Culture Screen Raves Technology

Betulkah Gen Z Akan Membunuh Sinema?

Rentang perhatian yang menurun dan konsumsi konten media sosial yang meningkat di kalangan Gen Z perlu jadi perhatian—kalau tidak diskusi konstruktif.

  • May 5, 2025
  • 5 min read
  • 1560 Views
Betulkah Gen Z Akan Membunuh Sinema?

Minat Gen Z di India terhadap bioskop berubah. Mereka tidak melihat bioskop sebagai medium utama untuk menikmati narasi visual. Perubahan perilaku Gen Z ini, mau tak mau berdampak pada industri film di India. Catatan itu hadi dalam Impact of Cinema Industry on Changes in Behavioural and Consumption Patterns of Gen Z, penelitian yang dilakukan Kumar dkk (2024).

Fakta itu sejalan dengan survei terbaru Deloitte. Mereka menyebut 56 persen Gen Z dan 43 persen Milenial menganggap konten di media sosial lebih relevan daripada acara TV premium maupun film berbayar. Survei Maret 2025 kemarin itu meng-highlight durasi atensi Gen Z yang lebih menghabiskan sekitar 50 menit lebih lama dari rata-rata pengguna plartform media sosial. Mereka juga menghabiskan 44 menit lebih sedikit dari rata-rata penonton serial TV dan film berbayar.

Temuan-temuan ini membawa kekhawatiran yang muncul di banyak diskusi publik: Benarkah generasi Z mulai kehilangan minat pada film?

Sebelum buru-buru menyimpulkan Gen Z sedang “membunuh” sinema, ada baiknya kita memahami dinamika sebenarnya. Sebab dalam banyak kasus, yang terjadi bukanlah penurunan minat terhadap film, melainkan perubahan bentuk keterlibatan dan ekspektasi yang dimiliki Gen Z terhadap film itu sendiri.

Tidak bisa dimungkiri, dalam kultur visual hari ini, generasi Z hidup di tengah arus informasi yang terus mengalir tanpa henti. Layar ponsel mereka tidak pernah benar-benar mati, dan perhatian mereka dibagi dalam waktu yang sangat singkat. 

Banyak diskursus menyebutkan bahwa mereka memiliki attention span pendek, tapi mungkin yang lebih akurat adalah: Mereka sangat selektif terhadap apa yang layak mendapatkan perhatian.

Baca juga: Apa Itu YONO? Tren Hidup Gen Z yang Viral di Media Sosial

Narasi Panjang vs Kultur “Swipe”

Pengalaman menonton film di bioskop adalah pengalaman linear dan panjang. Ia menuntut komitmen waktu, ruang, dan perhatian yang stabil. Duduk selama dua jam di ruang gelap untuk menyimak alur cerita yang kompleks kadang terasa seperti tugas berat bagi seseorang yang terbiasa menerima informasi dalam bentuk kilat; baik dalam bentuk utas Twitter, potongan TikTok, atau komik ringkas di Instagram.

Perubahan ini tidak bisa dipandang sebagai degradasi budaya menonton, melainkan hasil dari transformasi kebiasaan media yang lebih besar. Dalam studi iGeneration and Cinema (Fanchi dkk., 2018), disebutkan bahwa preferensi Gen Z terhadap narasi bukan hilang, tetapi bermigrasi: Dari bioskop ke streaming, dari alur linier ke potongan-potongan konten yang bisa diakses kapan saja.

Menariknya, Gen Z tidak hanya menonton film, mereka juga mengolahnya kembali. Potongan adegan film yang diunggah ulang di TikTok dengan suntingan musik sedih, meme karakter antagonis yang dibingkai secara simpatik, atau komentar sinis terhadap naskah film menjadi cara baru untuk mengekspresikan keterlibatan. Film, bagi mereka, adalah bahan mentah untuk kreativitas digital, bukan produk final untuk dikonsumsi pasif.

Kritik bahwa Gen Z “tidak bisa fokus” kerap datang dari kacamata generasi yang terbiasa dengan narasi panjang dan mendalam. Padahal, bisa jadi perhatian Gen Z tidak pendek, tetapi tersebar. Mereka tidak merasa perlu duduk diam selama dua jam untuk satu film, karena dalam rentang waktu yang sama mereka bisa mengeksplor sepuluh film melalui sepuluh video TikTok berdurasi satu menit—lengkap dengan komentar sarkastik, interpretasi alternatif, dan teori konspirasi yang lebih menarik dari film aslinya.

Dalam riset Borja dkk. (2025) tentang kebiasaan menonton Gen Z, ditemukan bahwa mereka cenderung lebih memilih format streaming yang fleksibel dan bisa diakses kapan saja. Bioskop kalah oleh kenyamanan. Bukan karena filmnya tidak menarik, tapi karena formatnya tidak relevan dengan ritme hidup digital yang cepat dan multitasking. Film yang tidak bisa di-pause atau di-skip terasa seperti kendala, bukan pengalaman imersif.

Namun, tentu tidak semua pengalaman film tergerus. Film-film pendek, miniseri, dan dokumenter yang dikemas dalam format episodik singkat justru mengalami kebangkitan. Format ini sejalan dengan cara konsumsi Gen Z yang lebih adaptif.

Baca juga: Surat untuk Gen Z dari Kami Generasi yang Mengalami Langsung Dwifungsi ABRI

Menonton Sebagai Proses Sosial Digital

Pergeseran ini juga menyentuh aspek sosial dari pengalaman menonton. Jika dulu bioskop adalah tempat bersama untuk tertawa dan menangis, kini komunitas daring mengambil alih fungsi itu. Kolom komentar, duet TikTok, dan thread fan theory di Reddit menciptakan ruang diskusi yang lebih luas, lebih interaktif, dan lebih egaliter.

Go & Kang (2023) mencatat bahwa Gen Z cenderung memilih film atau serial yang memungkinkan keterlibatan digital lanjutan. Bukan hanya menonton, tapi juga membicarakan, mengomentari, bahkan menciptakan ulang. Pengalaman sinema bukan lagi tentang menyaksikan narasi dari awal sampai akhir, tetapi tentang bagaimana film itu bisa di-share, di-remix, dan dijadikan identitas digital.

Baca juga: Menonton Kembali ‘Turang’, Film yang Dilarang dan Dilenyapkan Orde Baru

Ketika karakter film viral karena ekspresi wajahnya menjadi meme, atau dialog film dipakai sebagai sound TikTok, itu bukan tanda dekadensi, melainkan bentuk baru dari keterlibatan budaya. Kritik dan afeksi hadir beriringan. Film yang gagal membekas di ruang digital—meskipun secara teknis hampir tak bercelah—lebih cepat dilupakan daripada film yang “jelek tapi relatable”.

Dalam hal ini, Gen Z justru lebih sadar akan relasi antara media dan identitas. Mereka tidak hanya menonton film; mereka menuntut agar film berbicara dalam bahasa mereka, hadir dalam ruang mereka, dan bisa diadaptasi dalam ritme budaya mereka. Inikah tantangan baru buat para filmmaker?

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply