Mereka Bilang, Jadi Orang Dewasa Melelahkan
Bagi mahasiswa yang baru lulus kuliah, masa transisi sebagai pekerja relatif melelahkan karena perlu beradaptasi dengan banyak tanggung jawab baru.
Saat berstatus mahasiswa, saya terheran dengan cuitan warganet tentang lelahnya hidup sebagai orang dewasa. Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi, katanya, termasuk bayar tagihan dan cicilan, belum lagi minimnya waktu untuk diri sendiri.
Kebetulan, saya merasakannya beberapa bulan setelah dinyatakan lulus sidang skripsi. Ibarat anak ayam baru menetas, ini saatnya ambil kendali atas kehidupan.
Meskipun sudah menyiapkan rancangan hidup, pertanyaan ini tetap saja muncul, “Habis ini mau ngapain?”
Sebagai seorang idealis, takut sulit mendapat pekerjaan juga saya alami. Pokoknya enggak mau jadi budak korporat, cuma mau jadi pekerja media, pikir saya waktu itu. Padahal di satu sisi, banyak orang tak bisa pilih-pilih pekerjaan selama pandemi, bahkan sebagian karyawan justru dirumahkan dengan dalih efisiensi.
Dari dilema memilih pekerjaan itu, saya mengamini pernyataan orang-orang, adulting is difficult. Jadi dewasa ya memang selelah itu.
Peralihan Masa Kuliah ke Masa Kerja
Saya sempat memilih rehat selama empat bulan dan asyik binge-watching 11 musim Grey’s Anatomy. Alasannya sederhana: Butuh menikmati kebebasan dan enggak ingin cepat-cepat punya tanggungan baru karena mengerjakan skripsi sambil magang, menguras banyak energi dan memengaruhi kesehatan mental saya. Teman-teman kuliah satu per satu mulai bekerja, beberapa di antaranya rutin mengirimkan lowongan pekerjaan yang kebanyakan saya lewatkan begitu saja. Wong kondisi diri belum pulih-pulih amat dari kelelahan garap skripsi.
Baca Juga: 7 Tips Menjaga Work Life Balance Buat Fresh Graduate
Saat merasa siap mencari pekerjaan, saya menjadikan Google sebagai tempat pelarian untuk menemukan jawaban tentang “hal-hal yang perlu disiapkan sebelum bekerja.” Cara membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mengenal berbagai psikotes rekrutmen perusahaan, jenis-jenis kontrak pekerjaan, hingga budgeting gaji. Sambil bertanya dan belajar dari pengalaman teman-teman yang duluan masuk ke lingkungan pekerjaan, rentetan keperluan itu sudah bikin kewalahan.
Ketidaktahuan tentang keperluan tersebut sempat membuat saya bertanya-tanya, “Kayak gini dipelajari di mana, sih?” Meskipun sebelumnya pernah mencari tahu untuk mempersiapkan diri, kenyataannya, kesiapan menjadi orang dewasa itu bisa dipenuhi saat waktu menghadapinya tiba, alias learning by doing.
Namun, itu baru masa-masa persiapan. Nyemplung di kehidupan pekerja jauh lebih menantang.
Di hari pertama pulang kantor—saat itu work from office, saya memperhatikan sesama penumpang Transjakarta. Mereka terlihat sabar dan menikmati kemacetan Kota Jakarta, atau mungkin pasrah. Sebenarnya itu bukan kali pertama saya terjebak macet di jam pulang kantor naik transportasi umum, tapi membayangkan jika harus menghadapinya lima hari seminggu seumur hidup sepertinya enggak sanggup.
Selama di perjalanan, saya berusaha enggak menghitung perkiraan waktu sampai di rumah, walaupun terbayang nikmatnya merebahkan badan. Bagi saya, itu hanya membebani pikiran. Belum lagi kalau teringat pekerjaan yang rasanya perlu segera diselesaikan, kok kayak makin jauh dari istirahat. Maklum, anak baru “mentas” ini baru terjun ke dunia pekerja, belum ahli dalam memprioritaskan pekerjaannya.
Baca Juga: Untuk Kalian yang Bekerja Sambil Kuliah, Kalian Hebat
Minggu pertama bekerja itu terasa berat karena setiap hari harus kembali berdamai dengan keadaan: Jam tidur yang langka, mengejar bus, menahan kesal soal kemacetan, dan melawan rasa cemas saat berada di sekitar orang banyak. Rasanya seperti tidak ada waktu untuk benar-benar istirahat selain pada akhir pekan.
Rutinitas baru sebagai pekerja membuat saya merefleksikan keputusan untuk beristirahat selama empat bulan. Ternyata itu salah satu langkah terbaik yang pernah saya lakukan. Saya sadar, sebagai individu yang terus bergerak, kita perlu mendengarkan kebutuhan diri dan memprioritaskannya, jangan sampai tenggelam dalam cepatnya dinamika kehidupan.
Masa Kecil Lebih Bahagia
Sering kali, saya menemukan diri sendiri dan orang lain di dunia maya mengglorifikasi masa kanak-kanak dan remaja yang lebih menyenangkan. Pasalnya, tanggung jawab kita saat itu hanya belajar dan mengerjakan PR, sedangkan sisa waktu digunakan untuk bermain dengan teman-teman.
Sementara, menjadi orang dewasa artinya semakin banyak kewajiban yang perlu diselesaikan dan harus memenuhi kebutuhan hidup. Melelahkan memang, Jumat terasa lebih mengasyikkan dan Minggu lebih mencemaskan dari sebelumnya, yang dikenal dengan istilah sunday scaries dalam Urban Dictionary. Hidup terikat untuk melakukan hal yang sama secara berulang, ditambah pandemi mengharuskan tetap di rumah, membuat aktivitas harian monoton dan rasanya kurang membahagiakan.
Baca Juga: Untuk Perempuan Generasi ‘Sandwich’: Kamu Berhak Bahagia
Sebuah artikel dari Teen Ink, tabloid remaja asal Atlanta, AS, menyebutkan anak-anak lebih rileks karena tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal seperti orang dewasa. Ini karena mereka sangat bergantung pada orang lain dalam setiap aspek kehidupannya, sehingga hari-hari mereka terdengar jauh lebih menyenangkan untuk dijalani.
Artikel tersebut membuat saya bertanya pada diri sendiri, “Apa iya, masa kecil jauh lebih menyenangkan?”
Jawabannya tidak. Mungkin benar, dari segi waktu kita punya kebebasan lebih saat anak-anak. Namun, tidak dengan kebebasan atas diri sendiri.
Menurut saya, kita lebih mengenal diri setelah menjadi orang dewasa, sehingga tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan. Selain itu, kita punya kesempatan untuk mewujudkan berbagai hal yang sebelumnya hanya menjadi harapan.
Dalam konteks hidup saya, sesederhana berlangganan streaming services untuk menyaksikan film dan serial televisi. Maklum, sewaktu kecil enggak diperbolehkan pasang TV kabel, katanya nanti malas belajar karena kebanyakan nonton. Setelah memiliki penghasilan sendiri, saya justru “balas dendam” berlangganan beberapa platform layanan streaming dan menyaksikan tayangan hiburan sebanyak-banyaknya. Soalnya, ini bisa dijadikan alasan untuk cari ide pekerjaan dan sudah tidak ada yang melarang.
Masih banyak tahapan hidup sebagai orang dewasa yang saya yakini akan lebih menantang sekaligus menyenangkan. Terlepas dari tanggungan yang harus dipikul, percayalah setiap proses yang kita jalani bisa membawa diri ke titik yang selama ini tertanam di angan-angan. Seandainya nanti berakhir bukan menjadi apa-apa pun tidak apa-apa.
Satu kalimat ingin saya ucapkan ke teman-teman sebaya, “Apa pun yang sedang dikerjakan, kuat-kuatin!”