkan Park Chan-wook juga menyoroti absurditas hidup dalam sistem ini. Adegan Man-soo yang hendak menjatuhkan pot bunga ke pesaingnya, misalnya, memang punya nuansa komedi, tapi tawa itu cepat berlalu. Penonton sadar bahwa kekerasan lahir dari keputusasaan manusia yang kehilangan martabat akibat logika ekonomi yang hanya mengenal kompetisi. Semakin kacau hidup Man-soo, semakin rapi bahasa visual yang Park gunakan. Kontras ini membuat film tampil sebagai tragikomedi kapitalisme: indah dilihat, namun pahit dirasakan.
Film ini pada akhirnya menghadirkan cermin bagi kita: dalam membunuh pesaing, Man-soo sejatinya membunuh dirinya sendiri. Ia adalah korban sekaligus pelaku, manusia yang dipaksa menginternalisasi logika kapitalisme: kalau tidak membunuh, maka akan dibunuh. Sama seperti di dunia nyata, banyak pekerja dipaksa ikut “permainan” ini, meski tahu tidak ada yang benar-benar menang.
Lalu, apakah benar kita tidak ada pilihan lain?
Film ini menunjukkan bahwa logika kapitalisme selalu membatasi imajinasi kita, membuat kita percaya bahwa hanya ada satu jalan: bersaing mati-matian. Tapi mungkin, di luar layar, kita bisa membayangkan ulang bentuk solidaritas, kolektivitas, atau bahkan sistem ekonomi yang lebih manusiawi. Karena jika tidak, kita semua bisa menjadi Man-soo berikutnya: pekerja yang, demi bertahan hidup, berubah menjadi monster (sekaligus bahan tertawaan) dalam sistem yang semakin kehilangan hati.
















