#VampirData: Mimpi Utopis di Balik Dominasi Miliarder AI
Di balik teknologi AI ada mimpi utopis dan dominasi miliarder teknologi yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Artikel ini adalah bagian terakhir dari seri terjemahan isi siniar teknologi sayap kiri, Tech Won’t Save Us, oleh jurnalis teknologi asal Kanada, Paris Marx. Seri khusus empat bagian ini berjudul “Vampir Data”.
Sebuah artikel di The Intercept yang ditulis Malcom Harris menjelaskan bagaimana para miliarder teknologi menganut politik sayap kanan ekstrem—tak heran bila mereka merengkuh Donald Trump. Hal ini tidak hanya untuk meningkatkan kekuatan mereka, namun juga untuk mencoba mewujudkan visi fiksi ilmiah di mana mereka melihat manusia menyatu dengan mesin, dan bahkan mungkin hidup dalam simulasi komputer.
Uang mengalir ke industri teknologi, dan itu berarti ide dan visi para pebisnis teknologi tentang masa depan—yang paling tidak masuk akal sekalipun—ditanggapi dengan lebih serius, terutama ketika ide-ide itu mulai diposisikan sebagai bagian penting rencana bisnis ambisius mereka.
Baca juga: AI Semakin Populer di Pilpres 2024, Apa Dampaknya di Masa Depan?
Salah satu konsep ekstrem yang diagung-agungkan oleh miliarder teknologi seperti Sam Altman, Bill Gates, dan Elon Musk adalah longtermism, sebuah visi yang meyakini bahwa jauh di masa depan, manusia akan mengolonisasi galaksi dan menyebar ke planet-planet lain.
Agar visi masa depan ini tercapai, mereka ingin membangun teknologi digital secanggih mungkin, termasuk kecerdasan buatan alias AI. Itulah sebabnya miliarder teknologi seperti Altman sangat bernafsu membangun pusat data yang terus semakin besar, tanpa peduli jumlah energi atau air yang mereka kuras atau dampak yang lebih luas terhadap masyarakat lokal.
Inilah sebabnya para miliarder teknologi kurang peduli dengan tantangan yang dihadapi umat manusia saat ini. Visi longtermism mereka terfokus pada hal-hal di masa depan yang jauh, yang memberi mereka justifikasi moral untuk menimbun kekayaan demi membangun teknologi kolonisasi angkasa. Sementara itu, banyak orang kelaparan, tak punya tempat tinggal, sulit mengakses layanan kesehatan, dan berjuang menghadapi krisis iklim yang semakin parah.
Banyak penganut longtermism ini menganggap krisis iklim bukan ancaman nyata. Mereka percaya bahwa manusia tidak akan punah sepenuhnya, dan akan mampu membangun kembali peradaban, termasuk menjelajah luar angkasa. Pandangan ini tidak bermoral, namun mereka meyakini hal tersebut dapat dibenarkan.
Baca juga: Dear Mahasiswa yang Hobi Pakai AI, Ada Risiko dan Privasi yang Jadi Taruhan
Teknologi Tidak Netral
Satu-satunya yang dapat menghentikan para miliarder dengan visi utopis ini adalah partisipasi publik yang demokratis. Inilah sebabnya ideologi yang berkembang di kalangan elite Silicon Valley—pusat teknologi di Amerika Serikat—kian condong ke arah anti-demokrasi. Mereka bahkan menemukan sekutu kuat dalam gerakan sayap kanan di luar industri teknologi.
Berbekal dukungan kubu sayap kanan dan pemujaan berlebihan terhadap teknologi, mereka menyatakan masa depan harus dibentuk oleh para miliarder. Hal ini berdampak pada hak-hak pekerja, lingkungan hidup, dan kemajuan sosial.
Perangkat AI berperan memperluas pengintaian (surveillance), memediasi sebanyak mungkin interaksi kita melalui platform digital, dan sebagai alasan untuk membangun pusat data besar-besaran di seluruh dunia. Inilah cara mereka memperkuat kuasa, ketergantungan digital, serta dominasi ide dan visi mereka.
