Issues Politics & Society Prose & Poem

Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Novel Adania Shibli ‘Minor Detail’ memperlihatkan kekejaman dari pendudukan Israel. Mereka memerkosa, membunuh, dan menghapus jejak warga Palestina dari Bumi.

Avatar
  • November 10, 2023
  • 9 min read
  • 1638 Views
Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

*Peringatan Pemicu: Gambaran kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual.

20 Oktober lalu seharusnya jadi hari kemenangan buat penulis Palestina Adania Shibli. Ia dijadwalkan menerima penghargaan LiBeraturpreis 2023 atas novelnya “Minor Detail” di acara Frankfurt Book Fair (FBF) 2023. Penghargaan ini adalah hadiah tahunan yang diberikan kepada penulis perempuan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Arab. Sayang, penghargaan ini urung Shibli dapat. 

 

 

Menurut keterangan Asosiasi LiProm, pemberi penghargaan, ada perang yang dimulai Hamas hingga menyebabkan jutaan orang di Israel dan Palestina menderita. Alhasil, keputusan penundaan harus diambil. Shibli sendiri menurut keterangan Asosiasi LiProm juga sudah menyepakati keputusan ini.

Namun, agensi sastra Shibli menyangkal pernyataan itu. Dikutip dari The Guardian, pihak Shibli menegaskan, keputusan pembatalan penghargaan LiBeraturpreis tidak dibuat atas persetujuannya. Apa yang dilakukan oleh penyelenggara penghargaan LiBeraturpreis ini sendiri langsung menuai kecaman. Sebanyak 350 penulis di dunia mengecam tindakan FBF karena dianggap telah membungkam bahkan mematikan suara perempuan Palestina yang selama ini hidup dalam pusaran kekerasan pendudukan Israel. 

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Dehumanisasi Palestina oleh Israel

Minor Detail bercerita tentang kengerian pendudukan Israel pada Palestina yang dibagi dalam dua bagian berlatar waktu dan sudut pandang berbeda, tapi punya benang merah sama. Pada bagian pertama, Shibli membawa pembaca ke 1949 lewat sudut pandang pimpinan militer Israel, komandan unit tanpa nama yang ditugaskan melakukan pembersihan etnis di wilayah Negev. 

Sementara, bagian dua dari novel ini bergerak maju dua dekade kemudian di Kota Ramallah, Tepi Barat yang diduduki Israel. Narator utama berganti menjadi perempuan Palestina yang tak sengaja membaca potongan informasi di koran tentang pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara Israel terhadap perempuan Badui Palestina pada 1949.

Detail penting tentang pembersihan etnis di wilayah Negev serta pemerkosaan dan pembunuhan oleh tentara Israel yang ditulis Shibli berasal dari insiden nyata. Dikutip dari laporan investigasi Haaretz pada 2003, pada 12 Agustus 1949, anggota unit Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di pos terdepan Nirim di Gurun Negev merayakan keberhasilan pendirian kamp baru mereka, dekat dengan garis gencatan senjata yang baru saja disepakati dengan Mesir. 

Mereka sebelumnya ditugaskan untuk mengamankan garis perbatasan selatan baru antara Israel dan Mesir dengan cara menyingkirkan para “penyusup” (orang Palestina). Selama penugasan itu, mereka menangkap seorang perempuan Badui Palestina yang ditemukan tergeletak melingkar bersama seekor anjing dan beberapa “penyusup” lain yang sudah berhasil ditembak mati. Lewat pemungutan suara, perempuan Badui Palestina itu secara bergilir diperkosa beramai-ramai oleh lebih dari dua puluh tentara termasuk komandan unit dan supir untuk kemudian dieksekusi mati dan dikubur dalam kuburan dangkal. Semua dilakukan dalam persetujuan komandan unit.

Baik dalam laporan investigasi Haaretz maupun narasi Shibli, tentara Israel digambarkan secara terang-terangan tak pernah memandang Palestina sebagai manusia yang sederajat dengan mereka. Mereka menganggap Palestina sebagai sub-human, orang bar-bar, atau terbelakang, sehingga memperlakukan mereka semena-mena bahkan membunuhnya. Dehumanisasi, itu yang mereka lakukan pada Palestina.

Dalam Minor Detail, dehumanisasi ini tergambarkan tak sebatas lewat pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Badui Palestina saja, tetapi lewat watak komandan unit. Dengan narasi mendetail, Shibli menggambarkan komandan unit Israel sebagai orang yang terobsesi dengan kebersihan diri. Ini adalah caranya untuk menempatkan metafora dari “obsesi” Israel dalam membersihkan Palestina yang dianggap sebagai kotoran yang perlu dibasmi. 

Metafora ini terlihat jelas ketika sang komandan unit merasa jijik ketika mencium bau tubuh dan melihat penampilan perempuan Badui Palestina. Ia cepat-cepat menyuruhnya mandi di depan para tentara lain dalam keadaan telanjang, berganti baju, dan memotong rambutnya secara paksa. Hal yang sayangnya tidak jua mengubah penampilannya yang dia anggap asing dan hina.

