Lifestyle

Perlukah Bersyukur Jika Hidup Masih Sama-sama Saja?

Menurut sebagian orang, bersyukur itu penting. Bagi saya, justru itu jadi tanda tanya besar, terlebih saat tidak ada perkembangan dalam hidup.

Avatar
  • October 19, 2021
  • 5 min read
  • 861 Views
Perlukah Bersyukur Jika Hidup Masih Sama-sama Saja?

Saya bukan tipe orang yang suka menulis gratitude journal, setidaknya sampai pandemi melanda dan merasa perlu mencari kebahagiaan dari dalam diri. Awalnya saya enggak mengerti, mengapa ibu—dan banyak orang di media sosial, selalu menekankan pentingnya bersyukur.

Hampir semuanya mengatakan, bersyukur adalah salah satu cara menuju kebahagiaan lewat berbagai hal sederhana. Seperti kreator konten Aileen Xu yang bisa bersyukur setelah keramas karena rambutnya jadi lebih bagus, walaupun sempat terdengar tidak masuk akal.

 

 

Mungkin ini seperti testimoni penggunaan produk, tapi selama beberapa bulan pertama, gratitude journal berhasil membuat saya bernapas lega setiap sebelum tidur, dan lebih menghargai kehidupan yang sebelumnya dilewatkan begitu saja tanpa arti.

Ini mengingatkan saya dengan artikel dari University of California, Berkeley. Katanya, gratitude journal memaksa kita untuk memusatkan perhatian ke hal-hal berharga dalam hidup, sekecil apa pun itu.

Sementara, menurut Alex M. Wood dkk. dari Inggris dalam “The role of gratitude in the development of social support, stress, and depression: Two longitudinal studies” (2008) menjelaskan gratitude journal mampu menurunkan tingkat stres.

Sayangnya, rasa syukur itu tidak bertahan lama, meskipun menulis gratitude journal sudah menjadi suatu kebiasaan. Setiap membaca kembali apa saja yang disyukuri setiap harinya, yang tertulis tidak lain dan tidak bukan adalah empat hal ini: Masih bernapas, bisa makan tiga kali sehari, orang tua yang lengkap, serta akses internet dan gawai.

Baca Juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa

Saya yang saat itu kesulitan mencari tempat magang dan mendapatkan narasumber skripsi merasa sia-sia dan semakin stres di bawah tekanan, toh empat hal yang tersebut sudah tidak membuat bahagia. Setiap hari rasanya hanya untuk bertahan, sambil bersabar mengirimkan email ke perusahaan media dan calon narasumber.

Lantas, saya pun mempertanyakan, apa arti bersyukur jika hidup tidak ada perkembangan?

Dilakukan Tanpa Paksaan

“Seharusnya kamu bersyukur, mau makan enggak perlu mikir uangnya dari mana, tidurnya nyaman, enggak kehujanan.”

Kalimat tersebut adalah andalan ibu yang sepertinya sering melihat anaknya kebanyakan protes. Memang salah satu manfaat bersyukur adalah mengurangi perbandingan sosial. Dengan melakukannya, semestinya kita cenderung fokus pada kehidupan masing-masing tanpa kesal dengan orang lain, seperti kata Theodore Roosevelt, “comparison is the thief of joy.”

Mungkin maksud Roosevelt, perbandingan itu tidak dilakukan dengan mereka yang hidupnya lebih beruntung. Namun, bagi saya perbandingan itu juga tidak bisa dilakukan dengan orang-orang yang nasibnya tidak lebih beruntung.

Jika melihat “ke bawah”, memang tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas hidup yang nyaman, apalagi di tengah pandemi. Namun, itu bukan cara berpikir yang tepat untuk melakukannya.

Mengutip Psychology Today, hal tersebut tidak lebih dari bersyukur yang diinduksi rasa bersalah. Pun tidak seharusnya bersyukur dilakukan sebagai suatu teguran terhadap diri sendiri.

Beberapa contoh di antaranya adalah saat kita seharusnya merasa beruntung ketika diberikan kesehatan, memiliki support system, sudah berjuang sejauh ini, dan orang lain sedang mengalami musibah. Hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan rasa syukur.

Baca Juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?

Kenyataannya, sering kali bersyukur juga membuat kita tidak memvalidasi perasaan karena terlalu fokus melihat kebaikan, di saat kondisi diri sedang tidak baik-baik saja dan memperburuk kesehatan mental, terlebih jika mengalami depresi dan kecemasan.

Padahal, jika dipaksakan justru “menyerang” diri sendiri secara tidak langsung, dan ujung-ujungnya mengkritisi diri, seperti analisis akademisi asal Claremont Graduate University, Amerika Serikat, Jason Siegel dan Andrew Thomson.

Dalam “Positive emotion infusions of elevation and gratitude: help-seeking intentions among people with heightened levels of depressive symptomatology” (2016), keduanya menyebutkan, seseorang bisa merasa bersalah, berutang, dan seperti kegagalan ketika tidak menemukan sesuatu untuk disyukuri.

Walaupun demikian, ini bukan berarti melatih rasa syukur tidak perlu dilakukan. Saya pribadi menilai ini sebuah langkah baik untuk memandang hidup dari perspektif kecil, agar mampu melihat gambaran hidup secara utuh.

Namun, untuk memulainya perlu dilakukan atas kebutuhan sendiri, agar tidak timbul pertanyaan terkait rasa pantas atas perasaan yang dimiliki.

Bukan Untuk Semua Orang

Salah satu episode siniar Freakonomics berhasil menyentil kondisi saat itu. Dr. Thomas Gilovich, psikolog dan akademisi di Department of Psychology Cornell University, Amerika Serikat mengatakan, orang-orang tidak suka diingatkan betapa beruntungnya mereka, lantaran meremehkan usaha di balik pencapaiannya.

Sependapat dengan Gilovich, saya kembali mengingat perjuangan menyelesaikan kuliah pada 2020, dan diingatkan seorang teman kalau kesempatan mempercepat masa kuliah seperti yang kami lalui, belum tentu dimiliki mahasiswa lain. Alhasil, kalau perlu extend pun saya enggak telat lulus kuliah, tetap empat tahun. Jadi, apa pun yang terjadi jawabannya adalah tetap bersyukur.

Baca Juga: Mereka Bilang, Jadi Orang Dewasa Melelahkan – Magdalene

Namun, rasa syukur karena skripsi yang berhasil maju sampai bab metodologi penelitian itu, enggak akan menyelamatkan saya dari kemungkinan memperpanjang masa kuliah, dan menambah biaya semesteran.

Menurut profesor psikologi asal University of California, Riverside, Sonja Lyubomirsky, perihal bersyukur ini memang kompleks. Di satu sisi, kita bisa merasa rendah hati, tetapi juga bisa merasa malu atau berutang seperti dijelaskan Siegel dan Thomson, sehingga perjalanannya tidak selalu menyenangkan.

“Untuk sebagian orang, menghitung rasa syukurnya sebanyak tiga kali seminggu bisa terlalu banyak. Dan terlalu banyak bersyukur juga bisa menjadi bumerang,” ujarnya dilansir dari NPR.

Oleh karena itu, istilah “count your blessings” tampaknya belum tentu cocok diterapkan bagi semua orang. Rasa syukur dan cara berpikir positif ini semestinya tidak meninggalkan perasaan buruk apa pun, dan bukan sebuah permasalahan apabila belum bisa menemukan sesuatu untuk disyukuri.

Pun bersyukur bukan sebuah obat yang akan menghilangkan luka atau rasa kehilangan, melainkan hanya satu dari banyak cara untuk menghargai apa yang dimiliki dan mengingatkan apa yang perlu diperjuangkan. Lagi pula, selalu bahagia itu enggak perlu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *