Lifestyle

Tuhan Kita Nyatanya Tidak Jauh Berbeda

Sangat tidak masuk akal bagi saya bahwa hubungan menjadi salah karena satu pihak berbeda agama dengan pihak lainnya.

Avatar
  • February 19, 2021
  • 6 min read
  • 1296 Views
Tuhan Kita Nyatanya Tidak Jauh Berbeda

“Jarak terjauh dalam long distance relationship [LDR] adalah antara gereja dan masjid,” kata teman saya dengan sinis. Dia muslim, dan pacarnya Kristen. Saya mengangguk bersimpati.

Saya kemudian menemukan diri saya dalam situasi yang sama.

 

 

Pada awalnya, saya tidak tahu bahwa calon pacar saya muslim. Dia memiliki nama “sekuler”, hanya mengungkapkan sedikit tentang dirinya sendiri, dan ketika saya bertanya tentang agamanya kepada teman saya setelah mulai naksir, dia dengan antusias berkata, “Oh! Dia seorang Kristen!”

“Tahu dari mana?” tanya saya kepadanya dengan skeptis. Saya ingin menghindari kegagalan yang sama yang dialami oleh teman-teman saya. Saya kenal tiga pasangan yang menjalin hubungan beda agama dalam lingkaran saya dan belum ada satu pun yang memiliki akhir yang bahagia.

“Waktu itu gue bareng sama dia di UGD hari Jumat. Yang cowok salat Jumat dan dia enggak, duduk saja sambil minum avocado shake.”

“Bener? Itu hari Jumat? ”

“Iya, gue ingat banget. Karena dia nawarin minumannya.”

“Ohh, oke,” kata saya. Lebih dari setahun kemudian, pacar saya masih menyangkal pernah melewatkan salat Jumat. “Itu bukan hari Jumat!” dia bersikeras.

Saya tidak pernah mencintai siapa pun seperti saya mencintainya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya bisa menghabiskan sisa hidup dengan orang lain. Jika saja dia tidak pergi beribadah pada hari Jumat dan saya pada hari Minggu, saya mungkin sudah memesan tempat dan mencari gaun pengantin sekarang.

Sebaliknya, saya menulis artikel tentang hubungan beda agama sambil menunggu untuk membangunkannya untuk sahur.

Baca juga: Banyak Jalan Menuju Roma: Siasati Aturan Nikah Beda Agama

Badai Penghakiman sebagai Pasangan Beda Agama

Kami telah melewati badai awal penuh dengan komentar, gosip, dan protes, semua karena dia dan saya berbeda agama. Mulai dari ketidakpercayaan hingga peringatan keras dari seniornya bahwa dia “terbawa oleh perasaannya”. Orang itu menilai, dari penampilan dan pakaian yang saya kenakan, saya jelas bukan perempuan terhormat dan pantas untuk dinikahi, dan pacaran dengan saya adalah sebuah kesalahan besar.

Saya telah diadili oleh keluarga saya sendiri yang mempertanyakan keseriusan hubungan kami. Saya mulai berhenti mengikuti akun media sosial Kristen ketika admin-nya tiba-tiba memutuskan untuk berceramah tentang kenapa kencan beda agama bukanlah “jalan Tuhan”.

Saya adalah orang yang liberal, dan saya benci ketika keyakinan dan opini saya dibatasi secara paksa. Saya seorang Protestan yang tumbuh di sekolah Katolik dan pergi ke gereja Katolik karena lebih sreg dengan jadwalnya. Kebanyakan teman saya beragama Islam.

Meskipun pada awalnya saya berhati-hati dalam menjalin hubungan untuk menghindari pengalaman teman-teman yang menjalani hubungan beda agama, itu bukan karena saya pikir itu salah. Tetapi, hanya karena masalah kepraktisan dan karena saya merasa hambatan sosial dan keluarga akan terlalu sulit untuk diatasi. Akhirnya, saya memutuskan hal ini patut dicoba.

Baca juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur

Sangat tidak masuk akal bagi saya bahwa hubungan menjadi salah karena satu pihak berbeda agama dengan pihak lain. Saya tidak berpikir ini merefleksikan apa pun tentang hati nurani, keyakinan, atau praktik keagamaan orang tersebut. Iman adalah iman dan cinta adalah cinta, dan keduanya diilhami oleh Tuhan. Karena Tuhan sendiri mengilhami ini semua–cinta tanpa pamrih yang sekarang saya rasakan pada pasangan saya–bagaimana orang bisa mengatakan bahwa cinta saya melawan Tuhan?

Mengapa Negara Juga Hambat Pernikahan Beda Agama?

Hal yang juga tidak masuk akal bagi saya bahwa lembaga negara harus ikut campur untuk membatalkan atau mencegah pernikahan beda agama. Tidak ada dalam konstitusi atau undang-undang yang menyatakan bahwa dua pasangan harus memiliki agama yang sama agar pernikahan dianggap sah, bahkan ini bukan termasuk ke dalam hukum pemerintah negara di level pemerintah provinsi atau daerah.

Hal lain yang tidak masuk akal bagi saya adalah, orang-orang harus menolak pernikahan beda agama karena dianggap sebagai keputusan yang buruk, atau sebagai suatu kesalahan. Memang gampang berkomentar bahwa yang ingin dilakukan suatu pasangan beda agama adalah “kesalahan”; tetapi kebanyakan orang yang langsung menilai seperti itu tidak memiliki pengalaman sendiri dengan dilema hubungan beda agama. Manusia tidak hidup saklek seperti mempelajari data; kita hidup dengan cinta, perasaan dan gairah.

Hubungan beda agama memaksa cintamu untuk berdiri tegak dan menjadi lebih kuat karena hubungan ini adalah lompatan iman, berjalan dalam kegelapan.

Setelah lebih dari setahun menjalani hubungan, kami belajar untuk menyeimbangkan sekat-sekat dari berbagai agama kami. Saya selalu mengingatkannya untuk salat Jumat, dan menemaninya untuk sahur dan buka puasa. Dia mengantarkan saya ke gereja. Dalam semua maksud dan tujuan, hubungan kami telah membuat kami berdua menjadi orang yang lebih baik, karena kami sangat cocok satu sama lain.

Di satu sisi, hubungan beda agama memaksa cintamu untuk berdiri tegak dan menjadi lebih kuat karena hubungan ini adalah lompatan iman, berjalan dalam kegelapan. Terkadang sulit untuk menyerah dan sepenuhnya mencintai orang lain karena kemungkinan putusnya hubungan, dan kemungkinan akan terluka.

Hal ini akan memaksamu untuk kembali merenung apakah kamu benar-benar ingin melakukan semua itu hanya untuk menjalani masa depan dengan orang ini. Tetapi begitu kamu memutuskan untuk melakukannya, kamu akan menjadi tak tergoyahkan.

Ada saat-saat tegang ketika kami mau tidak mau “berdiskusi” tentang agama masing-masing. Berkat hakikat agama itu sendiri, dan mungkin akar dari semua perbedaan agama, bahwa keyakinan satu agama adalah benar sering kali menghalangi semua agama lain untuk juga menjadi “benar”. Tetapi kami telah belajar untuk membangun jembatan untuk mengatasi perbedaan ini.

Saya rasa saya tidak perlu pasangan saya memiliki keyakinan yang sama dengan saya agar dia menjadi pasangan yang sempurna, suami yang sempurna, atau ayah yang sempurna bagi anak-anak kami di masa depan.

Baca juga: Sampai Keyakinan Pisahkan Kita? Tumbuh Besar dengan Orang Tua Beda Agama

Bahkan jika di masa depan salah satu dari kami diyakinkan oleh agama pasangan dan memutuskan untuk pindah agama, hal tersebut terjadi tidak boleh serta merta karena hubungan kami; dan jelas tidak boleh menjadi kondisi yang harus dipenuhi sebelum hubungan kami berkembang ke langkah berikutnya, dan terutama tidak boleh terjadi jika dipaksakan secara sewenang-wenang oleh manusia dan masyarakat.

Terkadang saya bertanya-tanya apakah mantan saya yang Kristen akan “lebih cocok” dengan saya daripada pacar saya. Saya berandai-andai apakah bila dia seorang Kristen hal itu bisa membuatnya lebih sempurna. Saya memutuskan, tidak. Kami berlawanan dalam banyak hal, namun semua hal itu semua saling melengkapi. Di lain sisi, kami serupa dalam hal nilai dan tujuan terpenting dalam hidup.

Dirinya ada sebagai pijakan saya, air untuk api saya, penjaga bagi anak saya yang ceria, dan sering kali, kami berlaku sebaliknya secara bergantian. Mencintainya jauh dari sebuah kesalahan, justru itu adalah pilihan paling tepat yang pernah saya buat. Dia menghormati perempuan, dia memahami impian dan aspirasi saya, dia jujur, ramah, dan lembut.

Dan yang terpenting, dia baik hati.

Pada akhirnya, Tuhan kita toh tidak jauh berbeda.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.



#waveforequality


Avatar
About Author

Gabrielle Kembuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *