Lifestyle

Sejarah ‘Makeup’: Lelaki Juga Pakai Gincu dan Bedak

Lebih dari sekadar menunjukkan kecantikan, kosmetik sebenarnya bisa dimanfaatkan perempuan maupun laki-laki. Setidaknya sampai sebelum pemerintahan Ratu Victoria.

Avatar
  • January 18, 2022
  • 6 min read
  • 1700 Views
Sejarah ‘Makeup’: Lelaki Juga Pakai Gincu dan Bedak

Melihat penampilan Bretman Rock untuk pertama kalinya pada 2015 cukup mengejutkan saya. Bagaimana seorang laki-laki merias wajah dan percaya diri mempublikasikannya di dunia maya. Tentu saja saya terkejut karena dalam persepsi masyarakat kebanyakan, umumnya hanya perempuan yang (berhak) menggunakan kosmetik.

Kenyataannya, beauty influencer asal Filipina itu hanya satu dari banyaknya laki-laki lain yang merias wajah. Sebut saja Jackson Wang, bintang k-pop dan salah satu anggota boyband GOT7. Melansir GQ, ia menganggap makeup adalah seni dan tidak ada batasan di dalamnya.

 

 

Ada juga sederet influencer dan figur publik lainnya, baik dalam maupun luar negeri. Misalnya Prince, Sam Smith, James Charles, Adam Lambert, Jeffree Star, Ivan Gunawan, dan Hans Danial.

Jika mundur sepuluh tahun lalu, rasanya mustahil melihat laki-laki menggunakan makeup. Tak dimungkiri, mendengar kata “laki-laki” pada saat itu, yang pertama kali terbayangkan adalah sosok maskulin tanpa riasan wajah. Hal inilah yang membuat kemunculan beauty influencers beberapa tahun setelahnya tampak seperti dosa besar. Padahal sebenarnya, kosmetik tidak mengurangi maskulinitas seseorang.

Baca Juga: Ada Kesan Maskulin dan Kapitalisasi Perempuan di Balik Warna ‘Pink’

Lebih dari itu, makeup memiliki makna lebih dari sekadar membuat penampilan lebih menarik, melainkan bentuk ekspresi diri. Ini dilakukan oleh Danny Gray, Founder War Paint, brand kosmetik khusus laki-laki asal Inggris. Mengutip The Guardian, Gray mengatakan, makeup membantunya mengelola gangguan dismorfik tubuh yang dimiliki.

Sementara dalam salah satu vlog-nya, beauty blogger Jake Jamie mengaku riasan wajah membantunya menemukan kepercayaan diri, merasa bahagia, dan belajar mengaktualisasi diri.

Bagi sebagian orang, mungkin hal ini terlihat layaknya sebuah tren di era media sosial, ketika sesama pengguna dapat terkoneksi dan mendorong satu sama lain untuk berani berekspresi. Namun, persoalan laki-laki menggunakan makeup telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, saat teknologi bahkan belum ditemukan.

Berawal di Era Mesir Kuno

Semua berawal di era Mesir Kuno, tepatnya sejak 4000 SM, ketika laki-laki menggunakan cat eye makeup. Mereka memoles area matanya dengan pigmen hitam sebagai simbol kekayaan, kelas sosial, sekaligus dilihat menarik.

Beberapa milenium kemudian, muncul kohl eyeliner yang sekarang juga banyak digunakan, eye shadow berwarna hijau malachite, serta pewarna merah untuk bibir dan pipi berasal dari oker. Merujuk Byrdie, pada masa itu tujuannya bukan untuk tampil menarik, melainkan membangkitkan Dewa Horus dan Ra, juga menangkal penyakit berbahaya.

Ini berbeda dengan situasi di Asia. Silla, sebuah kerajaan Korea yang terletak di Selatan dan tengah Semenanjung Korea. Di kerajaan yang berdiri pada 57 SM hingga 935 M itu mereka percaya, jiwa-jiwa yang indah terletak pada tubuh yang indah. Alhasil, baik laki-laki maupun perempuan sangat menghargai makeup dan perhiasan.

Bahkan, pemuda yang tergabung dalam Hwarang—kelompok prajurit pemuda elit, memakai cincin berhiaskan batu giok, gelang, kalung, dan berbagai aksesoris lain. Pun menggunakan bedak, perona pipi dan bibir agar tampak merah.

“Raja dinasti Silla waktu itu mengelilingi kerajaan, memilih laki-laki yang paling indah, dan mengajaknya menjadi pasukan tentara karena dianggap punya kekuatan dewa,” ujar penulis David Yi kepada GQ.

Bergeser pada masa Romawi Kuno di abad pertama Masehi, laki-laki dikenal mengenakan pigmen merah pada pipi, mengecat kuku menggunakan eliksir dari lemak dan darah babi, serta mencerahkan wajah dengan bedak.

Baca Juga: Raisa dan Ekspektasi Cantik Natural

Sayangnya, penggunaan makeup pada laki-laki justru tidak disukai masyarakat. Dalam Cosmetics & Perfumes in the Roman World (2007) oleh Susan Stewart dijelaskan, mencukur terlalu banyak rambut dipandang bersifat seperti perempuan, sedangkan terlalu sedikit dianggap tidak sopan.

Tentu ini salah satu bentuk toxic masculinity, karena begitu pula dengan laki-laki yang bepergian membawa cermin dilihat feminin. Atau laki-laki diharapkan berkulit kecokelatan setelah bekerja di luar ruangan, sehingga penggunaan riasan pemutih wajah dinyatakan tidak bermoral. Karena itu, yang ditoleransi hanya pemakaian parfum tertentu.

Sementara di bagian Eropa lainnya, yakni Inggris pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I, laki-laki sangat menghargai pemakaian bedak hingga wajah mereka terlihat sangat putih. Akibat terlalu banyak bahan kimia yang terkandung dalam kosmetik, penggunaannya berujung pada masalah kesehatan fatal termasuk kematian dini.

Pemakluman merias wajah bagi laki-laki mulai berubah drastis pada masa pemerintahan Victoria di abad ke-18, ketika sang ratu mengeklaim makeup tidak sopan digunakan dan mengasosiasikannya dengan pekerja seks.

Selama era itu, makeup dianggap keji dan vulgar oleh kerajaan dan gereja, hingga membentuk suatu korelasi yang kuat antara riasan, feminitas, keangkuhan, dan “pekerjaan iblis”.

Sejak saat itu, riasan wajah melekat dengan kaum hawa dan berdampingan dengan nilai-nilai agama yang mengecilkan lingkup maskulinitas. Hingga saat ini, perkara gender dan jenis kelamin membatasi kebebasan laki-laki dan perempuan dalam berpenampilan.

Baca Juga: Siapkah Indonesia Usung ‘Genderless Fashion’?

Kembalinya Genderless Beauty

Setelah era Victoria berakhir, laki-laki kembali menggunakan makeup, tetapi terbatas dalam industri perfilman. Sedangkan di luar itu masih dianggap tabu dan dikaitkan  dengan homoseksual ataupun metroseksual. Namun, selama beberapa tahun terakhir, berbagai kalangan telah mengusung genderless beauty.

Menurut Yi, makeup dapat digunakan untuk melatih perawatan diri sekaligus terlihat dan merasa lebih baik. Mengamini pernyataan tersebut, seorang warga Korea Selatan, Heo Jeong-nam, merias wajahnya untuk membuat wanita terkesan.

Makeup membuat saya lebih mudah mengencani perempuan karena percaya diri,” tuturnya kepada Sydney Morning Herald. Menurutnya, jika selebritas laki-laki saja menggunakannya, artinya ia juga bisa dan tetap merasa maskulin. Tidak heran jika Korea Selatan menolak maskulinitas kaku, terlihat dari tingginya tingkat operasi kosmetik dan ekspor produknya.

Ini juga berlaku pada sejumlah brand yang menunjukkan “beauty has no gender”. Di antaranya adalah Chanel, Fenty Beauty, Trixie Cosmetics, Tom Ford Beauty, atau Maybelline yang mengajak makeup artist Manny Gutierrez sebagai modelnya.

“Kami menyadari, gender bukan sebuah konsep yang bersifat tetap,” kata Sam Cheow, Senior Vice President of Corporate Innovation and Product Development di perusahaan milik Estée Lauder, dikutip dari Harper’s Bazaar.

Bahkan, sejumlah brand pun mengajak laki-laki berkolaborasi. Seperti Colourpop, Morphe, dan Wet N Wild mengajak Bretman Rock dalam koleksi eyeshadow, highlighter palette, dan full makeup kit.

Begitu juga dengan produk lokal yang tak luput dalam hal ini. Misalnya Rollover-Reaction, Dear Me Beauty, BLP Beauty, dan Mad for Makeup, yang mengajak laki-laki sebagai modelnya, baik dari kalangan figur publik maupun masyarakat umum.

Baca Juga: Laki-laki Masa Kini: ‘Skincare’ Itu ‘Self-Care’

Melihat realitas yang ada menunjukkan perubahan persepsi terhadap kosmetik dipengaruhi media sosial. Tepatnya kehadiran beauty vloggers laki-laki maupun kampanye yang dilakukan sejumlah brand, sehingga makeup tak lagi kental dengan barang yang merepresentasikan perempuan.

Tentu “mundurnya” persepsi masyarakat terhadap makeup ke era Mesir Kuno merupakan sebuah perkembangan yang perlu dirayakan. Pasalnya, laki-laki dan perempuan berhak merasa baik dan percaya diri, atau sekadar mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya melalui kosmetik sebagai medium.

Hanya saja, perempuan lebih terbiasa mengungkapkan identitas lewat peralatan kecantikan, dibandingkan laki-laki yang haknya “dirampas” pada era Ratu Victoria.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *