Membaca Waktu dan Krisis Iklim dalam ‘Sore: Istri dari Masa Depan’
Kepiawaian Yandy Laurens mengolah cerita dengan jangkar emosional yang menancap tajam dalam kemasan film yang pop dan segar, terpampang nyata dalam Sore: Istri dari Masa Depan. Setelah capaian kritikal Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2024) dan kesuksesan komersial 1 Kakak 7 Ponakan (2025), film ini mensolidifikasi posisi Yandy sebagai salah satu sutradara muda paling exciting yang dimiliki Indonesia hari ini.
Diangkat dari webseries yang Yandy garap pada 2017 lalu, film ini berkembang menjadi sebuah eksplorasi sinematik tentang waktu, cinta, dan upaya-upaya yang manusia lakukan atas nama kesetiaan. Jika webseries-nya dahulu terasa ringan dan berisiko rendah, versi film ini tampil jauh lebih reflektif dan filosofis.
Memindahkan latarnya dari Italia di versi webseries ke sebuah desa kecil di Kroasia, kita bertemu lagi dengan Jonathan (Dion Wiyoko), fotografer Indonesia yang mendadak didatangi oleh Sore (Sheila Dara Aisha)—yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Premis ini, meskipun terdengar seperti tipikal skenario fiksi ilmiah, disampaikan dengan pendekatan yang hangat dan sangat personal. Alih-alih menjadi panggung bagi spektakel temporal, waktu dalam film ini dihadirkan sebagai sumber konflik emosional sekaligus ruang kontemplasi.
Sore datang membawa pengetahuan tragis: delapan tahun ke depan, Jonathan akan meninggal akibat serangan jantung. Misinya adalah ‘menyelamatkan’ Jonathan dengan cara mengubah gaya hidupnya.
Namun perubahan, sebagaimana kita tahu, tak pernah semata-mata soal niat. Maka ketika Jonathan tergoda kembali merokok dan melanggar janjinya pada Sore untuk mulai hidup sehat, Sore akan jatuh pingsan dan hari akan berulang dari awal. Time-loop pun menjadi semacam “hukuman korektif” sekaligus ruang repetisi yang semakin menyiksa, terutama bagi mereka yang mengingat.
Baca juga: Jangan Contoh Sore Sebab Semua Cinta Fana
Tiga Babak Krusial
Film ini disusun dalam tiga babak utama. Babak pertama, berjudul Jonathan, menyajikan cerita dari sudut pandang sang suami. Di sinilah jagad film diperkenalkan—mekanisme time-loop, atmosfer geografis desa di Kroasia, dan absurditas narasi mulai dirangkai secara perlahan. Jonathan, yang awalnya skeptis, pelan-pelan mulai membuka diri terhadap kenyataan bahwa ia mungkin sedang mengalami semacam anomali waktu.
Babak kedua, Sore, mengambil sudut pandang sang istri. Di sinilah film mulai perlahan-lahan menguliti lapisan emosional terdalamnya. Kita melihat betapa frustrasinya Sore saat harus mengulang usaha yang sama berulang kali: memperkenalkan siapa dirinya, membuang rokok-rokoknya, menyajikan masakan sehat, dan, yang saya bayangkan paling bikin lelah, membuat Jonathan percaya. Semua dilakukan dengan repetisi yang nyaris mekanistik, tetapi tak pernah kehilangan aspek afektifnya. Babak ini menampilkan kelelahan seorang perempuan yang mencintai dalam sirkuit waktu yang tak memberinya jeda.
Babak ketiga? Mari kita bongkar di tulisan ini. Babak ini dipandu Waktu, sebagai Waktu—dengan W kapital karena ia juga hadir di credit title, sederet dengan semua pemain. Ia adalah elemen fundamental yang tidak hanya memotori struktur naratif, tetapi juga mengungkapkan inti filosofis dari cerita ini.
Yang menarik, ketiga babak ini bukan hanya struktur naratif, tetapi juga menandai perjalanan psikologis dan eksistensial para tokohnya. Perubahan perspektif dari Jonathan ke Sore bukan hanya soal siapa yang berbicara, tetapi siapa yang mengingat, siapa yang memaknai, dan siapa yang akhirnya mengalami waktu secara penuh.
Baca juga: Mempertanyakan Keutuhan Keluarga Lewat ‘Ipar Adalah Maut’ dan ‘1 Kakak 7 Ponakan
Time-Image dan Kecemasan Temporal
Menonton Sore: Istri dari Masa Depan seperti memasuki sebuah laboratorium waktu: segala hal dapat diulang, tapi tidak ada yang sungguh-sungguh bisa diperbaiki tanpa kesadaran dan kemauan. Dalam konteks ini, film ini sangat relevan dibaca melalui lensa teori time-image Gilles Deleuze.
Dalam Cinema 2: The Time-Image (1985), Deleuze membedakan antara movement-image—di mana waktu dilihat sebagai hasil dari aksi—dengan time-image, yang menjadikan waktu sebagai pengalaman langsung. Dengan kata lain, time-image merujuk pada bagaimana ‘waktu’ sebagai sesuatu yang penontonnya alami secara utuh; kerap berwujud adegan-adegan panjang yang bisa dibayangkan jelas akan dibuang di meja editing di film yang bertumpu pada movement-image.
Dalam film yang menggunakan elemen time-loop, ‘waktu’ bisa dipecah, diperlambat, dan secara umum dimanipulasi, menciptakan kesan “waktu yang mengambang”—sebuah kondisi di mana masa kini dan masa lalu berinterseksi secara simultan.
Dalam Sore, setiap hari yang berulang bukan sekadar pengulangan peristiwa, tetapi juga pengulangan kemungkinan. Sebagaimana dicatat oleh René Thoreau Bruckner dalam “Why did you have to turn on the machine?”: The Spirals of Time-Travel Romance”, “temporal loop is not merely a repetition, but a spiral that demands reflection rather than action.” Dalam Sore, Waktu bukan cuma plot device, tapi juga karakter yang menggerakkan, bahkan di titik tertentu jadi lawan protagonis kita.
Di sinilah Sore membuka ruang bagi penontonnya untuk turut berkontemplasi. Ia tidak sekadar menampilkan kembali hari yang sama, tetapi memberikan ruang bagi kita untuk merasakan (dan merenungkan) bagaimana memori, penyesalan, dan harapan saling menumpuk dalam sirkuit waktu yang stagnan.
J Levinson dalam Time and time again: Temporality, narrativity, and spectatorship in Christian Marclay’s The Clock (2015), beropini bahwa time-image memiliki kekuatan untuk “menggiring penonton keluar dari logika sebab-akibat dan membawa mereka pada wilayah afeksi dan kontemplasi.” Film Sore melakukan hal serupa. Ia membuka ruang untuk bertanya: apakah cinta bisa mengalahkan waktu? Atau justru cinta hanya bisa hadir ketika waktu bersedia berhenti?
Baca juga: Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’
Cinta Melalui Alegori Krisis Iklim dan Lagu Lama
Salah satu pembacaan yang cukup menarik muncul dari lapisan alegoris film ini. Meskipun tidak menjadi isu utama, Sore secara implisit menyentuh persoalan krisis iklim. Jonathan dapat dibaca sebagai representasi umat manusia—keras kepala, terikat kebiasaan destruktif, dan enggan berubah meski tahu bahwa kehancuran menanti.
Sore, dalam pembacaan ini, menjadi figur ekologis: pihak yang mencintai, merawat, tapi kehabisan waktu dan tenaga karena ulah penghuni yang tak bertanggung jawab.
Alegori ini terasa kuat terutama ketika film menunjukkan bagaimana cinta tidak cukup jika tidak dibarengi kesadaran kolektif.
Sama seperti perubahan iklim yang tidak akan berhenti hanya karena satu orang peduli, Jonathan pun tidak bisa diselamatkan jika tidak bersedia menyelamatkan dirinya sendiri. Upaya Sore untuk “mengulang” dan “memperbaiki” tak pernah berhasil, kecuali jika Jonathan—alias manusia—mau berubah dari dalam.
Metafora ini semakin dalam ketika kita menyadari bahwa waktu dalam film ini adalah waktu yang sekarat. Bukan hanya waktu personal, tetapi juga waktu ekologis. Kita hidup dalam era keterbatasan waktu, dan film ini—tanpa pretensi menjadi film lingkungan—menyisipkan kesadaran itu dengan sangat halus.
Akhirnya, tak lengkap membahas Sore tanpa menyentuh aspek musiknya. Penggunaan Hingga Ujung Waktu milik Sheila on 7—sebuah lagu dengan balutan musik orkestra—menjadi klimaks emosional yang melegakan.
Lagu ini tak hanya secara eksplisit menyebutkan frasa tentang bentang dan gejala alam (“badai”, “samudera”, “senja”, dll) dan paralel dengan alegori krisis iklim, tapi narasinya pun berbicara tentang waktu, penantian, dan keteguhan cinta, seolah menjadi cermin dari keseluruhan cerita film. Bahkan, bisa dibilang bahwa lagu ini menjadi benang yang menjahit ulang fragmen waktu yang telah tercerai-berai; latar yang mengiringi penonton untuk merenung sejenak selama credit tittle bergulir di pengujung film.
















