‘High School in Jakarta’: Nostalgia dan Patah Hati NIKI di Masa SMA
Lewat “High School in Jakarta”, NIKI mengajak penggemarnya menyelami patah hati ditinggal cinta pertama sewaktu SMA.
Begitu NIKI merilis tracklist album Nicole hampir dua pekan lalu, saya dibuat enggak sabar mendengarkan High School in Jakarta. Dengan harapan bisa relate buat mengenang masa SMA, sekaligus penasaran dengan kehidupan si penyanyi waktu remaja dan masih tinggal di Indonesia.
Setelah mendengarkan lagunya, ternyata rasa penasaran saya terjawab. Keseharian NIKI sama seperti anak SMA pada umumnya. Ngerjain tugas di rumah teman, hangout bareng mereka, kenalan dengan teman-teman baru, ikut klub teater, foto buku tahunan, sampai menemukan cinta pertama.
Ternyata, hubungan NIKI dengan mantan pacarnya juga seperti roller coaster, yang dipenuhi drama anak SMA. Perkara cemburu, enggak dikabarin, lalu berakhir patah hati karena ditinggalkan, semuanya ada.
Walaupun demikian, bukan berarti musik yang dibawakan merefleksikan NIKI yang tenggelam dalam kesedihannya. Ia justru memperingati patah hati tersebut dengan melodi up beat, layaknya sebuah momen yang patut dirayakan. Liriknya ditulis secara conversational—mengalir seperti percakapan. Seolah NIKI sedang meng-update kesehariannya di sekolah, langsung ditujukan ke mantan pacarnya.
Di dalam High School in Jakarta sendiri, ada beberapa hal yang menarik buat kita bahas. Apa aja? Simak, yuk.
Baca Juga: Justin Bieber Konser di Jakarta dan Nostalgia Penggemar Lama
1. “High School in Jakarta”, Jakarta Mana?
Masalah bisa relate atau enggak, dari lirik pertamanya, NIKI langsung memberikan jawabannya. Buat saya—dan sepertinya kebanyakan penghuni Twitter—jawabannya, jelas enggak. Enggak relate sama sekali.
“Didn’t you hear Amanda’s moving back to Colorado?” kata NIKI, membuka lagunya.
Walaupun saya—mungkin juga kamu, sama-sama bersekolah di Jakarta seperti NIKI (yang sebenarnya sekolah di Karawaci, Tangerang)—kita enggak punya teman yang “pulang kampung” atau pindah ke Amerika Serikat. Anak-anak sekolah negeri pasti ngerti maksud saya.
Saya sendiri bersekolah di SMA swasta Katolik dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Model pembelajaran lebih berpusat pada guru dan satu arah, bukan melibatkan murid berdiskusi. Lingkungannya juga didominasi orang-orang kelas menengah, yang berangkat dan pulang sekolah masih naik transportasi umum. Sudah jelas, bahasa Indonesia jadi bahasa pengantar dan digunakan untuk ngobrol bareng teman-teman.
Sementara NIKI, bersekolah di Sekolah Pelita Harapan (SPH) yang kurikulumnya International Baccalaureate (IB) dan Kurikulum Internasional Cambridge. Selain menggunakan bahasa Inggris untuk bahasa pengantar, kurikulum itu mempersiapkan siswa supaya bisa bersaing secara global.
Enggak heran kalau sebagian besar siswa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus di luar negeri, memanfaatkan sistem transfer kredit—untuk mempercepat masa studi.
Kalau di lingkungan kita, mungkin mentok-mentok ada teman yang pindah sekolah ke sekolah negeri unggulan. Mereka ingin akses ke perguruan tinggi negeri lebih mudah, karena (katanya) kuota yang dibuka lebih besar lewat jalur Seleksi Nasional masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Bukan kayak dua teman NIKI yang pindah ke New York dan Colorado.
Jangankan pindah ke Amerika Serikat, ya, liburan ke sana aja mungkin bisa bikin heboh satu kelas. Soalnya pasti mendadak dicap anak orang kaya.
Kemudian, soal nongkrong di rumah teman setelah menyelesaikan kerja kelompok, menunjukkan perbedaan cara bergaul antara kita dan NIKI. Penyanyi kelahiran Jakarta itu bisa ngeles ke pacarnya, “I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s.” Mungkin di kalangannya, minum alkohol udah jadi sesuatu yang umum dilakukan kalau kopi darat. Berbeda dengan kita yang pesan boba lewat aplikasi ojek online.
Bagi kita yang enggak relate, rasanya akan lebih cocok menyebut lagu ini sebagai “(International) High School in Jakarta”. Tapi, bukan berarti NIKI salah lho, toh di lagu ini dia pengin mengungkapkan pengalaman personalnya.
Baca Juga: Dari Baju hingga Gaya Hidup, Ada Alasan Kita Senang Meniru Idola
2. Musik Video Bertema Romcom Ala Film Hollywood
Suasana sekolah di “High School in Jakarta” yang mencerminkan sekolah internasional—atau sekolah-sekolah di Amerika Serikat, semakin membangun euforia percintaan anak SMA. Berdurasi hampir empat menit, musik video itu mirip alur cerita sebuah film komedi romantis.
Berawal dari adegan pertemuan NIKI dan Ben—karakter mantan pacarnya yang diperankan Peter Sudarso, di lorong sekolah saat keduanya berpapasan. Adegan itu mengingatkan kita dengan tipikal film komedi romantis, seperti 10 Things I Hate About You (1999) atau To All The Boys I’ve Loved Before (2018), yang menyorot lorong sekolah sebagai salah satu lokasi penting dalam percintaan anak SMA.
Keduanya kemudian secara resmi berkenalan di klub teater dan mulai berkencan. Sampai-sampai dunia rasanya hanya milik NIKI dan Ben, jika melihat ending-nya di mana mereka meninggalkan sekolah.
Alurnya yang sederhana dan padat, berhasil membuat penonton menikmati cerita layaknya sebuah film. Bahkan, enggak sedikit penggemar NIKI di Twitter merespons, musik video High School in Jakarta mirip dengan high school dream mereka. Meskipun jika berkaca pada liriknya, adalah patah hati yang diekspresikan perempuan 23 tahun tersebut.
Dengan demikian, NIKI berhasil menghidupkan kisah asmaranya di SMA dengan apik, lewat musik video yang sangat mendukung.
Baca Juga: Lagu Patah Hati Olivia Rodrigo: Saatnya Rayakan Kehilangan dengan Elegan
3. Prekuel Before dan Ocean and Engines
Sebelum merilis High School in Jakarta, NIKI lebih dulu meluncurkan dua lagu lainnya, yakni Before dan Ocean and Engines yang juga single dari album Nicole. Ketiga lagu tersebut ternyata saling berkesinambungan, menceritakan kisah cinta NIKI semasa SMA.
Jika berkaca pada musik videonya, High School in Jakarta justru merupakan pembuka kehidupan asmaranya dengan Ben. Mereka berkenalan ketika keduanya sedang mempersiapkan properti untuk pementasan teater.
“I’m Ben, by the way.”
“I’m Nicole.”
“I know.”
Perkenalan itu menjadi awal perjalanan mereka, setelah sebelumnya hanya melirik satu sama lain di koridor sekolah. Namun, sepertinya hubungan itu enggak berlangsung lama, dan Ben meninggalkan NIKI yang masih di Jakarta.
Kemudian, Before menceritakan tentang NIKI yang mengunjungi Ben di Amerika Serikat. Hubungan mereka bukan sebagai teman ataupun kekasih, dan Ben enggak memberikan kepastian. Hingga akhirnya NIKI memutuskan meninggalkan mantan pacarnya, setelah ia tahu ada orang lain yang menggantikan posisinya.
Cerita patah hati NIKI ditutup manis—tapi tetap tragis—dalam Ocean and Engines. Masih dalam fase patah hati, banyak memori mengingatkan NIKI dengan sosok Ben. Ia melepaskan Ben, sambil mempertanyakan kehadiran mereka yang kini asing terhadap satu sama lain. Lagu itu ditulisnya saat berusia 17 tahun, ketika NIKI mengalami patah hati saat ditinggal cinta pertamanya yang harus pergi selamanya.
Di laman Instagramnya, NIKI membenarkan ketiga musik video tersebut yang saling berhubungan, karena akan dirilis sebagai film pendek berjudul But I’m Letting Go (2022). Menceritakan tentang kisah cintanya sewaktu SMA, film tersebut akan diputar secara terbatas di Jakarta, New York, dan Los Angeles pekan ini, bersamaan dengan perilisan album terbarunya.
4. Model Laki-laki Keturunan Indonesia
Dalam musik video, NIKI memilih aktor Peter Sudarso yang memerankan karakter cinta pertamanya. Selain mencerminkan orang Indonesia—mungkin juga mantan pacar NIKI berkewarganegaraan yang sama, kehadiran Peter lebih dari sekedar pengingat ada aktor Tanah Air yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood.
Kehadirannya sekaligus menunjukkan, bahwa aktor laki-laki Asia mampu menjadi pemeran utama. Sudah jadi rahasia umum ya, kalau laki-laki Asia memiliki stereotipnya tersendiri dalam film-film Hollywood. Biasanya mereka cuma pelengkap, sifatnya kemayu, kurang jantan, kurang menarik, dan tidak memenuhi standar maskulinitas kulit putih di Amerika Serikat. Stereotip yang lahir dari sikap rasisme.
Stereotip itu berawal pada pertengahan 1800-an, ketika imigran laki-laki dari Cina dipaksa melakukan pekerjaan domestik. Pemaksaan itu merupakan pembalasan atas efisiensi jasa mereka, karena dilarang melakukan pekerjaan pertambangan dan konstruksi.
Stereotip-stereotip tersebut makin diperkuat representasi laki-laki Asia dalam film-film kanon Hollywood. Misalnya Mr. Yunioshi (Mickey Rooney) dalam Breakfast at Tiffany’s (1961), Fu Manchu (Warner Oland) dalam The Mysterious Dr. Fu Manchu (1929), dan Charlie Chan (Warner Oland) di serial Charlie Chan (1931-1937).
Mereka memerankan ketiga karakter tersebut dengan aksen khas orang Asia, dan perilaku konyol yang berlebihan. Bahkan, aktor Sessue Hayakawa yang dipandang menarik perempuan kulit putih, tidak dapat melakukan adegan interaksi fisik dengan lawan mainnya.
Adegan Hayakawa mencium seorang kulit putih yang adalah lawan mainnya, malah diblokir. Ia tidak dapat mengandalkan fisik untuk menjual daya tarik maskulinnya, sebelum lembaga sensor di Amerika Serikat melarang representasi pasangan dan seks antar ras. Hal tersebut semakin memperburuk citra laki-laki Asia yang tampaknya layak dijadikan hiburan, asal muasal diskriminasi yang sampai saat ini kerap terjadi.
Namun, karakter Ben yang diperankan Peter dalam musik video High School in Jakarta justru mendobrak stereotip tersebut—yang belakangan ini juga mulai dihapuskan. Ia memiliki peran signifikan, dengan menghidupkan karakter seorang siswa SMA yang bergabung dengan klub teater, sekaligus menjadi cinta pertama NIKI.
Begitu pula dengan peran Peter dalam sejumlah film dan serial televisi. Di antaranya Power Rangers Ninja Steel (2017-2018), Justice for Vincent (2019), The Paper Tigers (2020), dan Supergirl (2015-2021), membuktikan laki-laki Asia mampu bersanding dengan aktor lainnya di perfilman Hollywood. Terutama laki-laki Asia dari Jakarta.