“Jika kita memiliki pemahaman tekno-politik tentang apa yang sedang terjadi, kita menyadari bahwa teknologi dan politik tidak terpisah, melainkan saling koproduktif,” ujar ahli komputasi Dan McQuillan, dosen di Goldsmiths University dan penulis Resisting AI dalam wawancara dengan Paris Marx.
“…Saya cenderung melihat AI memiliki kecenderungan menuju solusiisme yang bersifat fasis.”
Secara teori dan praktik, teknologi AI dapat digunakan untuk melakukan hal-hal baik dan bermanfaat. Namun, argumen McQuillan merujuk pada hal yang lebih mendalam: teknologi tidaklah netral.
Pada dasarnya, teknologi bersifat politis, mengingat sumber daya dan penggunaannya didorong oleh politik dunia di sekitarnya. Saat ini, AI telah digunakan untuk melakukan diskriminasi dalam sistem imigrasi (seperti yang dilaporkan Amnesty International), digunakan oleh Israel untuk menarget Gaza, membuat teknologi pengintaian, dan banyak hal berbahaya lainnya.
Liputan humas dan media sering kali berfokus pada potensi penerapan AI yang bermanfaat, banyak di antaranya yang dibesar-besarkan atau bahkan sepenuhnya fiktif. Sementara itu, konsekuensi yang jauh lebih besar hampir tidak mendapat perhatian.
Ketika para pengembang teknologi ini menganut politik anti-demokrasi dan semakin konservatif secara sosial, sementara masyarakat luas juga bergerak ke arah yang sama, apakah kita benar-benar ingin AI yang lebih canggih berada di tangan mereka?
Kampanye penolakan ekspansi pusat data skala besar saat ini berkaitan dengan isu air, energi, dan sumber daya mineral yang digunakan untuk membuat chip yang menggerakkan mesin-mesin itu. Namun, kampanye ini dapat diperluas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar.
Baca juga: Kerentanan Anak dari Ancaman Pelecehan Seksual Lewat Kecanggihan AI
Hanya Ada Satu Kata: Lawan
Sudah saatnya kita berdiskusi tentang masa depan kita bersama dan peran teknologi digital di dalamnya, yang tidak dibajak tipuan fiksi ilmiah para miliarder teknologi.
Di seluruh dunia, dorongan untuk membangun lebih banyak pusat data untuk melayani dahaga komersial dan kuasa raksasa teknologi terus berlanjut. Namun ada juga penolakan yang berhasil, seperti moratorium sementara di Irlandia dan Singapura atau proyek-proyek yang terhenti atau dikalahkan di Chile dan Amerika Serikat.
Selain itu, ada upaya regulasi dan penegakan hukum yang semakin luas seiring dengan semakin banyaknya warga yang muak dengan penyalahgunaan oleh perusahaan teknologi yang merasa mereka kebal hukum. Di semakin banyak negara, masyarakat menuntut kembalinya kedaulatan digital mereka.
Kehebohan seputar AI generatif dan pembangunan pusat data tidak hanya menyoroti besarnya biaya material yang ingin diinvestasikan oleh Silicon Valley untuk masa depan, tetapi juga menunjukkan bagaimana janji revolusi internet telah disia-siakan oleh mereka yang dibutakan kekayaan dan kekuasaan.
Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah mereka yang seharusnya menentukan arah zaman, atau sudah saatnya bagi kita untuk secara kolektif merebut kembali kekuasaan itu?
Apakah kita benar-benar perlu berkorban begitu banyak untuk membangun penyimpanan dan kapasitas server demi memenuhi tuntutan pertumbuhan industri teknologi?
Atau, bisakah kita secara signifikan mengurangi pengorbanan ini dengan membongkar sistem pengawasan massal, menghentikan upaya mediasi digital yang begitu menyeluruh ini, dan menolak otomatisasi pengambilan keputusan yang meluas?
Saya yakin, bukan hanya kita bisa melakukannya—kita harus melakukannya.
Baca bagian pertama, kedua, dan ketiga dari serial #VampirData.
Antonia Timmerman adalah jurnalis teknologi dan bisnis di Jakarta.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari