Election 2024 Issues

5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi

Ada lima hal yang perlu dikritisi dari rencana Prabowo mengimpor sapi dari India. Seperti dampak pada lingkungan dan pengesampingkan manfaat ASI.

Avatar
  • January 10, 2024
  • 7 min read
  • 1690 Views
5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi

Saat menghadiri diskusi bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Kantor PWI Pusat, Jakarta Pusat, (4/1) lalu, Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto berencana mengimpor sapi perah. Strategi itu dirancang untuk memenuhi kebutuhan susu gratis bagi 82 juta anak Indonesia.

“Kalau mereka (anak-anak) minum 500 cc, kita butuh sekitar 40 juta liter (susu). Minimal perlu sapi perah 2,5 juta (ekor). Mungkin harus impor satu atau 1,5 juta sapi,” ujar Prabowo dikutip dari channel YouTube PWI Official.

 

 

Ia melihat, dalam dua tahun sapi-sapi itu akan berkembang biak sebanyak dua kali lipat, sehingga Indonesia punya tiga juta ekor sapi perah. Prabowo pun berencana mengimpor sapi dari India, dikarenakan harganya lebih murah dibandingkan sapi Brazil. Selain itu, jangka waktu pengiriman lebih cepat, sekitar 20 hari.

Wacana impor sapi yang diusung Prabowo merupakan bagian dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat, yang digagaskan bersama Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Salah satunya adalah membagikan makan siang dan susu gratis di sekolah maupun pesantren, serta bantuan gizi bagi balita dan ibu hamil.

Prabowo dan Gibran menargetkan, nantinya ada 80 juta penerima susu gratis dengan cakupan 100 persen pada 2029. Dalam jangka panjang, harapannya program tersebut dapat mengentaskan stunting, mengurangi beban rakyat miskin, sekaligus memperbaiki kondisi sumber daya manusia.

Namun, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari program susu gratis, dan wacana impor sapi yang dirancang Prabowo-Gibran.

Baca Juga: Fenomena K-Popisasi Capres: Saya Ngobrol dengan Admin Anies Bubble untuk Cari Tahu

1. Infrastruktur Pengelolaan

Tak hanya biaya, pengelolaan sapi impor juga perlu dipersiapkan—apakah perusahaan atau peternak lokal. Namun, apabila dikelola perusahaan besar justru akan mengancam keberadaan peternak sapi perah lokal. Hal ini disampaikan Dian, peternak sapi asal Tulungagung, Jawa Timur, saat diwawancara Detik.com. Ia berharap, sapi-sapi impor yang direncanakan Prabowo dikelola langsung oleh masyarakat.

“Jangan sampai nanti perusahaan besar yang mengelola. Unsur pemberdayaan masyarakatnya tidak ada,” kata Dian.

Sementara Didik Setiawan, peternak sapi perah di Blitar yang juga diwawancara Detik.com, tak setuju dengan rencana Prabowo. Menurutnya, impor sapi bukan langkah tepat untuk meningkatkan produksi susu. Justru produksi susu dari dalam negeri yang perlu ditingkatkan, yaitu dengan memperbaiki kualitas peternak, sarana dan prasarana, serta manajemen makanan makanan dan pakan tambahan untuk ternak.

“Percuma ada sapi impor tapi enggak bisa mengelolanya. Kalau program impor sapi benar, tetap harus ada peningkatan skill peternak,” tutur Didik.

Selama ini, pemerintah Indonesia masih mengimpor dari Selandia Baru, AS, Australia, dan Uni Eropa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari hingga Oktober 2023, impor susu dari Selandia Baru dan Amerika Serikat (AS) mencapai 788,77 juta dolar AS—setara Rp12,24 triliun.

Hal itu disebabkan oleh rendahnya jumlah dan produktivitas sapi perah. Dengan mendorong konsumsi susu, nantinya Indonesia akan bergantung pada sapi impor.

2. Dampak Impor Sapi pada Lingkungan

Mengimpor 1,5 juta sapi artinya dibutuhkan lahan baru untuk pakan ternak. Masalahnya, secara aturan praktis, dibutuhkan lahan pakan yang luasnya sekitar 1,5 hingga dua hektar untuk seekor sapi. Belum lagi pakan sapi perah juga berperan signifikan dalam memproduksi kualitas susu—harus sesuai berat badan sapi, produksi susu, dan kadar lemak susu.

Pada 2016 saja Jawa Barat kekurangan lahan pakan ternak. Melansir Republika, saat itu Dody Firman Nugraha yang menjabat sebagai Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat mengatakan, perlu 215 ribu hektare lahan untuk ditanami hijauan makanan ternak (HMT). Sementara luas lahan pakan waktu itu baru 2.228 hektare.

Perihal lahan mestinya menjadi perhatian, atau sudah direncanakan. Jika akhirnya harus membuka lahan, hutan kembali dikorbankan. Nantinya justru semakin memperburuk dampak krisis iklim dengan merusak ekosistem, meningkatkan erosi tanah, dan menyumbang emisi gas rumah kaca.

Di samping itu, hewan ternak juga menyebabkan emisi gas rumah kaca dari gas metana yang dikeluarkan. Desember lalu, Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan, sistem peternakan menyumbang sekitar 12 persen dari total emisi gas rumah kaca antropogenik, pada 2015. Apabila tak ada intervensi dan peningkatan produktivitas, emisi peternakan global akan mencapai hampir 9,1 gigaton karbon dioksida pada 2050.

Baca Juga: Pemilu 2024: Semua Capres Gagap Bicara Krisis Iklim

3. Pentingnya Susu Jadi “Akal-akalan” Pemerintah AS dan Perusahaan Susu

Kebutuhan manusia mengonsumsi susu sapi enggak luput dari keterlibatan perusahaan susu dan pemerintah AS dalam strategi pemasaran.

Selama Perang Dunia I, tentara AS mengalami malnutrisi. Untuk mengatasinya, pemerintah AS mengirim susu dalam jumlah besar. Melihat adanya keuntungan bisnis, peternak beralih fokus pada ternak sapi untuk menghasilkan susu.

Namun, setelah Perang Dunia I berakhir, tersisa banyak stok susu tak dibutuhkan. Alih-alih menggerakan peternak untuk mengurangi produksi susu, pemerintah AS—tepatnya Departemen Pertanian—meyakinkan masyarakat untuk lebih banyak minum susu dengan memperkuat narasi sains. Mereka mendanai riset untuk membuktikan, susu adalah kebutuhan esensial bagi tubuh. Tujuannya agar lebih banyak susu terjual, mendongkrak perekonomian pedesaan, serta memajukan perekonomian negara.

Kemudian, pemerintah AS mengampanyekan pentingnya minum susu bagi anak-anak, dan menjadikannya bagian dari program makan siang di sekolah. Pun pada 1990-an, iklan susu bermunculan di majalah maupun televisi. Dibintangi selebritis papan atas, iklan-iklan tersebut mengeklaim hal yang sama: susu mengandung kalsium, bisa membentuk tulang yang kuat, dan mengurangi berat badan.

Padahal, awalnya susu dibutuhkan orang-orang Eropa Utara yang bergantung pada hewan selama musim dingin, akibat enggak bisa bertani.

4. Mengesampingkan Manfaat ASI

Mengatasi stunting menjadi salah satu program kerja yang dijanjikan Prabowo-Gibran, sekaligus menjadi latar belakang keduanya membagikan susu gratis selama kampanye. Dengan kata lain, susu sapi dinilai paling sehat. Seperti diucapkan Prabowo dalam diskusi bersama PWI, susu yang paling baik dan sehat adalah yang langsung dari sapi—dibandingkan susu kemasan yang mengandung banyak gula dan pengawet.

Pada dasarnya, susu sapi memiliki sejumlah karakteristik yang berdampak positif bagi pertumbuhan. Di antaranya protein berkualitas tinggi, potasium, magnesium, dan fosfor. Selain itu, susu sapi juga mengandung laktosa, yang dibutuhkan pada usia awal pertumbuhan.

Namun, pernyataan Prabowo sama halnya dengan menomorduakan ASI. Seharusnya ASI menjadi solusi utama untuk mengatasi stunting sampai anak berusia dua tahun. Sebab, kandungan laktosa dalam ASI hampir dua kali lebih banyak dibandingkan susu sapi.

Dalam Exclusive Breastfeeding Protects Young Children from Stunting in a Low-Income Population: A Study from Eastern Indonesia (2021), peneliti Hamam Hadi, Fatimatasari, dan Winda Irwanti, dkk. pun disebutkan, pemberian ASI eksklusif merupakan strategi hemat biaya untuk mempercepat penurunan stunting di Indonesia. Yang kemudian bisa didorong adalah, motivasi ibu untuk menyusui secara eksklusif.

Meski demikian, perlu diingat, perempuan bisa mengalami kendala fisik maupun psikologis, saat berusaha memberi ASI. Misalnya tuntutan keluarga dan narasi di masyarakat, tentang pemberian ASI eksklusif. Lalu enggak punya tempat untuk menyusui dan waktu untuk menyusui langsung maupun memompa. Ada juga ibu yang berada di lingkaran stres, akibat hanya sedikit mengeluarkan ASI.

Baca Juga: Pilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?

5. Sumber Kalsium Tak Hanya dari Susu

Tubuh membutuhkan kalsium untuk memelihara kesehatan tulang dan gigi, menjaga kesehatan dan fungsi jantung, otot, serta saraf. Karena itu, susu sering kali dilihat sebagai sumber kalsium.

Faktanya, susu bukan satu-satunya asupan yang kaya kalsium. Ada biji-bijian—wijen, seledri, chia seeds, dan kaskas—yang juga mengandung protein dan lemak sehat. Kemudian lentil dan kacang-kacangan yang berserat tinggi, dan memiliki zat besi, asam folat, magnesium, serta potasium.

Ada juga sayuran berdaun hijau yang tinggi kalsium, seperti bayam, kale, dan collard greens. Namun, perlu diperhatikan, bayam mengandung oksalat tinggi, yaitu senyawa alami yang mengikat kalsium dan mengganggu penyerapannya.

Sedangkan tahu dan edamame tak hanya mengandung kalsium. Tapi juga sumber protein dan menyediakan asam folat harian yang dibutuhkan tubuh. Sementara almond merupakan sumber magnesium, mangan, vitamin E, serta lemak dan protein sehat.

Berbagai jenis asupan itu dapat menggantikan susu, supaya tubuh tetap memperoleh kalsium. Lagi pula, tubuh orang dewasa tidak dapat mencerna susu selepas masa kanak-kanak. Ini disebabkan usus kecil yang tidak cukup memproduksi enzim laktase, untuk mencerna laktosa dari susu—yang disebut intoleransi laktosa.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.