Caranya bermain metafora bukan sebuah kebetulan belaka. Ini adalah obsesi nyata Israel yang salah satunya tercermin lewat pernyataan Benjamin Netanyahu sebelum serangan udara besar-besaran Israel yang menewaskan 500 orang di Rumah Sakit Baptis Al-Ahli. Dalam cuitannya di X, ia melabeli warga Palestina sebagai “anak-anak kegelapan” yang perlu dibasmi dan menjanjikan kemenangan bagi Israel sebagai “anak-anak cahaya”. Ia juga mengatakan ini adalah perkara kemanusiaan (Israel) vs hukum rimba (Palestina).

Dalam kabinet pemerintahan yang sama, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant juga membenarkan tindakan pemutusan pasokan air, makanan, dan bahan bakar sebagai taktik berperang melawan manusia hewan (human animals). Dehumanisasi yang dilakukan Gallant dalam Minor Detail menjadi awal dari pemerkosaan dan pembunuhan Israel terhadap perempuan Badui. 

Menempatkan Palestina sebagai manusia hewan bermula saat komandan unit tidak bisa membedakan tangisan perempuan Badui dan gonggongan anjing. Buatnya, gonggongan dan Bahasa Arab adalah sama. Sama-sama hina dan sama-sama tak bisa ia mengerti, karena itu tak apa jika ia diperkosa dan dibunuh.

Baik dalam laporan investigasi Haaretz maupun narasi Shibli, tentara Israel digambarkan secara terang-terangan tak pernah memandang Palestina sebagai manusia yang sederajat dengan mereka. Mereka menganggap Palestina sebagai sub-human, orang bar-bar, atau terbelakang, sehingga memperlakukan mereka semena-mena bahkan membunuhnya. Dehumanisasi, itu yang mereka lakukan pada Palestina.

Tak kalah penting, dehumanisasi terhadap Palestina juga tergambar dari pidato si komandan unit. Untuk menyemangati bawahannya dan menekankan betapa mulianya tugas mereka, komandan unit menggambarkan Negev sebagai gurun tandus yang tadinya merupakan tempat terbelakang karena disalahgunakan oleh para orang Arab. Pun, hewan-hewan mereka dapat menjelma menjadi wilayah yang berkembang serta beradab di bawah kendali Israel. 

Pemilihan kata yang dilakukan Shibli lewat pidato komandan unit ini mengacu pada kecenderungan politisi dan pendukung Israel untuk menggunakan istilah “kemajuan” untuk menjustifikasi segala jenis kejahatan kemanusian mereka terhadap Palestina. Hal ini salah satunya terlihat lewat deklarasi PM pertama Israel David Ben-Gurion pada 1954 yang mengungkapkan agenda Zionis untuk membersihkan Palestina dan menjadikan wilayah mereka “mekar” layaknya bunga (maju). 

Baca Juga: “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan

Bernarasi untuk Bersaksi atas Diskriminasi

Tahrir Hamdi, Profesor Studi Dekolonial di Universitas Terbuka Arab, Yordania dalam penelitiannya Bearing witness in Palestinian resistance literature (2011) menyatakan, dalam karya sastra ada sebuah sub-genre yang dikenal sebagai bearing witness atau kesaksian. Sub-genre ini membahas kebutuhan jenis sastra yang mampu mengomunikasikan masa kini tentang masa lalu yang sengaja ditekan dan dibungkam oleh narasi dominan. Karena itu, narasi yang coba dibangun dalam subgenre ini difokuskan pada peristiwa masa lalu yang tragis dan berdampak pada realitas masa kini. 

Dalam kasus Palestina menurut Hamdi, bearing witness berarti menggabungkan repertoar yang tidak hanya merekam kebenaran dari masa lalu Palestina yang tragis. Akan tetapi juga melakukan interogasi menyeluruh terhadap masa lalu tersebut yang ditujukan kepada para pelaku dan mereka yang menjadi korban. 

Hamdi mencatat karya penulis Palestina selalu dilatarbelakangi oleh ancaman penghapusan identitas, serta hilangnya tanah dan sejarah Palestina. Karena itu, bearing witness menjadi alat perlawanan penulis Palestina terhadap pembunuhan kebebasan setiap warga Palestina. Bearing witness juga tak luput digunakan oleh Shibli untuk memperlihatkan kekejaman pendudukan Israel terhadap Palestina. Ia melakukannya dengancara mengangkat narator perempuan Palestina di bagian kedua.

Melalui usaha narator perempuan Palestina yang melakukan investigasi terhadap pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Badui, Shibli menceritakan realitas Palestina yang berada dalam kondisi isolasi permanen. Mengunjungi arsip museum yang terdengar mudah dan lumrah dilakukan hampir setiap warga dunia justru berubah jadi malapetaka bagi tokoh perempuannya.

Si tokoh perempuan merupakan penduduk Area A yang harus melakukan perjalanan ke Area C, tempat arsip museum berada. Buat warga yang tinggal di wilayah pendudukan Israel, si tokoh perempuan tidak bisa dengan bebas pergi ke Area C. Ia cuma punya kartu identitas hijau yang hanya bisa membawanya paling jauh ke Area B, itu pun kalau tidak ada keadaan politik atau militer luar biasa yang jadi penghambatnya.  

Maka itu, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk bisa ke arsip museum adalah dengan meminjam kartu identitas biru milik temannya. Dengan cara ini, ia setidaknya bisa ke Area C tapi dengan taruhan nyawa. 

Pembatasan pergerakan si tokoh perempuan sebagai warga Palestina bukan isapan jempol semata. Dilansir dari laporan Amnesty International pada 2022, sejak pertengahan 1990-an pihak berwenang Israel telah memberlakukan pembatasan pergerakan ketat terhadap warga Palestina. Jaringan pos pemeriksaan militer, penghalang jalan, pagar dan struktur lainnya mengontrol pergerakan warga Palestina di dalam Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), dan membatasi perjalanan mereka ke Israel atau ke luar negeri. 

Pagar sepanjang 700 km, yang sampai kini masih diperluas Israel mengisolasi Palestina di “zona militer”, dan mereka harus mendapatkan beberapa izin khusus setiap kali mereka masuk atau meninggalkan rumah mereka. Hampir tidak mungkin bagi warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat untuk bepergian ke luar negeri atau ke bagian OPT lainnya. Tak heran, sistem izin di OPT kemudian dinyatakan Amnesty International sebagai simbol dari diskriminasi terbuka Israel terhadap Palestina. 

Bearing witness lewat kehadiran narator perempuan juga bisa dilihat dari perubahan peta Palestina. Shibli bilang pada Bomb Magazine, penghapusan linguistik pada peta adalah saat kita pertama kali mengalami pengkhianatan terhadap bahasa. 

Israel menduduki wilayah Palestina lewat pembunuhan dan pengusiran paksa para warganya. Mereka lalu menamai wilayah pendudukan mereka itu dengan nama baru. Tindakan ini sangat politis, bertujuan untuk menyangkal dan menghapus eksistensi Palestina. Dalam Minor Detail, pembaca dapat melihatnya lewat narator perempuan yang selalu diliputi aura keputusasaan, karena tiap kali ia melihat peta Palestina 1948, wilayah yang ia kunjungi sudah berganti nama dengan tampilan yang begitu asing.

Nama-nama kota dan desa di rambu-rambu jalan, papan-papan reklame yang ditulis dalam Bahasa Ibrani, gedung-gedung baru, bahkan ladang-ladang luas yang berbatasan dengan cakrawala di sisi kiri dan kanannya, semua kini menegaskan ketiadaan sesuatu yang berbau Palestina. Israel seperti yang dilaporkan Amnesty Internasional secara sistematis melakukan politik apartheid. Perampasan dan pemindahan warga Palestina dari rumah mereka adalah pilar penting sistem apartheid

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Sejak pendiriannya, Israel memberlakukan perampasan tanah besar-besaran dan kejam terhadap warga Palestina, dan terus menerapkan berbagai undang-undang dan kebijakan untuk memaksa warga Palestina keluar dari tanahnya sendiri. Sejak 1948, Israel telah menghancurkan ratusan ribu rumah Palestina dan properti lainnya di semua wilayah di bawah yurisdiksi dan kendali efektif Israel. Lalu menggantinya menjadi milik mereka.

Terakhir, untuk menekankan kesaksian warga Palestina terhadap kekejaman pendudukan Israel, Shibli tak sungkan bernarasi tentang bagaimana normalisasi kekerasan yang dialami warga Palestina. Secara mendetail sejak dimulai bagian kedua, Shibli menarasikan bagaimana bunyi tembakan, kendaraan militer seperti helikopter, pesawat perang, tank dan suara sirene ambulans sudah berbaur satu dengan suara gonggongan anjing yang ia dengan tiap hari.

Ia bahkan sudah tak bisa merasakan emosi apa-apa lagi saat ia terpaksa harus mencari jalan lain untuk pergi ke kantor saat tiba-tiba dua tentara Israel menghadang dan mengarahkan pistol kepadanya. Situasi ini begitu lumrah terjadi dalam waktu yang lama. Tidak banyak orang yang masih hidup saat ini termasuk dirinya yang akhirnya bisa mengingat detail-detail kecil tentang bagaimana kehidupan sebelum semua ini terjadi. Si narator bagai disuntik mati. Terlalu banyak kekerasan yang dia alami sebagai warga Palestina sampai ia sudah tidak punya kapasitas mengelola rasa takut dan sakit yang bercampur dengan kemarahan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *