#TadabburRamadan: Sinta Nuriyah dan Gagasan Progresifnya Soal Kesetaraan
Sinta Nuriyah mengajarkan kepada kita, mau apa pun golongan, agama, atau profesi kamu, kita semua adalah saudara.
Sejak 2000, sosok Sinta Nuriyah tak pernah absen pergi ke beberapa daerah di Indonesia untuk mengadakan sahur keliling. Hal ini sudah dilakukan ketika suaminya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masih menjabat sebagai presiden keempat Republik Indonesia.
Sinta banyak mengunjungi sejumlah kawasan yang menjadi tempat tinggal warga miskin. Aspirasi-aspirasi yang disampaikan para warga akan dijadikan masukan untuk membuat kebijakan yang berdampak bagi semua orang.
Kegiatan ini tetap dan terus dilakukan meski Gus Dur tak lagi menjabat presiden. Dalam kegiatan tatap muka dengan masyarakat di banyak daerah, Sinta kerap menekankan isu toleransi dalam setiap ceramahnya.
Baca juga: #TadabburRamadan: Rahmah El Yunusiyah, Pendiri Sekolah Khusus Perempuan Pertama di Masa Penjajahan
Menariknya, kegiatan itu enggak hanya dihadiri oleh umat Muslim tapi juga lintas agama, penganut kepercayaan, dan berbagai kelompok minoritas.
Khusus tahun ini, tak hanya sahur keliling saja, tapi juga dilengkapi dengan acara buka bersama. Dalam tausiyahnya di momen itu ia bilang, “Wahai para manusia, aku jadi tanpamu laki laki dan perempuan. Kemudian aku jadikan tersebut dan bergolong golongan agar kamu sekali berta’aruf saling bergaul, saling bertolong, tolongan saling menghormati dan saling menghargai.”
Momen sahur dan buka bersama lintas agama ini, bisa dijadikan teladan yang baik, khususnya dalam hal merawat toleransi beragama.
Konsisten
Perempuan yang awal Maret lalu genap berusia 76 tahun itu, tak pernah kehilangan semangat tiap kali berbicara soal toleransi beragama. Tak heran ia sempat jadi satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia pada 2018, menurut Time. Istri Gus Dur ini disebut sebagai ikon pluralisme dan toleransi, bersanding dengan penyanyi Jennifer Lopez dan Rihanna.
Sinta sendiri lahir dan besar di lingkungan pesantren Madrasah Muallimat Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. Sejak muda ia memang dikenal aktif dalam pelbagai kegiatan masyarakat. Aktivitas sosialnya ini terus ia jalani meski telah menikah. Di antaranya, Sinta menjadi penasihat teman-teman transgender dan mendukung kelompok agama minoritas.
Sinta sendiri acap kali menekankan keprihatinnya betapa agama dijadikan alat represi buat mereka yang tak punya suara. Bahkan tak jarang, perempuan dan kelompok minoritas lain harus menderita atas nama tafsir agama yang tak pas. Karena itulah ia mengongatkan ulang kepada para jemaah bahwa Islam yang sebenarnya adalah rahmat, penuh kasih sayang kepada semua, alih-alih mensponsori doktrin kebencian.
Baca juga: #TadabburRamadan: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan Paling Dicari Belanda Se-Sulawesi
Tak hanya merawat inklusivitas di tengah masyarakat, nalar kritis Sinta telah memantik diskusi lebih luas tentang kesetaraan gender di lingkungan Islam konvensional, termasuk pesantren. Sinta sendiri memang melihat adanya penafsiran bias gender dalam ajaran Islam. Kondisi itu melahirkan anggapan bahwa kedudukan perempuan tidak setara dengan laki laki. Padahal menurut dia, perempuan berperan penting dalam peradaban manusia.
Pada 2002, Sinta mendirikan yayasan Puan Amal Hayati. Bersama para akademisi dan aktivis sosial yang peduli soal pemberdayaan perempuan, ia bertekad membela hak perempuan dan memerdekakan mereka dari ketertindasan dan keterbelakangan.
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah mengkaji Kitab Kuning, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perempuan dalam Islam. Kitab Kuning sendiri adalah sebutan untuk kumpulan tulisan dan pemikiran para ulama terkemuka atas Al-Quran dan Hadis. Itu juga selalu menjadi rujukan di berbagai pesantren dalam mempelajari agama Islam.
Kritisisme ini juga terwujud dalam bukunya berjudul Kembang Setaman Perkawinan. Buku tersebut mengupas dalil dan interpretasi dari tentang hubungan suami istri milik Syekh Nawawi Al-Bantani. Karya Sinta ini menuai beragam respons, termasuk membuat ngamuk sejumlah kyai. Pasalnya, buku ini membongkar ajaran agama yang terlanjur diyakini banyak orang selama lebih dari satu abad.
Dorongan untuk melakukan kajian kritis atas kitab kuning ini sendiri bermula ketika dia menulis tesis tentang pernikahan usia muda yang dikaitkan dengan kesehatan reproduksi. Saat itu, Sinta menemukan pengaruh Kitab Kuning atas praktik yang merugikan perempuan dan masih berlangsung di banyak wilayah di Indonesia.
Praktik yang merugikan perempuan yang dianggap sebagai bagian dari ajaran agama Islam hingga kini. Perempuan sering kali masih belum dianggap sebagai subjek utuh sebagaimana halnya laki laki. Bahkan kadang kala perempuan masih dianggap sebagai objek.
Baca juga: #TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga
Sinta Nuriyah merupakan sosok yang berperan besar dalam mendorong lahirnya pemikiran keislaman yang menempatkan perempuan sebagai subjek utuh. Ia juga mendorong keterlibatan perempuan dalam kerja-kerja penafsiran teks agama. Keterlibatan perempuan ini penting demi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Karena Sinta juga kerap kali menekankan kalau perempuan itu adalah tiang negara.
Selain itu, dalam setiap giat sahur keliling Sinta Nuriyah tak lelah mengingatkan bahwa kita semua saudara. Semua yang hadir apapun agamanya apapun suku bangsanya, apapun profesinya semuanya bersaudara. Umat Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, ahmadiyah, baha’i, tahiyat adalah semua bersaudara. Tukang becak, ojek online, pedagang kaki lima, kelompok difabel, kelompok minoritas hingga bupati dan anggota DPR semua bersaudara.
Karena itu, karena semua bersaudara, sudah semestinya kita saling mengasihi, menjaga kerukunan dan menghindari pertikaian serta permusuhan. Kegigihannya selama lebih dari 20 tahun untuk mengunjungi berbagai daerah di Indonesia dalam giat sahur keliling, menunjukkan bagaimana dedikasinya dalam merawat pluralisme dan toleransi di Indonesia.
Mari kita teladani dan rawat bersama keberagaman dan persaudaraan di sekitar kita.
Tadabbur Ramadan merupakan produksi Magdalene bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).