Issues

Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi

Jutaan PRT di mancanegara mengalami kerentanan selama pandemi mulai dari kehilangan pekerjaan, perlakuan buruk majikan, sampai risiko tertular COVID-19.

Avatar
  • January 27, 2021
  • 8 min read
  • 809 Views
Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), ada 67 juta pekerja rumah tangga (PRT) di seluruh dunia dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Pekerjaan rumah tangga terjadi di ranah privat dan sering kali tidak terlihat.

PRT membersihkan, memasak, merawat anak-anak atau anggota keluarga lanjut usia, sering kali dilakukan tanpa kontrak atau dengan perlindungan hukum yang minim. Meskipun para PRT menjadi orang-orang yang berada “di garis depan” selama pandemi COVID-19, mereka jarang menjadi bagian dari rencana cepat tanggap COVID-19.

 

 

Lantas, bagaimana nasib para PRT perempuan di seluruh dunia selama pandemi dan kebijakan pembatasan sosial diterapkan untuk menghentikan penyebaran COVID-19?

Tak Ada Upah untuk PRT di Argentina, Afghanistan, dan Indonesia

Sebagian besar pekerjaan rumah tangga yang bersifat informal membuat pekerja rentan, terutama pada saat krisis seperti pandemi COVID-19.

Di Argentina, negara yang telah memberlakukan lockdown lebih dari 100 hari, sekitar 70 persen PRT berada di sektor informal, menurut sebuah studi oleh Universitas Lanús (UNLa) dan Pusat Studi dan Penelitian Tenaga Kerja.

Selama kebijakan pembatasan sosial berlangsung, tidak bekerja berarti tidak ada pembayaran upah. Bagaimanapun, banyak perempuan bisa pergi ke tempat kerja mereka meski tidak mendapat izin untuk keluar selama karantina. Menurut penelitian yang sama, bahkan hanya 33 persen pekerja yang dilindungi kontrak kerja dapat menerima gaji penuh tanpa bekerja sejak pandemi dimulai.

“Kami adalah tangan-tangan yang tak terlihat. Kami tidak ada untuk keluarga yang kami layani, kami juga tidak ada untuk negara. Dengan COVID-19 dan lockdown, kami menjadi yang pertama kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi atau dukungan apa pun.”

Masih di Argentina, kurangnya kepastian hukum membuat para pekerja rentan dan enggan untuk mengajukan keluhan. Misalnya, orang yang diwawancarai dalam penelitian tadi takut kehilangan pekerjaan, terinfeksi, dan menulari keluarga mereka sendiri.

Selain itu, semakin banyak pengusaha yang menggunakan trik hukum untuk membuat para pekerja berhenti, membayar mereka lebih sedikit, atau mengubah kategori mereka menjadi “pengasuh” sehingga mereka bisa menjadi “pekerja esensial”. Secara keseluruhan, serikat pekerja melaporkan bahwa 70 persen PRT mengalami pelanggaran hak pekerja selama masa karantina.

Di Ekuador, sebagian besar PRT juga melakukan pekerjaan tanpa kontrak atau kontrak yang menawarkan sedikit perlindungan. Menurut serikat nasional, hampir 85 persen PRT telah dipecat selama pandemi.

Di Tunisia, seorang PRT bernama Salma mengatakan kepada Global Voices:

“Kami adalah tangan-tangan yang tak terlihat. Pekerjaan kami tidak dihargai. Kami tidak ada untuk keluarga yang kami layani, kami juga tidak ada untuk negara. Dengan COVID-19 dan lockdown, kami menjadi yang pertama kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi atau dukungan apa pun.”

Ketika ada kontrak, banyak di antaranya justru tidak jelas dan lemah. Hal ini bisa dilihat dalam kasus di Indonesia yang memiliki sedikitnya 4,2 juta PRT. Pada 2019, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) melakukan jajak pendapat terhadap 668 PRT di tujuh wilayah di Indonesia. Mereka menemukan bahwa 98,2 persen responden hanya memperoleh antara 20 sampai 30 persen dari upah minimum Indonesia.

Baca juga: Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak

Terkadang, kontrak dengan institusi besar juga bisa salah. Misalnya di Afganistan, perempuan yang membersihkan kantor Kementerian Keuangan diizinkan untuk tinggal di rumah dulu selama awal pandemi dan terus dibayar. Namun, ketika situasi wabah memburuk, mereka harus kembali bekerja jika tidak mau kehilangan gaji. Karena mereka adalah pencari nafkah utama bagi keluarga mereka, mereka kembali ke kantor. Fawzia, seorang ibu tunggal dengan empat anak, mengatakan kepada Global Voices, “Jika kita menjaga diri dengan aman dari korona, kita akan mati karena kelaparan.”

Jutaan perempuan migran membersihkan rumah di Timur Tengah dan Asia Tenggara

Banyak perempuan yang membersihkan rumah, mengasuh anak, dan memasak untuk mendapatkan bayaran di seluruh dunia, bermigrasi dari negara lain untuk mendapatkan pekerjaan. Diperkirakan ada 2,1 juta PRT migran di Timur Tengah. Mayoritasnya adalah perempuan dari negara Asia dan Afrika seperti Sri Lanka, Filipina, Bangladesh, Nepal, Indonesia, Kenya, dan Ethiopia.

Di seluruh Timur Tengah, pekerja mungkin tidak dibayar sama sekali, dan akibatnya banyak perempuan PRT migran tidak dapat mengirim uang kembali ke rumah. Hal ini tidak hanya menambah ketegangan emosional dan psikologis yang diderita oleh para pekerja migran, tetapi juga menyebabkan hilangnya pendapatan bagi keluarga mereka di negara asalnya. Di Hong Kong, tingkat utang di antara komunitas migran Filipina dan Indonesia telah meningkat selama pandemi.

Di kota-kota seperti Hong Kong atau Singapura, pekerjaan rumah tangga yang dilakukan pekerja migran diatur secara terpisah. Undang-undang mewajibkan PRT migran untuk tinggal bersama majikan mereka. Hal ini berarti bahwa selama berminggu-minggu masa pembatasan sosial diterapkan, tinggal di rumah berarti harus tetap bekerja selama hari-hari istirahat bagi para PRT migran.

Krisis COVID-19 sekali lagi memicu perdebatan seputar aturan live-in. Tidak hanya mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tetapi juga sering melibatkan akomodasi yang tidak memadai dan makanan yang tidak mencukupi, atau kurangnya privasi dan keamanan.

Sebuah laporan penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Justice Center di Hong Kong menyatakan bahwa “66,3 persen PRT migran yang disurvei menunjukkan tanda-tanda eksploitasi yang kuat, tetapi tidak memicu cukup banyak indikator untuk dihitung sebagai pekerja paksa.” Hal ini pun mengarah pada zona abu-abu.

Meskipun Hong Kong tidak pernah diisolasi secara ketat, pemerintah berulang kali dan secara terbuka meminta PRT untuk tinggal di rumah pada hari-hari istirahat mereka selama puncak COVID-19 dari Januari hingga April. Beberapa pekerja melaporkan bahwa mereka diminta untuk mengundurkan diri jika meninggalkan tempat kerja pada hari istirahat. Baru pada awal April Law Chi-Kwon, Sekretaris Perburuhan dan Kesejahteraan, memohon melalui blog-nya kepada pekerja dan majikan untuk “menerapkan pemahaman bersama tentang pengaturan hari istirahat.”

Baca juga: Lindungi Pekerja Migran Indonesia dari Virus COVID-19

Di negara-negara Teluk, migrasi diatur oleh sistem di mana pekerja migran terikat dengan majikan mereka dan mereka tidak diperbolehkan untuk meninggalkan atau berganti majikan tanpa izin majikan awal mereka. Jika mereka melakukannya, mereka dapat ditangkap dan dihukum karena “melarikan diri” dengan sanksi denda, penahanan dan deportasi.

Di Brazil, Korban COVID-19 Pertama adalah PRT

Beberapa PRT khawatir ketika majikan mereka tidak memberi mereka masker atau pembersih tangan sebagai bagian dari protokol kesehatan wajib selama pandemi.

Di Rio de Janeiro, kematian COVID-19 pertama kali terjadi pada seorang perempuan berusia 63 tahun yang merupakan PRT. Perempuan yang namanya disamarkan dalam liputan media atas permintaan keluarganya tertular oleh majikannya yang baru saja kembali dari perjalanan ke Italia. Pekerja diminta untuk tinggal di rumah majikan selama beberapa hari karena jauhnya jarak antara rumah dan tempat kerjanya. Pada 16 Maret 2020, dia mulai merasa sakit dan meninggal keesokan harinya.

Data terbaru di Brazil yang dikumpulkan tentang pekerjaan rumah tangga menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki sekitar 6,1 juta PRT pada tahun 2016. Sebesar 92 persen di antaranya adalah perempuan dan 71 persen berkulit hitam. Hanya 4 persen dari mereka yang berserikat. Saat ini, tidak ada undang-undang khusus di Brazil yang membuat pekerjaan rumah tangga dianggap non-esensial selama pandemi. Pekerja dapat dipecat jika tidak pergi ke tempat kerja.

“PRT adalah tulang punggung masyarakat. Pemerintah harus menyiapkan dana darurat untuk membantu PRT dalam situasi seperti itu.”

Di Ekuador, ketika kegiatan ekonomi mulai dibuka kembali, lebih banyak PRT yang kembali bekerja dan mengkhawatirkan keselamatan mereka pada masa transisi ini. Kementerian Ketenagakerjaan mensyaratkan pengusaha dari perusahaan swasta memastikan bahwa pekerja disediakan transportasi yang aman dan memberlakukan protokol kesehatan, seperti memberi masker untuk melindungi kesehatan para pekerja. Namun, hal ini tidak selalu terjadi pada PRT, yang merasa rentan terhadap COVID-19 dalam perjalanan dan di lingkungan kerja mereka.

Serikat Pekerja dan LSM Berjuang untuk Hak-hak Pekerja

Serikat pekerja di beberapa negara mencoba melindungi hak-hak PRT. Di Jamaika, Serikat PRT Jamaika adalah organisasi non-pemerintah, non-partisan, sukarela yang mewakili kebutuhan dan kepentingan ribuan PRT. Angka resmi mencatat ada 58.000 PRT di negara Karibia itu.

Pendiri dan Presiden serikat, Shirley Pryce, yang menerima penghargaan Carribean Community’s Woman of the Year pada 2017, mengatakan kepada Global Voices bahwa seperti ribuan pekerja lain di perekonomian informal Jamaika, PRT hidup berkekurangan atau hidup dengan uang yang sangat minimum dan lebih menderita dibandingkan kelompok lain selama pandemi COVID-19.

Baca juga: ‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’

Serikat pekerja menyerukan kepada pemerintah untuk menyiapkan dana darurat untuk membantu PRT dalam situasi seperti itu.

Pryce menekankan keprihatinan utama atas kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat selama pandemi akibat tekanan ekonomi, lebih banyak waktu dihabiskan di dalam ruangan dengan pasangan, dan kondisi tempat tinggal yang penuh sesak. Pryce memberi tahu Global Voices:

“PRT adalah tulang punggung masyarakat. Meskipun fokus utama pemerintah adalah untuk menahan penyebaran virus, risiko yang muncul dari kekurangan tenaga kerja dan jaminan sosial, serta dampaknya pada kelompok yang paling rentan di masyarakat, telah meningkat dan situasinya semakin kritis.”

Di Singapura, di mana beberapa majikan melepaskan PRT mereka selama pandemi, Centre for Domestic Employee mengingatkan majikan untuk memperlakukan PRT mereka dengan adil. Masyarakat sipil juga menekan para pemimpin daerah untuk tidak mengabaikan PRT dan pekerja migran yang ada di Asia Tenggara.

Ekuador dan Brazil Menawarkan Solusi Kreatif

Sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para PRT, sebuah aplikasi diluncurkan di Ekuador yang bertujuan untuk meningkatkan hak dan kondisi kerja PRT. Aplikasi ini menggabungkan beragam informasi yang relevan dengan PRT sehingga mereka dapat menemukannya di satu tempat.

Melalui survei, aplikasi ini juga mengumpulkan data mengenai kondisi kerja PRT saat ini seperti gaji, pembayaran lembur, dan jam kerja atau bahkan untuk membantu pengguna mengidentifikasi pelanggaran hak pekerja yang mungkin terjadi dan memandu mereka melalui tindakan hukum jika diperlukan.

Di Brazil, serangkaian komik kartun dibagikan di Instagram untuk meningkatkan kesadaran tentang kehidupan PRT. Mereka menampilkan cerita tentang perempuan yang tidak memiliki pilihan untuk tinggal di rumah dan yang khawatir menempatkan diri mereka dan orang-orang di sekitarnya dalam bahaya penularan virus.

PRT, para pengembang, seniman, serikat pekerja, dan aktivis di seluruh dunia bekerja agar “tangan-tangan tak terlihat” dunia dapat keluar dari bayang-bayang, bahkan selama pandemi.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di Global Voices, sebuah komunitas internasional dengan ragam bahasa untuk para blogger, jurnalis, penerjemah, akademisi, dan aktivis HAM. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jasmine Floretta V.D.



#waveforequality


Avatar
About Author

Emma Lewis dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *