Feminisme Humanistik: Melawan Patriarki dengan Empati dan Kesadaran Kolektif
Feminisme humanistik menawarkan pendekatan berbasis dialog dan kesadaran untuk menciptakan perubahan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Narasi negatif sering muncul dalam perbincangan soal feminisme. Di media sosial, feminisme kerap dilabeli sebagai “kaum pembenci laki-laki,” “anti-kodrat,” “terlalu vokal,” atau bahkan yang lebih ofensif, “feminazi.”
Ada juga yang menyatakan dukungan terhadap pemberdayaan perempuan, tetapi dengan embel-embel seperti “perempuan boleh berdaya, asal tetap sesuai dengan kodrat dan norma.” Pernyataan semacam ini mencerminkan bagaimana feminisme sering kali dibatasi dan disaring agar tetap nyaman bagi status quo. Seolah-olah memperjuangkan hak perempuan hanya bisa diterima jika tidak mengguncang tatanan yang ada.
Sebagai gerakan yang terus berkembang, feminisme memiliki banyak aliran. Feminisme liberal berfokus pada kesetaraan dalam hukum dan kebijakan, sementara feminisme Marxis mengkritik bagaimana kapitalisme memperburuk eksploitasi perempuan di ranah kerja. Lalu ada feminisme radikal yang menekankan bahwa akar masalahnya bukan sekadar kebijakan atau hukum, tetapi sistem patriarki yang menopang ketidakadilan itu sendiri. Sementara itu, feminisme interseksional memperhitungkan bagaimana kelas, ras, dan gender saling beririsan dalam menciptakan ketidakadilan.
Dari sekian banyak cabang, feminisme radikal sering kali menjadi yang paling disalahpahami. Kata “radikal” membuat orang defensif, membayangkan feminisme sebagai gerakan tanpa kompromi dan penuh kemarahan. Padahal, “radikal” berasal dari kata Latin “radix” yang berarti “akar”. Feminisme radikal adalah tentang menantang akar permasalahan, yakni sistem yang menopang ketidakadilan gender, dari kebijakan diskriminatif, budaya kekerasan berbasis gender, hingga normalisasi dominasi laki-laki di ruang publik dan privat.
Feminisme radikal memang dibutuhkan, terutama untuk melawan status quo yang sering kali tidak bisa hanya ditembus dengan diskusi lembut. Ada saatnya kita perlu bicara dengan tenang, tapi ada saatnya juga kita harus mengetuk meja lebih keras.
Namun, perlawanan terhadap patriarki tidak selalu bisa dilakukan dengan pendekatan konfrontatif. Ada dimensi lain yang juga perlu diperhitungkan, yakni bagaimana sistem ini telah begitu mengakar hingga sering kali justru diterima dan direproduksi oleh perempuan sendiri. Di sinilah feminisme humanistik hadir sebagai pendekatan alternatif.
Baca juga: Merayakan Feminisme dari Era Koran hingga Media Sosial
Feminisme humanistik menantang patriarki dengan kesadaran dan dialog
Feminisme radikal berhadapan langsung dengan struktur patriarki di tingkat kebijakan dan sosial. Tapi di sisi lain, misogini yang diinternalisasi oleh perempuan sendiri sering kali menjadi tantangan yang lebih sulit.
Saya pernah mengalami ini sendiri dalam sebuah diskusi, ketika beberapa perempuan dengan yakin menyatakan bahwa feminisme itu berlebihan dan tidak natural. Mereka mengatakan bahwa kodrat perempuan adalah melayani suami, mengurus rumah tangga, dan tidak boleh terlalu vokal karena “bukan sifat perempuan yang baik.”
Ketika kasus kekerasan seksual yang dialami Agni di sebuah perguruan tinggi pada 2018 mencuat, banyak komentar di media sosial menyalahkan korban dan meminta agar kasus ini tidak diperpanjang demi menjaga nama baik kampus. Yang paling menyakitkan? Sebagian besar komentar itu datang dari perempuan sendiri, yang membawa argumen agama, norma, dan “harga diri institusi.”
Awalnya, saya marah. Saya membenci mereka yang tidak bisa melihat ketidakadilan dan justru melanggengkan patriarki dengan dalih “kewajaran.” Tapi kemudian saya sadar, saat api dibalas dengan api, yang terjadi hanya kebakaran yang lebih besar.
Dari situlah saya mulai memahami pentingnya feminisme humanistik, yakni pendekatan yang membangun kesadaran dengan dialog dan empati, bukan dengan agresi. Feminisme humanistik berusaha memahami bagaimana ketidakadilan bisa tampak “normal” bagi sebagian orang karena telah tertanam dalam sistem sosial dan budaya selama berabad-abad.
Seperti yang diingatkan oleh bell hooks (1984), feminisme yang eksklusif dan elitis hanya akan membuat perempuan merasa terasing dari gerakan ini. Jika kita ingin feminisme benar-benar inklusif, kita perlu membuka ruang dialog dan membangun kesadaran, bukan sekadar berdebat tanpa ujung.
Baca juga: Orientalisme, Feminisme Timur, dan Kenapa Tak Semua Nilai Barat Bisa Diterapkan
Feminisme humanistik dalam pemberdayaan komunitas
Dalam program pemberdayaan perempuan, sering kali yang difokuskan adalah keterampilan ekonomi, tanpa menyentuh kesadaran sosial dan politik perempuan. Misalnya, perempuan yang diberi pelatihan kewirausahaan tetap dihadapkan dengan ekspektasi bahwa urusan domestik adalah tanggung jawab mereka. Sementara laki-laki sering kali tidak diajak untuk berbagi peran dalam rumah tangga.
Pelatihan yang hanya berfokus pada keterampilan ekonomi tanpa disertai kesadaran gender justru bisa menjadi beban ganda bagi perempuan. Mereka tetap harus bekerja di ranah publik dan domestik tanpa dukungan yang setara dari pasangan atau keluarga mereka.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) berpendapat bahwa penindasan tidak hanya terjadi secara struktural, tetapi juga tertanam dalam kesadaran individu yang ditindas. Oleh karena itu, feminisme humanistik tidak hanya berfokus pada perubahan kebijakan, tetapi juga membangun kesadaran individu dan komunitas tentang peran dan hak perempuan.
Maka, ketika kita merancang ruang diskusi dengan komunitas, ada pertanyaan yang lebih dalam yang harus diajukan: Apakah mereka sudah benar-benar berdaya secara psikologis? Bagaimana mereka melihat peran mereka dalam masyarakat? Dan bagaimana posisi mereka secara sosial dan politik?
Dalam konteks komunitas adat, perempuan sering kali memiliki peran yang kuat dalam struktur sosial mereka sendiri. Tetapi, banyak narasi luar mencoba membingkai mereka dalam peran tradisional. Misalnya, menyebut perempuan adat sebagai “penjaga lingkungan” bisa menjadi narasi berbahaya yang memperkuat stereotip bahwa perempuan memang hanya cocok mengurus hal-hal domestik.
Feminisme humanistik menghormati kekuatan komunitas ini tanpa melabeli mereka atau membatasi peran mereka dalam kerangka tradisional. Banyak perempuan di komunitas adat yang sudah melakukan aksi nyata tanpa harus berteriak di media sosial, seperti Neneng Rosdiyana dengan kelompok wanita taninya, atau Baiq Sri Mulya di Sembalun, Nusa Tenggara Barat, yang memimpin inisiatif lokal dalam pemberdayaan ekonomi dan pengelolaan lingkungan. Feminisme humanistik mengajarkan kita untuk melihat pemberdayaan dengan cara yang lebih luas, tanpa membatasi definisinya hanya dalam format yang kita kenal.
Baca juga: Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik
Melawan patriarki dengan strategi, bukan kompromi
Pada intinya, feminisme dalam bentuk apa pun dibutuhkan untuk mendobrak status quo. Namun, feminisme humanistik diperlukan untuk membuka ruang dialog yang lebih kontekstual dan membangun kesadaran kolektif dengan penuh empati.
Feminisme humanistik bukan berarti kompromi, tetapi strategi. Transfer pengetahuan yang holistik membutuhkan kombinasi antara subjek dan objek. Dalam menyebarkan kesadaran feminism, kita tidak bisa hanya melihat dari sudut pandang aktivis (subjek) yang sudah memahami isu ini. Kita juga harus mempertimbangkan bagaimana orang-orang yang menerima pesan ini (objek) dapat memahami dan menginternalisasikannya sesuai dengan realitas sosial mereka.
Jika feminisme radikal adalah palu yang menghancurkan struktur patriarki, feminisme humanistik adalah tangan yang membangun kembali kesadaran kolektif. Mengubah sistem patriarki bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal kesadaran individu. Jika feminisme radikal adalah kekuatan perlawanan, feminisme humanistik adalah ruang refleksi dan dialog.
Apa pun pendekatannya, tujuan feminisme tetap satu: mendobrak patriarki dan menciptakan sistem yang lebih adil bagi semua orang.
Anindwitya Rizqi Monica adalah pendiri Women in Tourism Indonesia (WTID) dan pemilik CV Slamet JogJamu Indonesia. Dengan latar belakang dalam Studi Pariwisata dan Psikologi Industri & Organisasi, Monica memiliki lebih dari lima tahun pengalaman di bidang pemberdayaan perempuan, pariwisata, dan UMKM.
