Yang tak Dibicarakan dari ‘Filicide’, Tragedi Orang Tua Bunuh Anaknya
Kasus ibu bunuh anak di Brebes lebih dari sekadar persoalan kemiskinan struktural dan gangguan kejiwaan.
Peringatan Pemicu: Gambaran kasus kekerasan yang rentan picu trauma.
Kasus pembunuhan yang dilakukan seorang ibu kembali terjadi. KU, perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, menggorok tiga anaknya pada (20/3). Ia mengaku harus menyelamatkan anak-anaknya agar tak miskin dan menderita sepertinya.
“Mendingan mati aja, enggak perlu ngerasain sedih. Harus mati, biar enggak sakit kayak saya dari kecil,” ujarnya dalam video yang diunggah warganet di Twitter. “Enggak ada yang tahu saya memendam (derita) puluhan tahun,” sambungnya.
Perempuan 35 tahun itu mengaku, menerima tekanan dari keluarga, bahkan sang mertua ingin membunuhnya. Alhasil, ia tidak ingin anak-anaknya bernasib serupa dan hidup dalam kesusahan. Sebagai informasi, KU berjuang menafkahi keluarga dengan bekerja sebagai penata rias. Sementara, suaminya merantau ke Jakarta dan sering menganggur.
Dari perbuatannya, nyawa AT, anak kedua yang berusia tujuh tahun, tidak dapat diselamatkan. Sementara anak sulung dan bungsu yang memiliki luka serius di leher dan dada, dilarikan ke Rumah Sakit Aminah Bumiayu.
Baca Juga: Ibu Hamil dan Melahirkan Rentan Depresi
Menanggapi peristiwa tersebut, seorang warganet yang bertetangga dengan KU mengatakan terdapat tanda-tanda gangguan mental dalam dirinya. Ia kerap bercerita ke temannya untuk melakukan tindakan bunuh diri bersama sang anak. Namun, minimnya edukasi kesehatan mental di masyarakat setempat, membuat hal ini tidak ditanggapi dengan serius.
Meskipun ada warganet yang memberikan simpati terhadap kesehatan mental KU dan kondisinya yang terimpit, segelintir lainnya justru sibuk menghakimi. Mereka menilai perbuatan itu tidak bermoral dan tidak dapat dimaafkan, karena tak ada satu pun ibu yang ingin menyakiti anaknya. Hingga memberikan ayat Alquran yang relevan.
Sayangnya, penghakiman dilakukan tanpa berusaha melihat gambaran lebih besar dari kasus pembunuhan anak.
Baca Juga: Oh, Ibu dan Ayah, Putuskan Rantai Kekerasan terhadap Anak
Mengenal Filicide
Perbuatan seperti yang dilakukan KU merupakan filicide, atau pembunuhan anak yang umumnya terjadi karena masalah kesehatan mental.
Pernyataan ini didukung riset Filicide: Mental Illness in Those Who Kill Their Children (2013) oleh peneliti Sandra Flynn, dkk. Dalam kasus yang diteliti di Inggris dan Wales pada 1997 sampai 2006, 40 persen di antaranya memiliki riwayat gangguan mental.
Sementara faktor lainnya adalah pelaku yang berusia muda, rusaknya relasi antara orang tua, dan perselisihan dalam pengasuhan setelah berpisah. Pun faktor-faktor itu juga dapat didorong oleh konsumsi alkohol, obat-obatan, kecenderungan bunuh diri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Acapkali, orang tua melihat anak sebagai sosok jahat yang mengganggu, hingga muncul dorongan untuk mengorbankan nyawa anak dan dianggap akan memperbaiki kondisi hidup.
Namun, sebenarnya kasus pembunuhan anak dilatarbelakangi oleh lima motif, seperti dijelaskan psikiater forensik Phillip Resnick dalam Child Murder by Parents: A Psychiatric Review of Filicide (1969).
Pertama altruistik, dilakukan karena orang tua meyakini kematian adalah pilihan terbaik bagi anak dan mengurangi beban mereka, dibandingkan hidup menderita karena disabilitas, mengidap penyakit, maupun sengsara seperti kekhawatiran KU.
Selain itu, orang tua ingin mengakhiri hidupnya dan “mengajak” anak-anaknya, agar mereka tidak ingin meninggalkan anaknya yatim piatu.
Mengutip VICE, hal ini pernah dilakukan seorang pasien dari Dr. Cheryl Meyer, psikolog kriminal asal AS. Pasien mengaku tidak bisa membayangkan mati tanpa anak-anak, dan ayah mereka juga bertindak kasar sehingga tidak ada alasan terbaik untuk tetap hidup.
Kedua, psikotik akut. Terjadi ketika orang tua mengalami kelainan jiwa hingga ingin membunuh anak tanpa motif rasional. Umumnya, orang tua dipengaruhi halusinasi, epilepsi, atau delirium.
Menurut Lia Laios, psikiater perinatal asal Melbourne, Australia, tipe ini melatarbelakangi para ibu untuk melakukan pembunuhan. Pasalnya, setelah melahirkan mereka memiliki beban emosional dan mental yang tidak stabil, hingga membentuk penyakit mental. Misalnya akibat perubahan hormon, bentuk tubuh,muncul kecemasan, postpartum depression, dan postpartum obsessive-compulsive disorder (OCD).
Seperti dilakukan Raina Thaiday pada 2014, perempuan asal Australia yang menikam tujuh anak kandungnya dan seorang keponakan perempuan. Ia menderita episode psikotik dipicu skizofrenia yang tidak terdiagnosis, saat peristiwa terjadi.
Ketiga, anak yang tidak diinginkan. Karena kehadirannya tidak diharapkan atau pasangannya tidak menginginkan anak, orang tua merasa terbebani untuk merawat dan memilih mengorbankan nyawanya.
Keempat, penganiayaan fatal. Pembunuhan ini terjadi tanpa suatu intensi, melainkan akibat kekerasan yang dilakukan. Contohnya anak perempuan berusia 6 tahun asal Jember yang meninggal Januari lalu. Diduga penyebab kematiannya adalah sang ibu yang kerap memukuli dengan sapu hingga memar, lantaran sering buang air di celana.
Kelima, balas dendam terhadap pasangan. Biasanya disebabkan oleh perselingkuhan atau perpisahan, sehingga kematian anak dianggap upaya untuk membuat mereka menderita.
Melansir ABC Australia, Charlie Hinder—seorang ayah dua anak, meledakkan karavan keluarga sebagai motif bunuh diri dan kedua buah hatinya. Ia juga berintensi membunuh istrinya,
Katherine, dan telah melakukan kekerasan terhadapnya. Pun tindakan itu meningkat selama beberapa bulan sebelum ledakan, setelah keduanya berpisah.
Baca Juga: Tak Semua Orang Tua Mulia: Relasi Anak-Anak dengan Orang Tua Toksik
Dampaknya pada Orang Tua
Meskipun sebagian tindakan membunuh anak dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan, perbuatan tersebut berdampak paling banyak dalam diri pelaku sendiri. Mereka mengalami banyak kehilangan, mulai dari anak, kebebasan, dan pasangannya, semakin memperpanjang rentang waktu depresi.
Resnick menjelaskan, orang tua cenderung sulit memaafkan diri sendiri dibandingkan lingkungan masyarakat. Penyebabnya, mereka menyalahkan diri karena terlanjur menyakiti anaknya, tanpa mencari pertolongan. Alhasil, sikap itu seperti hukuman bagi diri sendiri akibat melakukan tindakan berisiko.
Karena peristiwa ini didasarkan pada relasi antara orang tua dan anak, mencegah pembunuhan anak dapat dilakukan dengan mengenal faktor pemicunya. Misalnya menyadari yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga atau relasi dengan anak dan pasangan, atau menyadari sosok yang memberikan dukungan jika sudah berpisah dari pasangan.
Kemudian, ketahui bagaimana relasi yang dibangun dengan orang tua lainnya, bagaimana mereka melihatmu sebagai orang tua dan sebaliknya, serta bagaimana caramu memandang dan memperlakukan anak. Jika diperlukan, keluarga dapat mengunjungi profesional untuk mendapatkan dukungan dan membantu mengatasi permasalahan.
Pun sebagai orang-orang di lingkungan sekitar, kita bertanggung jawab untuk memperhatikan dan melindungi mereka, sebagai individu rentang yang berpotensi menjadi korban.
Dukungan Publik adalah Kunci
Alih-alih mendukung atau memberikan simpati saat terjadi kasus pembunuhan anak, mayoritas masyarakat relatif masih menghakimi. Mereka enggan memahami faktor penyebab orang tua memutuskan mengakhiri hidup anaknya, karena perbuatan ini sepenuhnya dilihat sebagai dosa dan kesalahan.
Yang gagal digarisbawahi dari perilaku tersebut adalah masyarakat berperan dalam self-blaming pelaku, ketika bersikap judgemental atas perbuatan yang dilakukan. Sulit bagi mereka untuk melihat, menjalani peran sebagai ibu bukan perkara mudah. Bukan berarti jika seorang ibu dapat menghadapi kesulitannya dengan baik, yang lain juga mampu melaluinya.
Karena sejak masa kehamilan, tidak ada kata “istirahat” secara fisik maupun mental bagi mereka, untuk bertanggung jawab seumur hidup atas kehidupan orang lain. Pun, kebutuhannya selalu dinomorduakan, karena hak dan kebahagiaan anak yang diprioritaskan. Maka dari itu, penghakiman menjadi hal paling tidak dibutuhkan bagi pelaku, membuat mental semakin terbebani.
Dari kasus KU dan sederet pembunuhan anak lainnya, seharusnya ini menggerakkan masyarakat untuk belajar, bagaimana dukungan dan ruang aman penting diciptakan untuk mendukung kesehatan para ibu. Peneliti Teresa Glatz mengatakan, dukungan sosial dapat membantu ibu dalam peran pengasuhannya, seperti merawat dan menjaga bayi hingga dukungan emosional, ketika menghadapi masa-masa sulit.
Ia menambahkan, dukungan tersebut juga membantu mereka membangun relasi yang lebih baik dengan anak-anaknya, dan berperilaku positif. Terutama ketika mereka merasa tidak memiliki kontrol atas kehidupannya.
Artinya, menanyakan kabar dan peduli dengan kondisi para ibu merupakan hal paling sederhana yang perlu dilakukan. Pasalnya, sebagai masyarakat, kita juga punya andil untuk menjaga kesehatan mental mereka, dan mencegah peristiwa seperti yang dihadapi KU kembali terjadi pada ibu-ibu lainnya.