Issues

Yang Tak Dilihat dari Cuti Perawatan: Tanggung Jawab Bersama, Bukan Beban Perempuan

Pelaksanaan cuti perawatan masih belum optimal dan lekat dengan kesenjangan gender. Ada peran pemerintah yang belum melihatnya sebagai nilai ekonomi dan tanggung jawab perawatan.

Avatar
  • March 22, 2023
  • 20 min read
  • 1534 Views
Yang Tak Dilihat dari Cuti Perawatan: Tanggung Jawab Bersama, Bukan Beban Perempuan

Malam itu Emma menitikan air mata. Suaminya baru saja pulang, meninggalkan Emma sendirian di ruang rawat. Bukannya enggan menemani, justru peraturan rumah sakit yang memaksa demikian. Mereka melarang suami atau anggota keluarga lainnya menginap, demi melatih ibu baru agar mandiri.

Realitas tersebut sempat membuat Emma stres dan terpukul. Saat itu, perempuan 39 tahun ini baru melahirkan anak pertamanya. Emma tidak tahu harus berbuat apa tiap kali anaknya menangis. Teori dan latihan seputar pola asuh yang dipelajari, seketika menguap begitu harus mempraktikkan.

 

 

“Kenapa enggak boleh ditungguin sih? Aku enggak tahu cara nyusuin yang baik gimana,” tutur Emma, mengingat kembali pergumulannya 11 tahun yang lalu. Ia kemudian menceritakan kondisinya ke temannya, mempertanyakan kebijakan rumah sakit tempatnya dirawat. Sebab, di rumah sakit lain tidak menerapkan peraturan demikian.

Sebenarnya Emma tidak sendirian di ruangan itu. Ada seorang pasien lain, tetapi tidak bisa membantu. Akhirnya, ia menekan bel, memanggil suster untuk meminta bantuan. Melihat kondisi Emma, suster menawarkan untuk membawa anaknya ke ruang bayi. Supaya ibu bisa istirahat, katanya.

Layaknya ibu baru, melahirkan anak pertama menjadi tantangan bagi Emma. Namun, baby blues yang dialami tidak membuatnya kewalahan dengan tanggung jawab baru sebagai ibu.

Begitu sampai di rumah, Emma dapat beradaptasi dengan baik. Selain dukungan keluarga, hal itu tak luput dari cuti melahirkan yang diberikan perusahaan selama tiga bulan.

Semasa cuti, Emma menemukan ritme mengurus anak, sekaligus membentuk ikatan ibu dan anak—lewat menyusui langsung dari payudara, serta merawat bayi. Begitu juga dengan anak ketiganya yang lahir akhir Januari lalu. Bahkan, cuti melahirkan kali ini tidak hanya membangun kedekatan Emma dengan anak bungsu, melainkan dua anak pertamanya.

Selama hampir dua bulan terakhir, Emma lebih mengenal keseharian anak-anaknya. Ia pun memantau frekuensi kedua putranya menggunakan gawai dan menonton televisi. Di samping itu, Emma juga lebih mengenal karakteristik anaknya.

“Anak pertama cenderung diamdan lebih halus. Yang kedua lebih iseng dan aktif,” ujarnya.

Selain membangun ikatan emosional dengan anak-anak, Emma memanfaatkan masa-masa cuti untuk mempersiapkan diri membagi tanggung jawab dengan pekerjaan kantor. Perempuan yang bekerja di perusahaan swasta itu mulai memompa, menyediakan stok, dan mengatur manajemen ASI agar bayinya tetap mengonsumsi ASI eksklusif.

“Sebulan sebelum masuk (kerja) mulai stok (ASI),” ucap Emma. “Sehari bisa merah lima kantong (ASI). Biasanya aku pakai kantong yang 120 ml, terus disimpan di chiller.”

Kemudian, ia juga mengarahkan sang ibu—yang mengasuh anak-anaknya ketika Emma bekerja—untuk frekuensi pemberian ASI. Berdasarkan penghitungannya, dalam sehari bayinya akan minum ASI setiap empat jam sekali. Terhitung dari Emma berangkat, sampai pulang kerja.

Berkaca dari pengalaman Emma, cuti melahirkan begitu membantu ibu dalam beradaptasi, maupun membagi tanggung jawab sebagai perempuan pekerja. International Labour Organization (ILO) sendiri mengarahkan cuti melahirkan dilaksanakan selama 14 minggu. Bahkan, menyarankan untuk meningkatkannya jadi 18 minggu, agar ibu beristirahat dan pemulihannya memadai.

Sementara Pasal 82 Ayat 1 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengatur cuti melahirkan selama 13 minggu. Durasi cuti ini menempatkan Indonesia sebagai satu dari 64 negara, yang kebijakan cuti melahirkannya masih di bawah 14 minggu.

Merujuk laporan ILO Perawatan pada Pekerjaan: Berinvestasi pada Kebijakan Cuti Perawatan dan Layanan Perawatan (2022), durasi cuti tersebut membuat tiga dari 10 calon ibu di dunia, tidak memiliki waktu pemulihan dari melahirkan yang cukup. Begitu pula untuk perawatan bayi.

Salah satunya Papua Nugini yang memberlakukan cuti enam minggu bagi ibu melahirkan, tetapi tanpa bayaran. Jika mereka ingin dibayar, ibu harus mengubah cuti melahirkannya dengan cuti rekreasi atau sakit.

Artinya, perempuan tidak dapat istirahat untuk pemulihan penuh. Ada tanggung jawab di perusahaan yang harus dipenuhi, yang juga menjamin keberlangsungan hidup keluarga. Di saat bersamaan, mereka perlu beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu.

Pasalnya, ibu menghadapi berbagai perubahan pasca-melahirkan—baik fisik ataupun mental. Secara fisik, ada ibu yang mengalami pendarahan hebat, sembelit, kram perut, hemoroid, sakit punggung dan kepala, payudara membesar, serta nyeri sayatan jika menjalani operasi Caesar. Sementara secara mental, ibu rentan mengalami depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), berencana meningkatkan rentang waktu cuti melahirkan jadi enam bulan. Termasuk di dalamnya, masa pemulihan ibu setelah melahirkan, sekaligus menjamin tumbuh kembang anak.

Cuti melahirkan adalah satu dari beberapa cuti perawatan yang harusnya terpenuhi untuk pekerja. Di samping itu, ada cuti perawatan jangka panjang berbayar. Merujuk pada Konvensi Nomor 156 ILO tentang Tanggung Jawab Keluarga (1981), cuti ini bermanfaat untuk merawat anak, pasangan, orang tua, atau anggota keluarga lain yang sakit dan memerlukan perawatan khusus.

Situasi itu pernah dihadapi Rensi (50). Pada Juli 2015, ayahnya mengalami komplikasi penyakit dalam sehingga membutuhkan perawatan intensif. Tanpa pikir panjang, Rensi bernegosiasi dengan atasannya untuk cuti demi mengurus ayahnya. Hingga akhirnya perusahaan memberikan cuti tidak berbayar.

Bukan perkara mudah bagi Rensi untuk bisa meninggalkan pekerjaannya sementara waktu. Staf human resource development (HRD) perusahaannya mengatakan, hampir tidak pernah ada kasus karyawan memilih cuti tidak berbayar untuk merawat orang tua. Umumnya, cuti ini diambil jika karyawan sakit sampai tidak bisa bekerja.

Karena itu, HRD menyarankan Rensi berdiskusi langsung pada atasan. Pekerja swasta tersebut meminta pengecualian dan dukungan perusahaan. Mama dan adik bungsu Rensi telah meninggal—membuatnya tidak ingin kehilangan lagi. Sedangkan adik pertamanya tinggal di Islandia. Kondisi tersebut semakin mendorong Rensi untuk terlibat langsung dalam merawat ayahnya.

“Waktu itu saya enggak peduli. Kalau (perusahaan) enggak bisa kasih unpaid leave dan meminta saya berhenti (dari pekerjaan), saya akan berhenti,” cerita Rensi. “Saya bilang, papa sakit dan enggak ada yang ngurusin. Kalau pun papa meninggal, seenggaknya saya enggak punya penyesalan.”

Beruntung perusahaan Rensi memahami kondisinya. Kurang dari seminggu, atasannya memberikan izin untuk cuti tidak berbayar—dengan syarat Rensi harus kembali bekerja dalam waktu sebulan. Bahkan, atasannya terus mengingatkan Rensi untuk menjaga kesehatan.

Walaupun tidak berbayar, tak dimungkiri cuti yang diambil Rensi saat itu termasuk privilese. Terlebih pekerjaannya terjamin aman, tak perlu khawatir posisinya tergantikan. Namun, hal serupa belum tentu berlaku bagi pekerja lain di Indonesia.

Keadaan tersebut sekaligus menekankan, cuti perawatan jangka panjang juga diperlukan. Dalam laporan yang sama, ILO menggarisbawahi cuti ini berperan dalam mendukung kebutuhan perawatan baru, dan yang terus meningkat. Sebab, kegiatan perawatan dapat membantu menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga.

Kendati demikian, pelaksanaan cuti perawatan jangka panjang berbayar pun hanya terdapat di 34 negara. Bahkan, di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, hanya terdapat lima negara yang mempertimbangkannya.

Sedangkan di Indonesia, pelaksanaan cuti perawatan jangka panjang masih belum terlihat. National Project Coordinator ILO Indonesia, Early Dewi Nuriana menyatakan, belum ada diskusi khusus dengan pemerintah terkait wacana pelaksanaan cuti perawatan jangka panjang maupun cuti orang tua.

“Kita juga harus melihat berdasarkan prioritas. Saat ini perdebatannya masih (cuti) maternitas dan paternitas. Sementara cuti orang tua dan perawatan jangka panjang, dari perspektif pemerintah masuknya ke cuti tahunan,” terang Early pada Magdalene, (18/2).

Dari implementasi cuti melahirkan yang ada serta absennya cuti perawatan jangka panjang berbayar, kemudian muncul pertanyaan: apakah cuti perawatan di Indonesia cukup memadai?

Baca Juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Cuti Perawatan di Indonesia Masih Belum Optimal

Cuti melahirkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menetapkan, cuti melahirkan dilakukan satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan setelahnya. Namun, praktiknya kembali pada pekerja atau perusahaan.

Berdasarkan pengamatan Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Yuli Adiratna, implementasi cuti melahirkan sejauh ini belum maksimal. Sebagian perusahaan yang sudah memberikan, tetapi ada juga yang belum.

Yuli mencontohkan seorang staf cleaning service di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sendiri. Usia kehamilannya menginjak delapan bulan, tetapi masih bekerja. Ketika ditanya alasannya, staf tersebut mengatakan kesepian jika mengambil cuti dari sebelum melahirkan, sehingga memilih cuti panjang setelah persalinan.

“Artinya filosofi dasar (dari cuti melahirkan) belum diambil dengan baik. Istirahat sebelum melahirkan kanpersiapan untuk ibu dan calon bayi. Lalu memberikan kesempatan bagi pekerja (perempuan) untuk pemulihan,” terang Yuli pada Magdalene (9/3).

Kondisi itu bukan hanya terjadi pada cuti melahirkan, melainkan cuti haid dan yang diatur dalam Pasal 81 Ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kenyataannya, banyak pekerja perempuan tidak mengambil cuti haid. Alasannya beragam, kurang sensitifnya perusahaan hingga ketidaktahuan pekerja perempuan akan hak cutinya.

Kedua hal tersebut didorong oleh mekanisme cuti haid yang dikembalikan pada masing-masing perusahaan. Dalam praktiknya, ada perusahaan yang memberikan cuti tersebut dengan mudah dan membayar upah, selama pekerja mengabarkan kondisinya. Namun, ada juga perusahaan yang meminta pekerja menyertakan surat keterangan dokter, atau memberikan cuti tapi tak berbayar.

Perihal ketidaktahuan pekerja tentang hak cuti haid juga pernah dimuat Magdalene. Sejumlah pekerja perempuan mengaku, perusahaan tidak pernah menyampaikan pasal tersebut selama cuti haid. Alhasil, mereka tetap bekerja ketika nyeri haid.

Melihat implementasi yang belum sempurna, Yuli kembali menekankan minimnya pemahaman alasan dan tujuan pemberlakuan cuti haid. Ia menyebutkan pengusaha khawatir akan penurunan produktivitas perusahaan, apabila banyak pekerja perempuan mengajukan cuti haid di waktu bersamaan. Membuat sejumlah perusahaan mensyaratkan surat keterangan dokter.

Sama halnya dengan penerapan cuti paternitas selama dua hari, yang diatur dalam Pasal 93 Ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Singkatnya durasi tersebut tidak memberi ruang untuk

Sama halnya dengan penerapan cuti paternitas, yang diatur dalam Pasal 93 Ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelaksanaannya dapat dikatakan belum maksimal, lantaran masih ada pekerja yang enggan mengambil cuti tersebut. Pertimbangannya adalah tidak menerima tunjangan harian, yang diberikan berdasarkan kehadiran. Faktor tersebut dipengaruhi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga mengorbankan cuti untuk mendampingi persalinan istri.

