Perempuan HIV di Tengah Bencana
Buat kami orang dengan HIV/ AIDS, tak minum obat ARV sehari bisa fatal sekali. Bagaimana kami bisa bertahan dalam situasi bencana?
Kepala saya terus memutar-mutar memori tentang duka di Donggala 2018. Hari itu, gempa dahsyat menggulung kota. Namun, bencana sesungguhnya buat saya, perempuan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) tak selesai dengan rumah yang hancur. Bencana besar buat kami adalah ketika akses terhadap obat Antiretroviral (ARV) terputus. Rasanya seperti kiamat. Sebab, saya tahu, jika terlambat atau putus obat ARV, dampaknya bisa fatal.
Dalam konferensi AIDS internasional di Wina, Austria pada 2010 silam disebutkan, jika penderita HIV/ AIDS rutin konsumsi ARV, angka harapan hidupnya meningkat hingga 95 persen di seluruh dunia. Sebaliknya jika tidak, virus itu bakal menggerogoti kekebalan tubuh dan memicu kerusakan organ lainnya.
Adanya gempa di Donggala membuat saya bingung. Saya memang bukan orang Donggala, tapi hari-hari di sekitar itu, saya berencana mengajar anak-anak di Sirenja, sebuah desa di Donggala. Saya masih ingat, orang tua dan saudara sibuk menelepon dan mencari keberadaan saya. Adik mengunggah foto saya di grup Facebook Palu dan Donggala. Namun, kami baru bisa ngobrol dua hari berselang.
Kebingungan itu tak cuma soal akses komunikasi yang sempat terputus, tapi akses saya terhadap ARV. Obat ini selalu saya minum setiap hari agar virus HIV bisa terkikis. Hari di mana gempa terjadi, cuma tersisa beberapa butir ARV saja untuk saya. Lalu, saya berencana mengambil ARV ke rumah sakit saat pulang dari kegiatan mengajar, tapi ternyata tak semudah itu.
Kenyataannya banyak orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) mengalami kesulitan yang sama, bahkan lebih parah. Mereka sudah tidak minum obat karena rumahnya tersapu tsunami dan terdampak likuifaksi. Pun, tidak sempat mengingat menyelamatkan obat ARV-nya karena segera menyelamatkan diri ke atas gunung.
Hingga di hari keempat pascabencana, saya coba mengunjungi teman ODHA yang lain di Donggala untuk saling memantau keadaan. Jujur sulit menjangkau teman-teman ODHA karena bensin masih langka. Makin horor begitu saya lihat banyak rumah sakit dan apotek hancur.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Perjuangan Berburu ARV
Saya menyambangi rumah sakit rujukan ARV (RS Undata) yang areanya masih riskan untuk didatangi. Saat itu, saya susah payah memanjat salah satu ruangan di lantai dua, tempat biasanya ARV tersimpan. Di tengah kecemasan akan adanya gempa susulan, saya menerobos garis polisi yang terbentang dan memungut sisa-sisa obat ARV yang berhamburan. Entah adrenalin dari mana yang membuat saya bertindak demikian. Yang terpikir saat itu hanya, “Ayo, Arfi, kamu harus bertahan hidup. Teman-teman ODHA lain juga harus tetap hidup.”
Upaya saya tak sia-sia. Setelah berhasil mengumpulkan sejumlah obat ARV, saya mendistribusikannya ke salah satu titik pengungsian. Lalu mengantarkan susu formula untuk anak dengan HIV, mengirimkan ARV di kabupaten yang jauh dari Kota Palu, seperti di Kabupaten Toli Toli, Morowali, dan Buol.
Saat melakukan itu rasanya campur aduk sekali. Menangis, terharu, bingung, takut. Rasa-rasanya saya ingin segera kembali ke rumah saya di Kota Makassar saja. Namun, saya enggan meninggalkan teman-teman senasib.
Beruntung, saat menjalankan Posko ARV Mobile Sampesuvuku, kami banyak dibantu oleh relawan Indonesia AIDS Coalition (IAC) di dua minggu pertama. Kami lantas mendistribusikan obat ARV untuk khalayak yang lebih luas. Tak cuma IAC, kami juga sangat terbantu dengan kedatangan Relawan Jaringan Indonesia Positif.
Sebagai informasi, terdapat 104 ODHIV dari total 247 ODHIV yang mengakses ARV di rumah sakit di sini. Kami memastikan, mereka bisa mengambil ARV di Posko ARV Mobile Sampesuvuku, sehingga tidak putus obat. Kamu mungkin bertanya, di mana peran negara saat kami pontang-panting memperpanjang napas sendiri? Nihil. Upaya bertahan hidup itu justru dimudahkan berkat bantuan masyarakat sipil, alih-alih pemerintah.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Pengalaman kami ini setidaknya jadi bukti bahwa negara belum cukup hadir mempermudah hidup ODHA. Jangankan memastikan akses obat ARV tetap ada, menghilangkan stigma dan diskriminasi kepada kami saja belum berhasil. Apalagi dalam situasi bencana seperti ini, ODHA cenderung akan lebih sulit bertahan hidup di tenda-tenda pengungsian. Tak ada obat berarti kekebalan tubuh menurun. Jika kekebalan tubuh terus ambles, tentu ODHA akan berpotensi sakit bahkan sampai meninggal dunia.
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat dalam penelitian Gomez (2012) mencatat, setidaknya terdapat empat dampak signifikan yang dirasakan oleh ODHA dalam situasi bencana. Pertama, bencana kerap berdampak pada ketersediaan air bersih. Meminum air yang tercemar dapat meningkatkan risiko infeksi yang dialami oleh ODHA.
Kedua, terganggunya siklus pengobatan ODHA, termasuk ARV yang seharusnya diminum setiap hari. Hal ini dapat menyebabkan naiknya HIV viral load, atau jumlah virus yang beredar di dalam tubuh ODHA.
Ketiga, situasi bencana menutup akses ODHA terhadap fasilitas kesehatan yang lengkap.
Keempat, bencana umumnya mengacaukan akses transportasi, yang dapat berdampak pada keterlambatan suplai obat-obatan, dan bantuan bagi ODHA.
Dalam kondisi krisis begini, alur layanan kesehatan yang jelas dan inklusif sangat penting untuk ODHA. Tak lupa perlu ada dukungan data jumlah dan lokasi ODHA yang lengkap, juga makanan dan minuman bergizi agar tak memperburuk kekebalan tubuh ODHA, baik lelaki, perempuan, anak, dan lainnya. Rumah singgah untuk ODHA juga perlu digagas dalam situasi bencana.
Baca juga: Saya Ibu dengan HIV, Mampu Lawan Stigma Masyarakat
Ini adalah artikel kedua dari series tulisan pelatihan jurnalis komunitas IAC di Bali, Oktober 2022. Baca artikel lainnya yang terbit setiap Rabu di Magdalene.co.
1. Orang dengan HIV/ AIDS juga Bisa Berdaya
2. Surat untuk Mendiang Puput: ‘Matahari di Sana Lebih Cerah, Nak!’