Lifestyle

Saat Pasangan Tak Mau Kamu Tumbuh, Apa yang Bisa Dilakukan?

Perkembangan pasangan sebagai individu terkadang dianggap ancaman. Sebab, ada kekhawatiran perubahan itu membuat pasangan bakal ditinggalkan.

Avatar
  • February 2, 2023
  • 5 min read
  • 1052 Views
Saat Pasangan Tak Mau Kamu Tumbuh, Apa yang Bisa Dilakukan?

Memiliki pasangan sebagai sosok yang mengenal kita dengan sangat baik, rasanya menyenangkan. Terutama ketika orang lain cenderung mengabaikan, melihat kita sebagai pribadi yang buruk, ataupun tidak menyukai kita. Hal-hal sederhana seperti dimengerti perihal makanan favorit, dan aktivitas yang tidak begitu disukai jadi semakin berharga.

Namun, di sejumlah situasi, perasaan serba tahu itu justru membatasi ruang gerak. Atau mengurangi identitas sebagai individu, maupun menghalangi keinginan untuk berubah.

 

 

Contohnya dengan mengungkapkan beberapa kalimat berikut: “Kamu kan enggak suka baca buku non-fiksi,” ketika melihatmu beli buku baru. Kemudian berinisiatif menukar makanan, karena ia tahu punyamu–misalnya–terlalu manis, sedangkan kamu enggak suka manis. Atau mengatakan, “Acaranya kemaleman, kan kamu jam 10 biasanya udah tidur.”

Ungkapan-ungkapan itu disampaikan pasangan dengan percaya diri. Seperti dijelaskan The School of Life dalam video di Youtube-nya, pasangan merasa paling tahu dan memiliki otoritas, sebagai orang yang menjadi bagian hidupmu. Terlebih jika relasi romantis telah dijalin untuk waktu yang lama. Perilaku tersebut dilakukan atas dasar pengalaman dan memperhatikan kebiasaan.

Baca Juga: Aku Rapuh maka Aku Ada: Satu Lagi yang Penting dari Relasi

Sayangnya, sikap demikian justru menunjukkan, pasangan tidak tahu–ataupun menerima–perubahanmu. Dengan otoritasnya, mereka “memaksa” membentuk karaktermu berdasarkan sosok yang dikenalnya. Alhasil, ketika melihat adanya perubahan, pasangan menganggap itu bukanlah dirimu yang sebenarnya.

Padahal, selain memiliki perkembangan fisik, secara psikologis juga manusia ikut berkembang. Namun, hal itu belum tentu terlihat, sehingga orang-orang di sekitar cenderung menilai kepribadian kita tetaplah sama.

Terapis pernikahan dan keluarga asal Amerika Serikat, Ileana Arganda-Stevens, menyebutkan enam aspek penting yang mendorong seseorang untuk tumbuh dan berkembang. Yakni motivasi, konsistensi, tekad, dukungan, kesadaran diri, serta self-compassion.

Ketika seseorang memiliki keenam–atau beberapa–aspek itu, mereka cenderung mengalami perubahan sikap, sifat, atau perilaku. “Misalnya saat kita lebih menunjukkan self-compassion, kita akan lebih terbuka dengan hal-hal baru dan membuat perubahan bermakna dalam hidup,” ujar Arganda-Stevens kepada Psych Central.

Perubahan sikap tak melulu ditujukan untuk perkembangan diri, melainkan mempertahankan hubungan. Terlebih pada hubungan monogami yang dijalin dalam jangka panjang. Relasi terasa monoton dan membosankan, apabila tidak memiliki perubahan.  Lalu, apa yang membuat pasangan justru tidak menginginkannya?

Merasa Takut dengan Perubahan

Perubahan sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Dalam hubungan, misalnya, acap kali muncul asumsi bahwa perubahan akan membuat salah satu pihak merasa tertinggal. Salah satunya dalam hal pencapaian karier.

Hal ini memang belum tentu terjadi pada setiap hubungan. Namun, sebagian orang merasa kecil, insecure, dan terintimidasi. Sebab, ketika dirinya masih berproses, pasangannya telah meraih keberhasilan berupa kenaikan jabatan.

Ketika perasaan itu muncul pada laki-laki, artinya ada maskulinitas rapuh dalam diri mereka. Mereka menginterpretasikan kesuksesan pasangan sebagai kegagalannya, walaupun tidak ada kompetisi dalam hubungannya. Pun berkaitan dengan stereotip gender laki-laki lebih kompetitif dibandingkan perempuan, dan narasi “ada peran perempuan di balik kesuksesan laki-laki”. Sementara tidak berlaku sebaliknya.

Baca Juga: Apa itu Hubungan ‘Codependent’: Rawat Pasangan, Abai dengan Diri Sendiri

Setelah menganggap dirinya gagal, laki-laki takut perempuan akan meninggalkannya. Bahkan, pesimis dengan keberhasilan relasinya. Padahal, relasi yang sehat tidak hanya menunjukkan pertumbuhan bagi hubungan, melainkan juga individual. Atau dalam hal ini berupa pencapaian karier.

Mereka yang melihat perubahan dan tumbuh kembang pasangannya sebagai sesuatu yang buruk, hal itu dapat berdampak pada hubungan. Contohnya berkurangnya koneksi dengan pasangan, sehingga menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang, membuat keputusan menjadi sulit untuk diambil.

Perubahan itu juga mendorong munculnya perasaan tidak mengenal pasangan lagi, lantaran berbeda dengan sosok yang pertama kali dikenal. Kenyataannya, saat berelasi dengan orang lain—termasuk selain pasangan—masing-masing dari kita selalu tumbuh. Meninggalkan nama yang ibaratnya menjadi satu-satunya hal yang sama, dari sosok yang dikenal.

Dikarenakan perbedaan itu yang lebih kentara, empati pun jadi berkurang, sehingga kesulitan memahami emosi dan kebutuhan satu sama lain. Lalu, apakah perubahan dan perbedaan dalam hubungan dapat diatasi?

Apa yang Bisa Dilakukan?

Dalam tulisannya di Verywell Mind, penulis Sheri Stritof menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan, ketika pasangan tidak menoleransi perubahanmu.

Baca Juga: Lelaki Marah Ditinggal Pasangan Makan Duluan, Tanda Maskulinitas Toksik

Pertama, kenali dirimu sendiri. Ketahui seperti apa kepribadianmu, sifat, perilaku, harapan untuk masa depan, dan hal-hal yang menjadi ketakutanmu. Dari situ, kamu akan mengetahui, apakah bisa bertahan dalam relasi bersama pasangan. Lalu perilaku apa saja yang masih dapat ditoleransi ke depannya.

Kedua, ketahui bahwa kamu tidak dapat mengubah pasangan. Mereka bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Saat kamu menuntut pasangan, yang terjadi adalah pengulangan argumen yang sama, tanpa menyelesaikan permasalahan. Sebab, perubahan perlu berangkat dari kesadaran diri, untuk memperbaiki perilaku dan meningkatkan kualitas hubungan.

Ketiga, bangun percakapan untuk membahas hubungan–mencari tahu bagaimana relasi bisa bekerja untuk semua pihak yang terlibat. Poin ini cenderung dihindari, lantaran tidak mudah ataupun membuat perasaan tidak nyaman. Namun, pola komunikasi yang konstruktif dapat menjadi solusi.

Yakni tentukan waktu untuk mengevaluasi hubungan, dan hindari sikap konfrontatif yang dapat menyulut emosi satu sama lain. Kemudian, identifikasi permasalahan dan diskusikan solusinya, tanyakan mengapa pasangan keberatan dengan perubahanmu. Kamu juga bisa menanyakan, apa arti pengembangan diri baginya, dan apakah pengembangan itu bisa dilakukan sebagai pasangan–atau menjadi salah satu tujuan dalam hubungan.

Akhiri dengan saling mengungkapkan keinginan, dan hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungan. Harapannya, pembicaraan itu akan membuat relasi lebih bahagia untuk dijalani.

Keempat, belajar menerima setiap perubahan dan perkembangan dalam diri pasangan. Sebab, mengasihi pasangan artinya perlu membiarkan mereka terus tumbuh dan berkembang sebagai individu—berbeda dengan pertama kali saat bertemu mereka. Toh pada akhirnya, sedikit banyak setiap orang akan terus bertumbuh.

Namun, kalau pada akhirnya pasangan menghambat tumbuh kembangmu, sebaiknya dipertimbangkan apakah ia orang yang tepat untuk menjadi pendamping.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *