Issues Politics & Society

8 Poin Tuntutan Genosida Afrika Selatan ke Israel yang Harus Kamu Tahu

Dari pembunuhan massal hingga pengusiran, ada delapan poin tuntutan Afrika Selatan kepada Israel di Mahkamah Internasional.

Avatar
  • January 17, 2024
  • 12 min read
  • 1285 Views
8 Poin Tuntutan Genosida Afrika Selatan ke Israel yang Harus Kamu Tahu

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Israel dihadapkan ke meja hijau di Mahkamah Internasional di Den Haag atas tuduhan kejahatan kemanusiaan. Afrika Selatan (Afsel), negara yang merdeka dari rezim apartheid adalah penuntutnya.

Dalam permohonan gugatan (29/12), Afsel menuduh Israel melakukan genosida yang bertentangan dengan Konvensi Genosida PBB 1948, di mana Afrika Selatan dan Israel merupakan negara peserta. Afsel juga melihat gugatan ini sebagai pemenuhan kewajibannya sebagai negara yang terikat dalam Konvensi Genosida untuk mencegah tindakan genosida.

 

 

Menteri Kehakiman dan Pelayanan Pemasyarakatan Afrika Selatan Ronald Lomala bilang, kekerasan di Palestina bukan dimulai sebelum 7 Oktober 2023 tapi sudah berlangsung selama 76 tahun yang ditandai dengan Nakba.

Dalam sidang pertamanya yang digelar pada (11/1) lalu, tim kuasa hukum Afrika Selatan meminta agar Mahkamah Internasional segera bertindak menggunakan “tindakan sementara”. Tindakan sementara ini dikutip dari Law for Palestine berfungsi sebagai perintah mendesak untuk mencegah tindakan yang dapat memperburuk atau memperpanjang sengketa, sementara proses pengadilan berlanjut ke tahap berikutnya. Tujuannya agar rakyat Palestina tak kian menderita.

Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Sekilas soal Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) adalah badan hukum tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dapat mengadili masalah-masalah di antara negara-negara anggota. Melansir dari Al Jazeera, Mahkamah Internasional (ICJ) berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang mengadili individu dalam kasus-kasus kriminal. Mahkamah Internasional sendiri didirikan pada 1945 berdasarkan Piagam PBB.

Mengutip penelitian Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) (2014), dalam menyelesaikan sengketa antarnegara, Mahkamah Internasional punya kewenangan yang meliputi memutuskan perkara-perkara para pihak yang bersengketa, memberikan nasihat kepada negara-negara yang meminta, serta memberikan nasihat yang diminta oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, serta badan-badan lain dari PBB selama diijinkan oleh Majelis Umum.

Lebih lanjut, putusan Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak dan hanya berhubungan dengan perkara khusus dari para pihak tersebut. Putusan ini baru dikeluarkan beberapa tahun pasca-gugatan pertama. Para ahli mengatakan, keputusan dalam kasus ini dapat memakan waktu tiga hingga empat tahun.

Pertimbangan Mahkamah Internasional merupakan proses yang melibatkan pengajuan tertulis yang terperinci diikuti dengan argumen lisan dan argumen balasan dari tim penasihat hukum terbaik yang mewakili masing-masing negara. Nantinya lewat putusan yang dikeluarkan pihak-pihak yang bersengketa wajib mematuhi putusan yang ada. 

Jika ada negara tidak mematuhi keputusan, maka ada beberapa sanksi yang diterapkan untuk memaksa negara tersebut mematuhinya, salah satunya adalah dikucilkan dari pergaulan internasional.

Baca Juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca

Delapan Poin Kunci Genosida Israel terhadap Palestina

Tim kuasa hukum Afsel pun tidak main-main saat menuduh Israel. Dalam gugatan setebal 84 halaman, Afsel menyampaikan delapan poin kunci tindakan genosida Israel di Gaza.

Poin-poin ini semua ditulis berdasarkan informasi faktual dan bukti empiris yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Termasuk di dalamnya laporan dari Pelapor Khusus PBB, laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), siaran resmi Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (UNOCHR), laporan jurnalis di lapangan di Gaza, data Kementerian Kesehatan dan laporan LSM terkemuka.

Berikut adalah delapan poin kuncinya:

1. Pembunuhan massal warga Palestina

Gaza telah mengalami pengeboman terparah dan paling mematikan dalam sejarah modern. Sedikitnya 23.780 warga Palestina tewas dalam serangan darat dan udara militer Israel selama sejak 7 Oktober 2023 lalu dengan perempuan dan anak-anak adalah mayoritas korbannya. Korban tewas ini kemudian disusul dengan delapan ribu orang lainnya yang masih dinyatakan hilang dan kemungkinan meninggal karena terjebak di bawah reruntuhan bangunan.

Para dokter, jurnalis, guru, akademisi, dan para profesional lainnya juga dibunuh. Hingga saat ini, Israel telah membunuh lebih dari 311 dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya, termasuk dokter dan sopir ambulans yang terbunuh saat bertugas. 103 jurnalis, yang berjumlah lebih dari satu orang setiap harinya, dan lebih dari 73 persen dari total jumlah jurnalis dan pekerja media yang terbunuh di seluruh dunia pada 2023.

Pemblokiran impor bahan bakar oleh Israel, penghancuran infrastruktur, dan pemadaman komunikasi juga sangat menghambat upaya penyelamatan. Pada 8 Desember 2023, hanya satu kendaraan penyelamat yang dilaporkan beroperasi di seluruh Gaza, dan mereka yang selamat dipaksa untuk mencoba menggali korban dengan tangan kosong. Tingkat pembunuhan yang dilakukan Israel sangat luas sehingga mayat-mayat dikubur di kuburan massal, sering kali tanpa identitas.

2. Kerugian fisik dan mental

Ada lebih dari 59.410 warga palestina terluka dan lebih dari 1.000 anak kehilangan anggota tubuhnya. Luka bakar dan amputasi adalah luka yang umum terjadi dengan perkiraan 1.000 anak kehilangan satu atau kedua kakinya. Selain menyebabkan kecacatan fisik, tingkat pengeboman ekstrem dan tidak adanya daerah aman juga menyebabkan trauma mental parah pada penduduk Palestina di Gaza.

Afsel mencatat bahkan sebelum serangan terakhir, penduduk Palestina di Gaza menderita trauma berat akibat serangan sebelumnya dengan 80 persen anak-anak Palestina mengalami tingkat tekanan emosional tinggi. Mereka mengompol karena mengalami ketakutan konstan (79 persen), isolasi diri lewat sikap diam yang reaktif (59 persen), serta terlibat dalam tindakan melukai diri sendiri (59 persen), dan pikiran untuk bunuh diri (55 persen). Dengan adanya agresi militer Israel pasca 7 Oktober, Afsel berargumen trauma warga Palestina kemungkinan jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Selain itu, ada pula laporan-laporan, pasukan Israel menggunakan fosfor putih di daerah-daerah padat penduduk di Gaza. Tidak ada rumah sakit yang berfungsi di bagian utara Gaza, khususnya, akhirnya membuat orang-orang yang terluka tidak dapat mencari pembedahan atau perawatan medis selain pertolongan pertama, sekarat secara perlahan-lahan.

3. Pengusiran massal

Berdasarkan data yang dimiliki Afsel, ada 85 persen warga Gaza mengalami pengusiran paksa. Israel menyebut pengusiran paksa ini sebagai perintah evakuasi yang disebut Afsel tidak realistis. Saat warga Palestina telah mengikuti perintah evakuasi, Israel justru meluncurkan pada warga Gaza yang sedang berjalan di sepanjang rute yang mereka sendiri katakan aman.

Tercatat Israel terus melakukan pengeboman di selatan Wadi Gaza selama ini, menewaskan banyak orang Palestina yang mengungsi, yang pada awalnya mendorong banyak keluarga Palestina untuk kembali ke utara untuk menghindari risiko dibom di sekitar rumah mereka. Kini Israel telah merusak atau menghancurkan sekitar 355.000 rumah warga Palestina yang merupakan 60 persen dari keseluruhan jumlah rumah di Gaza. Tingkat kehancuran di bagian utara Gaza, khususnya, telah membuat sebagian besar wilayah tersebut tidak dapat ditinggali, dengan kehancuran di bagian selatan yang mencapai tingkat yang sama.

Di tengah-tengah agresi militernya, Israel juga memberlakukan pemadaman Listrik sejak 11 Oktober 2023 dan pemadaman telekomunikasi regular. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengatakan bahwa warga Gaza bak disuruh bergerak seperti bola pinball manusia yang memantul di antara bagian yang semakin kecil di bagian selatan, tanpa dasar-dasar untuk bertahan hidup.

4. Perampasan akses terhadap makanan dan air layak di Gaza

Afsel mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan, 93 persen populasi di Gaza menghadapi krisis kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kekurangan makanan dan tingkat malnutrisi yang tinggi. WHO mengatakan setidaknya 1 dari 4 rumah tangga menghadapi ‘kondisi bencana kelaparan’.

Kondisi ini diperburuk oleh serangan Israel yang terus berlanjut di Gaza dan membuat lahan pertanian, tanaman, kebun, dan rumah kaca hancur. Infrastruktur pangan di Gaza seperti toko dan pasar sudah dianggap tidak lagi berfungsi. Banyak warga Palestina akhirnya karena kelaparan, mengumpulkan tepung yang tumpah dari distribusi bantuan di jalan, atau praktik-praktik makanan yang tidak aman lainnya.

Air pun jadi barang langka. Israel terus memutus saluran air ke bagian utara Gaza. World Food Programme (WFP) melaporkan, hanya ada 1,5 hingga 1,8 liter air bersih yang tersedia per orang per hari, untuk semua penggunaan (minum, mencuci, menyiapkan makanan, sanitasi, dan kebersihan). Jumlah tersebut jauh di bawah “ambang batas darurat” sebesar 15 liter per hari untuk “kondisi perang atau kelaparan”, atau “ambang batas kelangsungan hidup” sebesar 3 liter per hari.

Kekurangan air ini sangat berdampak pada ibu menyusui, khususnya. Para ibu muda tidak dapat menyusui karena kurangnya nutrisi yang tepat akibat kelangkaan makanan terpaksa menggunakan air yang terkontaminasi untuk menyiapkan susu formula jika tersedia, sehingga berisiko menimbulkan penyakit pada bayi yang rentan.

5. Perampasan tempat tinggal, pakaian, kebersihan, dan sanitasi

Berdasarkan laporan Agensi Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), kualitas kehidupan di Palestina sangat buruk. Tempat penampungan UNRWA saat ini memiliki rata-rata 486 orang yang menggunakan satu toilet, sementara lokasi-lokasi lain di mana orang-orang mencari tempat penampungan sering kali tidak memiliki toilet sama sekali. Perempuan yang sedang menstruasi menjadi pihak yang paling terkena dampaknya.

Bayi-bayi yang baru lahir di tempat penampungan pun banyak dilaporkan meninggal dunia ketiadaan sanitasi yang memadai, makanan, air, dan perawatan medis. Di seluruh Gaza, pakaian hangat, tempat tidur, selimut, dan barang-barang non-makanan yang sangat penting juga menjadi barang langka. Akibatnya, orang-orang sangat bergantung pada kayu dan limbah seperti plastik untuk memasak dan menghangatkan tubuh yang bisa meningkatkan risiko penyakit pernapasan.

Pengeboman terus menerus di Gaza juga mencegah pengolahan dan distribusi air, serta pengelolaan limbah yang memadai. Membuat banjir di Gaza mampu meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular di antara para pengungsi Palestina.

6. Perampasan bantuan medis yang memadai untuk warga Palestina di Gaza

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada 7 Desember 2023, pakar PBB mencatat, infrastruktur layanan kesehatan di jalur Gaza telah dibumihanguskan. Telah terjadi lebih dari 238 serangan terhadap layanan kesehatan, di mana lebih dari 61 rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya telah rusak atau hancur. Sebanyak 203 serangan terhadap layanan kesehatan telah menyebabkan setidaknya 22 orang meninggal dan 59 orang terluka di antara para petugas kesehatan yang sedang bertugas.

Sedikitnya 570 warga Palestina telah terbunuh di rumah sakit dan pusat-pusat layanan kesehatan di Gaza dan 746 lainnya terluka. Warga Palestina lainnya telah meninggal sebagai akibat langsung dari pemutusan aliran listrik dan bahan bakar ke rumah sakit, termasuk lima bayi prematur dan 40 pasien ICU dan pasien ginjal di rumah sakit Al Shifa.

Mereka yang terluka oleh Israel di Gaza tidak mendapatkan perawatan medis yang dapat menyelamatkan nyawa mereka. Sistem perawatan kesehatan Gaza yang telah lumpuh akibat blokade selama bertahun-tahun dan serangan sebelumnya oleh Israel tidak mampu menangani jumlah korban luka yang sangat banyak, yang kini mencapai 55.243 orang, termasuk sedikitnya 8.663 anak-anak.

7. Kehancuran kehidupan warga Palestina

Di seluruh Gaza, Israel telah menargetkan infrastruktur dan fondasi kehidupan Palestina, dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang diperhitungkan untuk membawa kehancuran fisik Rakyat Palestina.

Pada 16 November 2023, 15 Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan 21 anggota Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatatnya lewat tingkat kehancuran yang terjadi pada unit-unit perumahan, rumah sakit, sekolah, masjid, toko roti, gedung pengadilan, perpustakaan, universitas, pusat budaya, monument bersejarah, hingga jaringan listrik.

Bersamaan dengan penghancuran massif ini, Israel berupaya menghancurkan tatanan dan dasar kehidupan warga Palestina di Gaza. Mereka menghancurkan potensi akademik dan budaya Gaza di masa depan, berikut dengan warisan yang mereka punya. Inilah mengapa Israel juga secara sengaja telah membunuh banyak para pemuka agama, penyair, jurnalis, ilmuwan, begitu pula dengan para akademisinya.

8. Menerapkan langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran warga Palestina

Poin kunci terakhir dari tuduhan genosida Israel adalah bagaimana Israel melakukan kekerasan reproduksi pada perempuan Palestina. Afrika Selatan mengutip dari pernyataan UNICEF dan Al Jazeera bahwa agresi militer Israel berdampak sangat buruk terhadap perempuan dan anak-anak Palestina di Gaza, dengan 70 persen dari mereka terbunuh.

Dua ibu diperkirakan terbunuh setiap jam di Gaza. Lebih dari 7.729 anak-anak diperkirakan telah terbunuh pada tanggal 11 Desember 2023 saja, dan setidaknya 4.700 perempuan dan anak-anak lainnya dilaporkan hilang. Selain itu, ada banyak saksi mata yang menyaksikan perempuan hamil dibunuh oleh tentara Israel, termasuk saat mencoba mengakses layanan kesehatan.

Diperkirakan 5.500 dari sekitar 52.000 perempuan hamil Palestina di Gaza yang melahirkan setiap bulannya berada dalam kondisi yang tidak aman, seringkali tanpa air bersih, apalagi bantuan medis yang membuat mereka berisiko infeksi serta komplikasi medis meningkat. Tak kalah pentingnya, ada banyak saksi mata yang menyaksikan perempuan hamil dibunuh oleh tentara Israel, termasuk saat mencoba mengakses layanan kesehatan. Tindakan ini sepertinya sengaja dilakukan.

Baca Juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina

Apa Selanjutnya?

Dunia berharap keadilan bagi jutaan warga Palestina dapat tercapai di Den Haag, Belanda. Masalahnya, meski ada pembuktian genosida oleh tim kuasa hukum Afsel, sulit rasanya untuk memprediksi bagaimana hakim akan memberikan suara atau bentuk hukuman apa yang akan diambil.

Keputusan Mahkamah Internasional memang mengikat secara hukum dan tidak dapat diajukan banding. Namun dikutip dari Al Jazeera ada satu permasalahan penting yang harus kita cermati bersama. Mahkamah Internasional pengadilan pada kenyataannya tidak memiliki kekuatan penegakan hukum yang nyata.

Jika Israel tidak mematuhi hasil putusan pengadilan, Afsel dapat meminta sanksi kepada Dewan Keamanan PBB. Namun, Israel punya pendukung utama yang kuat, yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat mempunyai hak veto sebagai anggota tetap PBB. Hak veto Amerika Serikat telah membuat Israel jadi kebal hukum walau kejahatan kemanusiaan mereka telah banyak terdokumentasikan.

Sejak 1945, total ada 36 rancangan resolusi DK PBB terkait Israel-Palestina yang sukses telah oleh salah satu dari lima anggota tetap DK PBB, yaitu AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis. Dari jumlah tersebut, 34 diveto oleh Amerika Serikat dan dua oleh Rusia dan Tiongkok.

Mayoritas resolusi ini dirancang untuk memberikan kerangka perdamaian dalam pendudukan Israel atas Palestina yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Termasuk di dalamnya adalah meminta Israel untuk mematuhi hukum internasional, menyerukan penentuan nasib sendiri untuk negara Palestina, atau mengutuk Israel atas pengusiran warga Palestina atau pembangunan pemukiman di wilayah pendudukan Palestina.

“Ini adalah salah satu alasan mengapa penting untuk tidak terlalu memikirkan keputusan yang dikeluarkan oleh ICJ (Mahkamah Internasional) dan lebih memikirkan proses itu sendiri,” kata Mai El-Sadany, Direktur Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang berbasis di Washington.

Dibandingkan terfokus pada hasil pengadilan itu sendiri, El-Sadany bilang gugatan Afrika Selatan bisa lebih berguna dalam memberikan tekanan internasional pada Israel untuk menghentikan agresi militer mereka.

“[Hal ini] dapat berdampak signifikan terhadap akuntabilitas dalam bentuk yang berbeda, baik dengan mendokumentasikan pengalaman para korban, menyebut nama dan mempermalukan pelaku, atau menjadi preseden internasional,” katanya kepada Al Jazeera.

Selain itu, negara-negara lain secara hukum sebenarnya juga dapat melakukan intervensi demi kepentingan Afrika Selatan atau bahkan Israel. Dalam konflik Ukraina Rusia, tercatat 32 negara, termasuk seluruh Uni Eropa (kecuali Hongaria), melakukan intervensi untuk mendukung Ukraina.

Meskipun dipandang sebagai unjuk solidaritas politik, intervensi sebenarnya bisa memperumit masalah, kata Becker dari Trinity College pada Al Jazeera. Dia bilang intervensi ini dapat memperlambat proses perkara karena pengadilan harus menangani semuanya. Jika suatu negara bergabung dengan Afrika Selatan dalam pengajuan, maka hal tersebut akan tetap menjadi satu proses, bukan gugatan yang terpisah.

Sebaliknya, menurut para ahli, negara atau organisasi bisa melakukan solidaritas politik dengan mengeluarkan pernyataan politik untuk mendukung salah satu pihak. Banyak negara mendukung Afrika Selatan dalam pemenangan kasus, termasuk Malaysia, Turki, Yordania, Bolivia, Maladewa, Namibia, Pakistan, Colombia, dan anggota Organisasi Negara-negara Islam (OIC).Amerika Serikat, Inggris, Jerman di sisi lain telah membela Israel dalam beberapa pernyataan. Israel sendiri dalam public hearing pada 14 Januari lalu, menolak tuduhan Afrika Selatan dan beralasan jika pembunuhan lebih dari 24.000 warga sipil adalah bentuk self-defense melawan Hamas. Selain itu, Israel juga menuduh Afrika Selatan sebagai kaki tangan Hamas dan dengan sengaja melaporkan mereka ke Mahkamah Internasional.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *