Saat Keluarga Tak Beri Restu, Pilih Kawin Lari Atau Nikah Siri?
Di saat negosiasi dengan keluarga buntu soal pernikahan, kawin lari lebih memberikan perlindungan hukum daripada nikah siri.
Ketika salah seorang selebritas di Indonesia baru-baru ini diberitakan tetap melangsungkan pernikahan meskipun tidak mendapat restu dari orang tua, saya bersorak kecil mendukungnya. Ini karena bukan dia satu-satunya yang melaksanakan kawin lari tersebut.
Saya melakukan kawin lari pada tahun 2018, ketika saya menikahi laki-laki berbeda agama dan kewarganegaraan. Proses kawin lari saya pilih sebagai bentuk negosiasi prinsip saya dan keluarga. Keluarga saya maunya saya menikah untuk menghindari zina. Namun standar laki-laki yang mereka inginkan tidak sesuai dengan yang laki-laki pilihan saya. Mereka mau pria sempurna dengan 4T: Tampan, Tajir, Takwa, dan Terpelajar, sementara calon suami saya hanya 2T: Tampan dan Terpelajar.
Selain itu, standar takwa yang orang tua minta harus sesuai dengan agama mereka, sementara pasangan saya tidak percaya dengan agama sama sekali. Ekspektasi keluarga yang tidak sesuai dengan kenyataan dan prinsip hidup membuat saya memilih kawin lari sebagai jalan tengah.
Pernikahan Siri Tak Dapatkan Kepastian Hukum
Seperti kekerasan seksual, kawin atau nikah itu ada banyak bentuknya. Saya menggunakan istilah kawin karena merujuk pada dasar hukum Indonesia dalam hubungan matrimoni: Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. UU yang isinya harus banyak direvisi ini menggunakan kata “kawin” alih-alih nikah.
Kawin lari adalah berbeda dengan kawin siri. Dalam kawin lari, pasangan bisa mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan negara tempat tinggalnya. Sementara dalam kawin siri, pasangan tidak mendapatkan kepastian hukum sama sekali dan saya sendiri tidak menganjurkannya.
Kawin siri mungkin sah dalam hukum agama, tapi tidak dalam hukum negara. Permasalahan-permasalahan dalam kawin siri tidak dijamin dapat diselesaikan melalui hukum sipil. Karenanya, pencatatan pernikahan oleh negara itu sangat penting, di negara mana pun itu. Sebab perkawinan tidak hanya soal sertifikat hidup bersama beda jenis kelamin, tapi juga pembagian dan kepemilikan harta atau pengasuhan anak. Pencatatan pernikahan juga berguna untuk perlindungan jika perkawinan ini bermasalah di tengah jalan.
Dalam hukum Indonesia, ada tiga aturan yang bisa menjamin keamanan dalam perkawinan.
Pertama, UU Perkawinan 1974 sebagai landasan untuk kepemilikan harta bersama dan pembagian harta. Kedua, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) 2004, untuk melindungi apabila terjadi penelantaran ekonomi, penganiayaan dan kekerasan psikologis dalam rumah tangga. Dan, terakhir, UU Perlindungan Anak tahun 2002 untuk menuntut tanggung jawab dan perlindungan ayah dalam keamanan dan pengasuhan anak.
Untuk itu, kawin lari yang dicatat negara mampu memberikan jaminan atas rasa aman berumah tangga yang tidak dijamin dalam kawin siri.
Persiapan Kawin Lari yang Matang adalah Kunci
Kawin lari menjadi pilihan saya karena saya jengah menghadapi gunjingan tetangga, ataupun omongan keluarga besar tentang dosa berzina, kalau saya memutuskan tinggal bersama tanpa menikah.
Saya tidak bermasalah dengan gunjingan orang, tapi kasihan keluarga saya yang terus-terusan menerimanya. Calon suami saya juga merasa tidak nyaman. Sebagai dosen, dalam beberapa kesempatan undangan menginap, dia diperbolehkan membawa pasangan. Tapi dia tidak bisa membawa saya karena “tidak elok” di mata koleganya. Akhirnya kami memutuskan untuk menikah.
Langkah ini ternyata tidak berjalan lancar. Orang tua saya tidak merestui karena calon suami bukan muslim, orang asing, dan usia kami terpaut cukup jauh. Ayah dan Ibu mengatakan mereka hanya akan memperbolehkan saya menikah jika pasangan saya pindah agama.
Penolakan yang sama juga datang dari keluarga calon mertua, khususnya pihak ibu. Saya dianggap terlalu muda—waktu itu 25 tahun, dan sang ibu tidak memperbolehkan anaknya menikahi orang Islam.
Kami berdua tidak ada yang mau pindah agama, tapi kami bersikukuh untuk menjadi pasangan suami istri supaya mempermudah administrasi. Maka kami merencanakan perkawinan kami sendiri tanpa restu dari kedua belah pihak.
Saya dan suami adalah dua orang keras kepala dan mandiri. Kami sudah hidup tanpa bantuan finansial dari orang tua sejak lulus kuliah sarjana, memiliki tempat tinggal dan pekerjaan sendiri, sehingga melaksanakan pernikahan sendiri tidak terlalu masalah bagi kami.
Keluarga kami menolak mengeluarkan uang sama sekali untuk perkawinan ini. Untung kami sudah menabung sejak pacaran. Jadi, semua biaya pendaftaran pernikahan, menyogok petugas karena urusan birokrasi dokumen di Indonesia yang mandek berbulan-bulan, serta tiket pesawat, kami bayar dengan uang tabungan. Saya tidak punya gaun pengantin, penata rias mahal, apalagi biaya untuk resepsi besar. Kami kawin seadanya dan melakukan perayaan kecil di kebun dengan beberapa teman-teman dekat.
Kawin Lari Secara Feminis
Proses kawin lari yang saya jalani terdiri dari dua ritual. Pertama, pernikahan secara Islam sesuai syarat keluarga saya, di sebuah masjid di Berlin, Jerman, yang mengizinkan kami menikah meskipun berbeda agama. Kedua, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil kota Bonn, tempat asal suami saya, untuk mempermudah administrasi tinggal bersama.
Bapak mertua saya hadir dalam upacara pernikahan di Masjid Berlin dan mentraktir makan seluruh teman yang hadir saat itu.
Saya bahagia karena pernikahan ini sesuai prinsip feminisme saya. Saya ogah melaksanakan ijab kabul, sebuah ritual yang menurut saya sangat patriarkal. Masjid Ibn-Ruschd Goethe menghargai feminisme dan memosisikan saya sebagai perempuan dan suami setara. Tidak ada ritual saya mencium tangan suami sebagai tanda patuh, atau suami salam ke ayah saya sebagai tanda transfer tanggung jawab. Pernikahan batal jika suami melakukan poligami dan sebaliknya. Sisi sedihnya hanya lah bahwa orang tua saya tidak bisa hadir dalam upacara perkawinan ini.
Kini, pernikahan kami sudah menginjak hampir tiga tahun. Perlahan-lahan saya dan suami mulai diterima oleh keluarga masing-masing. Setelah setahun, akhirnya ibu dan ayah saya memajang foto pernikahan kami di ruang tamu. Pelan-pelan saya perkenalkan suami saya pada keluarga besar saya di Bangka dan mereka menerima perbedaan di antara kami. Ibu mertua akhirnya menerima saya sebagai bagian dari keluarganya. Saya percaya pernikahan adalah kerja, supaya semua pihak bisa hidup bahagia selamanya.