Di samping itu, keengganan mengambil cuti paternitas sekaligus mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya menemani istri. Ini disebabkan oleh peran gender di masyarakat, yang membangun pemahaman bahwa laki-laki bertugas mencari nafkah. Karenanya, tidak perlu begitu terlibat dalam pendampingan sebelum dan setelah melahirkan.

Padahal, perannya menemani istri sangat signifikan. Tak hanya berperan dalam keterlibatan fisik, suami juga penting dalam memberikan dukungan emosional. Sebab, kondisi psikologis ibu yang baru melahirkan cenderung tidak stabil diakibatkan perubahan hormon.

Hal itu kemudian berkaitan dengan durasi cuti paternitas yang begitu singkat. Waktu dua hari tidak cukup bagi laki-laki, untuk terlibat dalam urusan domestik dan reproduksi sosial. Inilah yang melatarbelakangi petisi desakan bagi pemerintah untuk memperpanjang cuti paternitas pada 2017.

Ahmad Zaini dan Adi Noegroho—dua orang ayah yang membuat petisi tersebut—menyatakan alasannya pada BBC Indonesia. Mereka ingin melibatkan peran ayah sedini mungkin dalam pengasuhan anak, sesuatu yang sulit tercapai berkaca pada kebijakan yang ada. Karena itu, dalam petisi di Change.org, Ahmad dan Adi mengusulkan agar pemerintah memperpanjang durasi cuti paternitas menjadi dua minggu.

Kendati demikian, saat ini terdapat sejumlah perusahaan yang memiliki cuti paternitas dengan durasi waktu lebih ideal dibandingkan kebijakan pemerintah. Salah satunya PT Unilever Indonesia Tbk, yang 2018 lalu memperpanjang cutinya—dari lima hari menjadi tiga minggu. Berdasarkan keterangan di situsnya, Unilever menambah durasi cuti sebagai bentuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Ada juga United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) yang memberlakukan cuti paternitas selama empat bulan. Abdul (27), merupakan salah satu karyawan yang mengambilnya pada Oktober 2022. Berdasarkan keterangan Abdul, UNICEF membebaskan karyawan memilih sistem cuti. Mereka bisa mengambil sekaligus 16 minggu, atau dibagi per delapan minggu—setelah melahirkan dan sisanya sampai ulang tahun pertama anak.

Dikarenakan harus menggantikan karyawan yang sedang ditugaskan ke luar kantor, cuti Abdul dibagi menjadi tiga perempat. Ia sudah mengambil 12 minggu, dan empat minggu sisanya akan diambil sebelum Oktober 2023.

Dari pengalaman Abdul, cuti paternitas juga bermanfaat meringankan tugas domestik. Terlebih bagi orang tua baru yang tinggal jauh dari orang tua, dan tidak merekrut pekerja rumah tangga (PRT) seperti Abdul dan pasangannya.

“Pertama kali ngurus anak cukup berat, karena cuma berdua dan belum tahu anak maunya apa. Jadi susah membagi fokus antara pekerjaan (domestik) dan mengurus anak,” tutur Abdul.

Waktu dua hari tidak cukup bagi laki-laki, untuk terlibat dalam urusan domestik dan reproduksi sosial.

Selama cuti, pria yang bekerja di bidang teknologi informasi itu bertugas memandikan dan menggantikan baju, serta popok anak. Kemudian Abdul juga memasak dan membereskan rumah. Sementara sang istri fokus menyusui dan menimang anak.

Pembagian pekerjaan domestik pun berlanjut sampai saat ini, ketika Abdul dan istrinya sudah kembali bekerja. Bedanya, sebelum berangkat kerja, ia memandikan anaknya. Dan sepulang kerja, Abdul memasak, mencuci piring, dan bermain dengan anak. Sedangkan istrinya mencuci, menjemur, dan menyetrika pakaian—selain mengurus anak sepanjang hari.

Tak hanya bermanfaat untuk pembagian tugas domestik, Abdul mengamini cuti paternitas berdampak pada hubungannya dengan sang anak, yang kini hampir berusia lima bulan. Bagi Abdul, hal itu sesederhana anaknya mengenalinya sebagai ayah. Seperti anaknya yang menemukan kenyamanan dalam sosok Abdul saat digendong.

Meskipun demikian, panjangnya durasi cuti paternitas tak luput membuat Abdul menghadapi tantangan. Terlebih saat harus kembali bekerja. Ia harus menyesuaikan tanggung jawab di kantor dengan peran barunya sebagai ayah, dan mengejar ketertinggalan pekerjaan selama cuti.

Namun, itu bukan permasalahan besar bagi Abdul. Ia mensyukuri privilese dari perusahan, sehingga bisa menunjukkan keterlibatan dalam hidup anaknya sejak dini. Karenanya, Abdul mendorong agar pemerintah memperpanjang durasi cuti paternitas.

“Kalau bisa pemerintah dukung program cuti ayah, ini penting untuk membantu istri dan bonding juga dengan anak. Sekaligus bisa lebih memantau gizi, stimulasi, dan perkembangan anak,” ungkap Abdul. Soalnyakalau cuma dua hari, ayahnya bisa (melakukan) apa?”

Baca Juga: Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan

Melihat Cuti Perawatan di Negara Lain

Pengalaman Abdul yang memiliki durasi cuti paternitas lebih panjang dibandingkan kebijakan pemerintah membuktikan, keterlibatan ayah berperan penting bagi ibu maupun bayi. Dalam RUU KIA, pemerintah mencanangkan akan memperpanjang durasi cuti tersebut menjadi 40 hari—dan paling lama tujuh hari apabila istri keguguran. Tujuan peningkatan durasi cuti adalah mencapai kesejahteraan ibu dan anak, selaras dengan tujuan pembangunan nasional.

Sementara cuti melahirkan akan diperpanjang menjadi enam bulan. Dalam rentang waktu tersebut, perusahaan wajib membayar pekerja secara penuh. Kemudian tiga bulan selanjutnya dibolehkan membayar 75 persen.

Apabila membandingkan dengan cuti melahirkan, waktu cuti paternitas tetap akan lebih singkat. Dalam laporan yang sama, ILO menyatakan durasi rata-rata global untuk cuti paternitas–dengan perhitungan lebih signifikan di Asia dan Pasifik, adalah sembilan hari.

Hal itu menunjukkan adanya kesenjangan gender, dan memperkuat persepsi cuti ayah tidak begitu signifikan lantaran tidak melalui masa nifas atau bertanggung jawab menyusui. Padahal, partisipasi ayah sama pentingnya dalam perawatan anak.

Walaupun demikian, 16 negara telah memperpanjang durasi cuti paternitas sejak 2011. Salah satunya Malaysia pada 2022, yang meningkatkan cuti paternitas dari tiga hari menjadi tujuh hari. Melansir The Strait Times, parlemen Malaysia juga menyetujui peningkatan cuti melahirkan, dari 60 hari menjadi 98 hari untuk pekerja sektor swasta, dan 90 hari untuk pegawai negeri.

Apabila melihat cuti perawatan di Indonesia dan Malaysia, tampaknya kebijakan yang ditetapkan belum begitu ideal. Setidaknya jika dibandingkan dengan Kuba, di mana para ayah bisa mengambil cuti paternitas selama 40 minggu. Dan akan menerima penghasilan sebesar 60 persen, di antara pekan ke-12 sampai 40.

Sementara cuti melahirkan mencapai 18 minggu—enam minggu sebelum melahirkan dan 12 minggu setelahnya, dan tetap menerima penghasilan penuh. Bahkan, para ibu memiliki pilihan mengambil cuti tambahan selama 40 minggu, sampai anaknya berusia setahun. Namun, perusahaan hanya membayar 60 persen dari penghasilan.

Meskipun secara kebijakan Kuba lebih unggul, realitasnya masih banyak ayah yang belum mengambil cuti paternitas. Inter Press Service—media asal Italia—melaporkan, sepanjang 2006 hingga 2013 hanya 125 ayah yang meminta cuti tersebut.

Kondisi itu dilatarbelakangi oleh peraturan, ayah tidak menerima penghasilan penuh jika memutuskan cuti. Akibatnya, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi. Ditambah budaya patriarki, memperkuat peran gender bahwa merawat anak adalah tugas perempuan.

Maka itu, banyak anak yang dirawat oleh neneknya. Sehingga pada 2017 pemerintah Kuba menetapkan kebijakan cuti paternitas dan maternitas, untuk kakek nenek dan anggota keluarga lain yang merawat bayi baru lahir. Situasi ini juga terjadi apabila ibu meninggal saat melahirkan, sedangkan ayah tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya.

Terlepas dari pelaksanaannya yang belum maksimal, pemerintah Kuba menawarkan kebijakan yang progresif. Dalam studi General Overview of Cuban Family Law Legislation (2017), peneliti Ana Maria dan Álvarez-Tablo Albo menyebutkan, pemerintah Kuba memandang keluarga dan lingkungan reproduksi sebagai tanggung jawab antara laki-laki, perempuan dan negara. Prinsip tersebut kemudian dinyatakan dalam susunan undang-undang pada 1976, bahwa “kesetaraan mutlak dari kewajiban dan hak pasangan untuk berkontribusi dalam pemeliharaan rumah”.

Cara pandang tersebut yang melatarbelakangi kebijakan cuti bagi orang tua yang berlaku sejak 2003. Artinya, pemerintah Kuba melihat bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab dalam pengasuhan keluarga, melainkan juga negara. Itulah mengapa cuti perawatan dipandang sebagai bagian dari produktivitas.

Yang kemudian diperkuat dalam Pasal 43 Konstitusi Kuba 2019 tentang ketentuan umum terkait hak, kewajiban, dan jaminan. Pasal ini menyebutkan, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam bidang ekonomi, politik, budaya, pekerjaan, sosial, dan keluarga. Sehingga negara menjamin laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama.

Kuba membuktikan, cuti perawatan ideal dapat terbentuk ketika negara mendorong pelaksanaannya. Seharusnya, Indonesia bisa belajar dari Kuba dalam menerapkan cuti perawatan.

Urgensi cuti tersebut belum tersampaikan pada masyarakat, sehingga minim pemahaman implementasi terkait kesejahteraan rumah tangga. UU yang berlaku pun baru menyebutkan, pekerja tetap dibayar selama dua hari apabila tidak melakukan pekerjaan, karena istrinya melahirkan atau keguguran kandungan. Tanpa dilatarbelakangi pertimbangan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Pemahaman itulah yang seharusnya dibentuk pemerintah.

Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengatakan, perancangan RUU KIA sekaligus menekankan pada masyarakat akan pentingnya peran ayah. Terutama dalam proses tumbuh kembang anak di awal kelahiran. Karena itu, durasi cuti paternitas yang direncanakan dibuat berdasarkan kebutuhan suami dan istri sebagai orang tua.

“Kami (DPR) membangun perspektif masyarakat bahwa peran ayah juga penting. Cuti ayah ini mengedepankan peran ayah dalam proses melahirkan,” jelas Diah, yang juga menjabat Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU KIA.

Untuk perkembangan RUU KIA, Diah menuturkan sampai saat ini wacana perpanjangan rentang waktu cuti melahirkan masih relatif, lantaran belum ditetapkan. Namun, terdapat beberapa poin yang akan ditetapkan dalam cuti tersebut. Pertama, fase persiapan melahirkan selama seminggu. Kedua, fase melahirkan selama 16 minggu. Ketiga fase perawatan anak, di bulan kelima dan keenam.

Pemerintah Kuba memandang keluarga dan lingkungan reproduksi sebagai tanggung jawab antara laki-laki, perempuan dan negara.

Sementara jangka waktu cuti ayah, menurut Diah masih dalam pertimbangan—untuk menentukan bagaimana suami dapat mendampingi istrinya melahirkan.

“Soalnya (ibu) membutuhkan penguatan psikologis, dan secara fisik sangat lemah. Jadi pendampingan itu yang diutamakan,” ucap Diah. “Tapi menyangkut peran ayah di bulan-bulan awal kehidupan anak, nanti kami bahas poin-poin urgensi supaya peran ayah bisa dilibatkan.”

Baca Juga: Cerita Nakes, Guru Honorer, dan Pengasuh yang Tak Dibayar Layak: Ini Masalah Struktural

Menerapkan Cuti Perawatan yang Ideal di Indonesia

Sebagai pemberi kerja, tak dimungkiri pengusaha menginginkan perusahaan tumbuh secara produktif. Karenanya, cuti perawatan kerap dianggap hambatan untuk mencapai produktivitas.

Situasi itu disebabkan berkurangnya tenaga kerja, sehingga perusahaan harus mengisi kekosongan tersebut dengan melimpahkan pekerjaan ke karyawan lainnya, atau merekrut pekerja baru selama beberapa bulan. Itu pun bukan perihal mudah, lantaran mayoritas pekerja membutuhkan pekerjaan untuk jangka panjang. Ditambah perusahaan harus tetap membayar pekerja yang mengambil cuti.

Tentu kondisi tersebut berdampak bagi pekerja. Mereka rentan mengalami diskriminasi akibat mengambil cuti. Contohnya terancam kehilangan pekerjaan, pemotongan jam kerja, dianggap membebankan kolega, tidak menerima kenaikan jabatan atau gaji setelah cuti, dan diminta melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya sebagai “hukuman”.

Padahal, cuti perawatan menawarkan sejumlah keuntungan bagi perusahaan. Seperti meningkatkan moral dan produktivitas karyawan, serta membantu pemberi kerja mempertahankan dan mempekerjakan karyawan terbaik. Kemudian juga mendorong kesejahteraan karyawan dan keluarganya, serta mengurangi kesenjangan sosial akibat hilangnya pendapatan di kalangan karyawan berpenghasilan rendah.

Di sinilah keterlibatan pemerintah dibutuhkan. Selain mengawasi implementasi cuti perawatan, kebijakan yang dibentuk perlu disetarakan pengakuan bahwa aktivitas di bidang perawatan-berbayar maupun tidak-merupakan aktivitas produktif yang meningkatkan kesejahteraan. Sekaligus berkontribusi terhadap produktivitas dan perekenomian.

Kekosongan pengakuan itulah, yang melatarbelakangi tidak optimalnya implementasi cuti perawatan. Peraturan yang ada pun memerlukan petunjuk teknis, untuk menjelaskan mengapa cuti tersebut penting. Hal ini disampaikan Early berdasarkan pengamatannya terhadap kebijakan pemerintah dan penerapan cuti.

Early juga menggarisbawahi faktor lainnya, yakni rendahnya kesadaran peran laki-laki dalam pembagian tanggung jawab keluarga. Meskipun belakangan keterlibatan laki-laki semakin terlihat, jumlahnya belum masif.

“Ketika laki-laki mengambil cuti untuk tanggung jawab keluarga, perempuan bisa bertahan di dunia kerja. Kalau tidak ada peran laki-laki, perempuan dilema karena punya tanggung jawab pengasuhan dan bekerja. Akhirnya, dia memilih berhenti dari pekerjaan untuk sementara,” jelas Early. “Pertanyaannya, apakah perempuan bisa kembali ke posisi yang sama di pekerjaannya?”

Menanggapi penerapan cuti perawatan yang belum ideal, Yuli mengatakan, Kemnaker mengadakan sosialisasi terkait pentingnya cuti perawatan lewat beberapa cara. Seperti konten edukasi di media sosial, dan forum group discussion (FGD) secara daring maupun luring.

“Penting untuk pekerja dan perusahaan memahami filosofi dasar (cuti perawatan). Kami harus menjelaskan ke berbagai pihak, sehingga konsep perlindungan benar-benar diberikan,” ujar Yuli. “Bahkan kalau bisa lebih baik dari sekadar mematuhi regulasi.”

Lebih dari itu, Yuli menyatakan umumnya Kemnaker mengadakan inspeksi ke perusahaan, yang dinilai belum optimal dalam menerapkan cuti haid, melahirkan, maupun paternitas.

Pemeriksaan ini dibagi dalam tiga jenis: pemeriksaan berkala—untuk staf Kemnaker di provinsi, pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan ulang. Biasanya, Kemnaker melakukan pemeriksaan khusus, ketika ada pengaduan dari pekerja atau perusahaan. Misalnya ketika pekerja melaporkan hak cutinya tidak terpenuhi.

Berdasarkan aduan itu, Kemnaker akan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup dan keterangan berimbang, dari pekerja dan pengusaha. Apabila ditemukan ketidakpatuhan terhadap peraturan, Kemnaker akan memberikan peringatan. Sementara jika peringatan belum dipenuhi, persoalannya dapat dilanjutkan ke pengadilan.

Menurut Yuli, pemeriksaan tersebut sekaligus bertujuan mengambil kesimpulan, siapa yang tidak mematuhi peraturan. Pasalnya, kesalahan belum tentu dilakukan sepihak oleh perusahaan maupun pekerja.

“Kami menggali informasi lewat berita acara pengambilan keterangan. Teman-teman (staf Kemnaker) datang langsung, wawancara dengan pengusaha dan pekerja yang bersangkutan. Atau saksi lain yang mengetahui peristiwa tersebut,” terang Yuli. “Kami juga akan sandingkan regulasi cuti yang sesuai peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama dalam perusahaan.”

Namun, sosialisasi yang perlu dilakukan lebih dari penyampaian filosofi dasar seperti disebutkan Yuli. Penting untuk menekankan pembagian tugas laki-laki dan perempuan, dalam tanggung jawab keluarga. Sesuatu yang belum dianggap bernilai ekonomi, sedangkan perawatan memiliki jam kerja panjang dan tidak berbayar.

Seperti tercatat dalam riset ILO pada 2018, durasi kerja perawatan tidak berbayar di 64 negara mencapai 16,4 miliar jam. Angka yang setara dengan dua miliar orang bekerja dalam delapan jam sehari.

Pasalnya, hal itu berkaitan dengan norma sosial yang berkembang di masyarakat. Contohnya stereotipe suami yang mendukung istri, berarti hidupnya ditanggung istrinya. Dengan sosialisasi, harapannya nilai-nilai yang terinternalisasi di masyarakat dapat berubah jadi norma sosial baru yang transformatif.

Mengawasi implementasi cuti perawatan, kebijakan yang dibentuk perlu disetarakan pengakuan bahwa aktivitas di bidang perawatan-berbayar maupun tidak-merupakan aktivitas produktif yang meningkatkan kesejahteraan. Sekaligus berkontribusi terhadap produktivitas dan perekenomian.

Sementara untuk cuti orang tua dan perawatan jangka panjang berbayar, Early maupun Yuli sepakat, sejauh ini belum ada diskusi intensif. Hal ini dikarenakan fokus pembahasan masih seputar cuti maternitas dan paternitas. Sedangkan untuk perawatan anak dan anggota keluarga lain, bisa termasuk dalam cuti tahunan masing-masing pekerja. Pun dibutuhkan investasi untuk menyusun kebijakan khusus, apabila kedua cuti tersebut hendak diberlakukan.

Meski demikian, Early menyarankan beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah, dalam mewujudkan cuti perawatan yang ideal. Yakni melalui 5R.

Pertama, recognize. Ada pengakuan bahwa aktivitas pemberian layanan, secara langsung maupun tidak langsung, dan berbayar ataupun tidak. Sebab, perawatan merupakan aktivitas produktif yang mendukung kesejahteraan manusia.

Kedua, reduce. Artinya, membagi tugas perawatan untuk mengurangi beban kerja perempuan. Sebab, perawatan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, sedangkan sampai saat ini masih difokuskan pada perempuan.

Ketiga, redistribute. Berkaitan dengan poin sebelumnya, peran perawatan harus dibagi antara suami dan istri. Artinya, suami juga berkontribusi dalam beban tanggung jawab keluarga. Entah salah satu di antaranya mengambil cuti untuk mengurus anak, atau memanfaatkan layanan ruang laktasi maupun daycare yang aman dan terjangkau. Bahkan, negara pun perlu terlibat di dalamnya.

“Layanan daycare juga bisa jadi tanggung jawab negara, misalnya lewat asuransi sosial. Jadi tidak hanya dibebankan sebagai tanggung jawab individu, tapi ada kontribusi negara,” tutur Early.

Keempat, reward. Yakni memberikan penghargaan  atau keuntungan terhadap tugas keperawatan. Contohnya menerima asuransi, tetap digaji, atau bisa kembali bekerja setelah cuti.

Kelima, representation. Aspek ini akan mewakili perempuan yang selama ini memiliki banyak beban kerja. Suara mereka perlu terwakilkan supaya dapat mengkomunikasikan keadaannya ke jalur sosial, dan mendapatkan kesepakatan dengan pihak ketiga di bidang ketenagakerjaan—sebagaimana urusan ketenagakerjaan di Indonesia memerlukan konsultasi dengan pihak ketiga.

“Prinsip 5R ini bisa digunakan untuk menganalisis situasi yang ada, sehingga bisa menemukan mana kebijakan yang harus ditingkatkan, atau memonitor implementasinya. Semua aspek itu harus dilihat secara komprehensif supaya bisa dipahami,” tambah Early.

Dengan demikian, jika kerja perawatan dianggap produktif, akses perempuan ke lapangan pekerjaan akan semakin luas. Alhasil akan meningkatkan aktivitas kerja, dan pertumbuhan ekonomi.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Dalam rangka International Women’s Day 2023, Magdalene meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan”. Akan ada satu artikel utama dan 4 artikel lainnya yang tayang setiap Rabu. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor Video: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *