December 5, 2025
Health Issues Politics & Society

‘Stunting’ dan Hilangnya Ruang Hidup: Kisah Suku Anak Dalam di Pelakar Jaya

‘Stunting’ di kalangan Suku Anak Dalam bukan sekadar soal gizi, tapi soal hilangnya hutan dan sumber penghidupan, serta stigma yang membatasi ruang gerak.

  • August 13, 2025
  • 4 min read
  • 2407 Views
‘Stunting’ dan Hilangnya Ruang Hidup: Kisah Suku Anak Dalam di Pelakar Jaya

Sore itu di Desa Pelakar Jaya, Kabupaten Merangin, Jambi, aula desa mulai ramai oleh obrolan para ibu. Briana, 18, duduk di antara mereka sambil mengelus perutnya yang membesar di usia kandungan hampir delapan bulan. Ia sedang menanti giliran pemeriksaan dari petugas Posyandu.

Kunjungan ini rutin dilakukan sebulan sekali sebagai upaya jemput bola. Perangkat desa, kader, dan bidan setempat memeriksa kesehatan ibu hamil dan memantau tumbuh kembang anak-anak di bawah lima tahun. Menjelang pukul lima sore, bidan Lasni dan kadernya tiba, menyapa satu per satu ibu yang sudah berkumpul sambil membagikan roti.

Pemeriksaan dimulai dari anak-anak. Lasni mencatat hasil pengukuran tinggi dan berat badan ke dalam database daring di ponselnya. Begitu tiba giliran “Niki”, bocah dua tahun, hasilnya menunjukkan ia masih mengalami stunting—tingginya jauh di bawah standar usianya, butuh asupan gizi tambahan.

Briana dan Niki adalah bagian dari Suku Anak Dalam, masyarakat adat yang sudah turun-temurun mendiami wilayah Jambi. Dari catatan Posyandu, separuh anak stunting di desa ini berasal dari komunitas mereka. Menurut Lasni, kurangnya gizi seimbang menjadi penyebab utama, diperparah faktor risiko seperti kehamilan di usia muda.

“Idealnya kehamilan memang di usia 20 ke atas,” ujarnya.

Namun, cerita di balik kekurangan gizi ini jauh lebih kompleks. “Masalahnya bukan cuma makanan,” kata Yudi, 40, Temenggung atau ketua komunitas Suku Anak Dalam.

“Sumber penghidupan kami makin sedikit, stigma orang luar bikin kami susah cari kerja.”

Baca juga: Kenapa Anak Keluarga Mapan Bisa Terkena Stunting?

Hutan terkepung sawit, makanan sulit didapat

Suku Anak Dalam atau orang rimba dulunya hidup semi-nomadik di hutan Jambi, berpindah mengikuti sumber pangan. Dari catatan LSM Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, perambahan hutan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit membuat ruang hidup mereka menyempit drastis. Terpaksa menetap, mereka kemudian beralih dari berburu ke beternak atau berladang. Namun, peralihan ini penuh tantangan.

“Menanam sayur gagal terus,” keluh Yudi. Hasil tani yang minim membuat pendapatan tak menentu, sementara harga pangan terus naik. Suparni pernah mengalami keluarganya tidak makan selama tiga hari.

“Sekarang semua harus dibeli. Kalau enggak ada uang, ya enggak makan,” ujar ibu berusia 50 tahun itu.

Pemukiman masyarakat adat Suku Anak Dalam di Desa Pelakar Jaya, Jambi. (Foto: Syifa Maulida/Magdalene)

Tinggal di tengah perkebunan sawit, sebagian warga terpaksa memungut brondolan, atau buah sawit yang jatuh, untuk dijual. Tapi itu pun berisiko. “Kadang dimarahi pemilik kebun,” ujar Suparni.

Sumber protein yang dulu mudah didapat di hutan—seperti rusa, tapir, atau ular—kini hilang. “Sekarang mereka lebih banyak makan beras, mi instan,” kata Anggun, fasilitator Suku Anak Dalam sekaligus spesialis gender KKI WARSI. Menurutnya, pola makan yang berat karbohidrat ini berdampak langsung pada tumbuh kembang anak.

Baca juga: Indonesia: Ekonomi Terbesar Sekaligus Stunting Tertinggi Kedua di ASEAN, Mengapa?

Stigma yang mengunci akses

Masalah pangan ini diperparah oleh tembok tak kasat mata, yaitu stigma. Yudi bercerita, ketika mereka berhasil memanen sayur, warga desa enggan membeli. Label “kotor” dan “jorok” masih melekat, bahkan ada yang masih menyebut mereka “Suku Kubu”—istilah warisan kolonial yang merendahkan, bermakna primitif dan menjijikkan. Label ini diwariskan lintas generasi dan memicu gesekan sosial.

Truk penadah brondolan sawit yang datang ke pemukiman Suku Anak Dalam di Desa Pelakar Jaya. (Foto: Syifa Maulida/Magdalene)

Menurut catatan KKI WARSI, diskriminasi ini sudah berlangsung lama, memengaruhi hubungan dengan warga sekitar dan menutup peluang usaha. Bagi banyak keluarga, stigma ini membuat keluar dari lingkaran kemiskinan semakin sulit.

Di balik stigma itu, identitas administratif mereka pun sering kabur. Banyak anggota Suku Anak Dalam hanya punya satu kata sebagai nama. Usia yang tertera di KTP adalah perkiraan yang dibuat pendamping, karena tanggal lahir yang pasti tak pernah dicatat. Akibatnya, penentuan usia legal—misalnya untuk menikah atau bersekolah—sering kali tidak akurat.

Di sisi lain, pemerintah desa memang rutin mengupayakan penanggulangan stunting. Posyandu memberikan makanan pendamping selama 28 hari, lalu memantau kembali tumbuh kembang anak. Namun, Anggun menilai langkah ini belum menyentuh akar masalah.

Baca juga: Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula

“Kalau sumber penghidupannya tetap minim, masalahnya enggak selesai,” katanya.

Ia mencontohkan Desa Dwi Karya Bakti, komunitas Suku Anak Dalam lain yang kini bebas stunting. Bedanya, mereka memiliki mata pencaharian tetap, yaitu beternak ikan, yang memberi penghasilan rutin untuk membeli makanan bergizi.

“Dwi Karya Bakti ini dampingan lembagai lain yang sudah lama memang. Memang butuh waktu. Tapi pasti bisa berubah asalkan pemerintah juga mau memberi perhatian ke komunitas ini,” ujar Anggun.

Bagi Briana, yang menunggu kelahiran anak pertamanya, perubahan itu terasa jauh. Tapi tanpa perlindungan hak atas tanah, dukungan ekonomi, dan penghapusan stigma, risiko stunting akan terus menghantui generasi berikutnya.

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).