Screen Raves

‘Welcome to Chechnya’ Pelajaran buat Indonesia untuk Berbenah Diri

Film dokumenter ‘Welcome to Chechnya’ menjadi cermin bagi Indonesia dalam memperlakukan kelompok LGBT.

Avatar
  • July 23, 2020
  • 5 min read
  • 438 Views
‘Welcome to Chechnya’ Pelajaran buat Indonesia untuk Berbenah Diri

Masyarakat konservatif yang mengagungkan nilai agama, kemudian melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas seksual. Terdengar familier?

Itu adalah latar film dokumenter Welcome to Chechnya (2020) karya David France dari AS, penerima penghargaan US Documentary Special Jury dari Sundance Institute 2020, dan penghargaan Teddy Activist Award 2020.

 

 

Film berdurasi 107 menit ini menyoroti jaringan aktivis LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Rusia yang berhasil menyelamatkan sejumlah individu LGBT dari serangkaian kekerasan terjadi di Chechnya, bagian dari Federasi Rusia, sepanjang 2017.

Seperti layaknya sebuah laporan investigasi, film ini menyajikan visualisasi yang kuat perihal pembungkaman masyarakat sipil dan negara yang homofobik. Kasus-kasus penculikan dan penyiksaan atas individu-individu LGBT di Chechnya mulai terkuak sejak April 2017. Pada Juni 2017, diberitakan seorang gay Chechnya telah diterima masuk di Perancis sebagai pengungsi. Sejak itu pula, Kanada, Perancis, Jerman, Lituania, dan Belanda membuka pintu bagi LGBT Chechnya yang dipersekusi.

Agama, kehormatan keluarga, dan politik

Pelanggaran hak asasi manusia atas individu LGBT di Chechnya didorong oleh kuatnya tafsir konservatif atas ajaran agama dan juga demi menjaga “kehormatan keluarga”. Hampir 95 persen penduduk Chechnya adalah muslim (mazhab Syafi’i) dan mereka masih terkungkung dalam tafsir konservatif yang memungkiri kelompok LGBT di dalam masyarakat.

Di dalam unit keluarga, individu LGBT tidak dapat diterima sepenuhnya akibat masih kuatnya pandangan yang menganggap anggota keluarga yang LGBT sebagai aib. Cara yang dianggap layak untuk menjaga “kehormatan keluarga” adalah dengan memutus hubungan keluarga atau bahkan sampai membunuh individu LGBT tersebut. 

Baca juga: Kenapa ‘Portrait of a Lady on Fire’ Tak Akan Tayang di Indonesia

Parahnya, kondisi masyarakat demikian justru dimanfaatkan oleh politikus lokal dalam mendulang suara pendukung. Ramzan Kadyrov, pemimpin tertinggi Republik Chechnya, selalu menampilkan dirinya sebagai seorang penjaga nilai-nilai agama, pelindung masyarakat Chechnya, dan pendukung setia Presiden Vladimir Putin. Ia menganjurkan pembatasan aktivitas perempuan di ruang publik. Ia juga tidak mengakui keberadaan individu LGBT di wilayah kekuasaannya.    

Jaringan penggiat LGBT

Film ini mengangkat tindakan taktis jaringan aktivis LGBT Rusia, yaitu David Isteev, Olga Baranova, dan rekan-rekan mereka, dalam menggalang dan menyelamatkan individu-individu LGBT keluar dari Chechnya untuk mencari suaka atau menjadi pengungsi di luar negeri. Mereka menyediakan nomor kontak dan rumah penampungan rahasia bagi individu LGBT Chechnya. Di rumah aman tersebut, mereka mendapatkan kebutuhan sehari-sehari sambil menanti permohonan visa suaka dan pengungsi dari negara tujuan.

Satu kisah utama adalah tentang “Grisha”,  seorang gay Rusia yang bekerja di Chechnya. Ia ditahan selama 12 hari dan disiksa oleh polisi Chechnya. Untungnya, ia berhasil diselamatkan masuk ke rumah aman, dan berupaya mencari suaka di luar negeri. Selama masa itu, keluarganya diteror. Karena itu pula, keluarganya mesti menyelamatkan diri dan ikut bersamanya sebagai pengungsi di luar negeri. Ia adalah satu-satunya korban yang berani maju memberikan kesaksian publik, yang pada kesempatan itu pula membuka diri bernama Maksim Lapunov.

Jaringan aktivis LGBT Rusia tersebut berhasil menyelamatkan 151 individu LGBT Chechnya dan membantu mereka mencari suaka atau menjadi pengungsi di luar negeri. Sejumlah 44 individu diterima di Kanada. Tidak ada satu pun yang diterima Amerika Serikat selama masa kekuasaan Presiden Donald Trump.

Sayangnya, film ini tidak mengangkat kenyataan bahwa pengungsi individu LGBT Chechnya di luar negeri tetap tidak merasa aman. Pasalnya, diaspora Chechnya di luar negeri juga masih bersikap konservatif dan menolak keberadaan individu LGBT di kalangan mereka. Mereka masih mengimpor nilai-nilai dari Chechnya, dan tidak peduli dengan alam demokrasi negara tempat mereka bermukim.

Di Jerman, hal ini telah menjadi masalah yang serius. Perancis punya kelompok diaspora masyarakat Chechnya terbesar di dunia dan karena itu pula, pemerintah Perancis merahasiakan jumlah dan nama-nama pengungsi LGBT Chechnya yang diterima di negara itu. Tujuannya agar mereka dapat terlindungi dan menjaga diri dari kelompok diaspora Chechnya yang belum tentu mau menerima mereka.   

Apa artinya bagi Indonesia?

Kecuali di Aceh, menjadi LGBT bukanlah termasuk tindakan kriminal dalam hukum pidana Indonesia. Namun, akhir-akhir ini individu LGBT kerap mengalami berbagai bentuk penolakan, perisakan, ancaman, dan kekerasan.

Baca juga: Contoh Buruk Representasi LGBT dalam Film

Sama seperti di Chechnya, beberapa pemimpin politik lokal memanfaatkan isu LGBT sebagai komoditas politik demi kepentingan mendulang suara pendukung. Walikota Mahyeldi Ansharullah mendeklarasikan “Padang Bersih Maksiat” pada 2018, dan pemkot segera melakukan ruqyah atas 18 pasang individu LGBT yang telah ditahan sebelumnya oleh Satpol PP. Di Depok, Jawa Barat, Wali Kota Mohammad Idris berencana melakukan razia atas LGBT pada awal 2020 ini. Indonesia terancam menjadi negara homofobik.

Meski Indonesia tidak separah Chechnya, ada juga beberapa individu LGBT Indonesia yang mencari suaka atau menjadi pengungsi di luar negeri, seperti di Kanada. Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi Chechnya kedua, atau mendorong terjadinya gelombang pengungsi LGBT Indonesia ke luar negeri.

Indonesia yang baru-baru ini naik kelas jadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) jelas perlu berbenah diri. Kebanggaan atas kemajuan ekonomi Indonesia tidak akan punya arti apa pun tanpa adanya perlindungan atas kelompok rentan di dalam masyarakat, termasuk bagi LGBT. Sayangnya, di tingkat regional ASEAN sekalipun Indonesia masih belum mampu memberikan perlindungan yang serupa ditawarkan oleh Thailand dan Filipina. Indonesia jelas perlu berbenah diri! 


Avatar
About Author

Jafar Suryomenggolo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *