Issues

Ada Kesan Maskulin dan Kapitalisasi Perempuan di Balik Warna ‘Pink’

Saat melekat pada diri laki-laki, warna pink mencerminkan agresif dan semangat. Namun, sejak identik dengan perempuan justru menjadi akar diskriminasi.

Avatar
  • November 23, 2021
  • 5 min read
  • 1926 Views
Ada Kesan Maskulin dan Kapitalisasi Perempuan di Balik Warna ‘Pink’

Saat mendengar kerabat melahirkan anak perempuan, umumnya masyarakat menghadiahkan perlengkapan bayi berwarna pink yang merepresentasikan gender anak. Atau mungkin sewaktu kecil, kita yang meminta orang tua agar mengubah cat kamar menjadi pink, lengkap dengan dekorasi khas anak perempuan.

Kenyataannya, sebelum pink “ditetapkan” sebagai warna perempuan, semua anak-anak mengenakan pakaian putih. Barulah pada pertengahan abad ke-17, sebagai simbol kemewahan dan kelas sosial, para bangsawan Eropa, baik laki-laki dan perempuan, mulai menggunakan pakaian berwarna pastel.

 

 

Karena Madame Pompadour, selir Raja Louis XV dari Prancis menyukainya, produsen porselen di Sèvres, Prancis menamai warna pink sebagai Rose Pompadour. Mereka melakukannya sebagai bentuk penghargaan terhadap Pompadour, yang mendukung porselen produksinya.

Sementara di Inggris pada abad ke-19, pink dilihat sebagai warna lebih pucat dari merah, yang dianggap sebagai warna maskulin dan dikenakan laki-laki dewasa. Maka itu, anak laki-laki mengenakan seragam, pita, dan dekorasi berwarna pink.

Menanggapi hal ini, ahli warna dan Direktur Eksekutif di Pantone Color Institute, Leatrice Eiseman, menjelaskan kepada CNN: “Walaupun warnanya lebih muda, pink masih berkaitan dengan merah yang menandakan semangat, gairah, aktif, dan agresif.”

Meskipun demikian, sebelum ditemukan pewarna pakaian, kebanyakan anak di Inggris pada masa itu masih mengenakan pakaian putih lantaran segala macam warna cepat memudar jika dicuci dengan air mendidih, sebagaimana dijelaskan jurnalis dan penulis Kassia St Clair, dalam The Secret Lives of Colour (2016).

Sebaliknya, di awal abad 20an biru mulai dinilai lebih cocok untuk anak perempuan, karena dilihat sebagai warna yang halus dan cantik, menurut sebuah artikel di majalah Earnshaw’s pada 1918.

Menurut Valerie Steele, direktur Museum at FIT, museum fesyen di New York, pada 1920-an warga AS mulai mengasosiasikan kedua warna tersebut dengan gender tertentu. 

“Ini dikarenakan pada 1890-an dan awal abad ke-20, para produsen di AS ingin meningkatkan angka penjualan pakaian bayi dan anak-anak, dengan mengelompokkan warnanya,” jelasnya kepada CNN.

Baca Juga: Mengapa Orang Tua Perlu Berhenti Tentukan Gender Anak Sejak Awal?

Mengapa Pink Dianggap Warna Perempuan?

Namun sebenarnya, mulai terjadi perubahan preferensi bagi laki-laki di Eropa sejak pertengahan abad ke-19. Mereka cenderung mengenakan pakaian berwarna gelap, dan warna terang dan pastel mulai diasosiasikan sebagai warna perempuan.

Karena banyaknya pakaian dalam perempuan berwarna pink, serta dijadikan daya tarik seksual dalam seni dan literatur yang berkaitan dengan tubuh perempuan, konotasinya pun bermakna erotis. Jika sebelumnya pink dikenakan oleh para bangsawan, nilainya justru berubah sebagai pakaian para pekerja dan pelacur perempuan.

Tren ini semakin berkembang pada 1950-an, ketika pink semakin melekat dengan citra perempuan dan menjadi simbol hiper-feminisme karena branding dan pemasaran pascaperang di AS.

Titik balik terjadi pada 1953 ketika Mamie Eisenhower, ibu negara AS ke-34, mengenakan gaun berwarna pink saat menghadiri pelantikan suaminya, Presiden Dwight D. Eisenhower. Mengutip portal online Amerika Racked, kecintaannya terhadap warna tersebut menyebabkan publik beranggapan bahwa pink adalah warna yang anggun untuk dikenakan perempuan.

Budaya populer turut berkontribusi dalam melanggengkan stereotip pink sebagai warna perempuan. Misalnya aktris Jayne Mansfield yang selalu menggunakan barang berwarna pink, mulai dari gaun pernikahan, mobil, rumah mewah, hingga bulu hewan peliharaannya yang dicat senada.

Selain Mansfield, geng The Plastics dalam Mean Girls (2004) semakin menguatkan citra pink sebagai warna perempuan. Mereka mengklaim “On Wednesdays, we wear pink!”, agar terlihat sebagai perempuan yang lebih manis. Ada juga karakter Elle Wood (Reese Witherspoon) dalam Legally Blonde (2001), mencerminkan perempuan yang cantik dan pintar.

Steele mengatakan masyarakat berperan dalam mendefinisikan warna. Tak hanya terjadi di Barat, budaya Asia, khususnya dalam cosplay di Jepang,  sering merujuk pada orientasi perempuan muda feminin dan menggemaskan, layaknya sebuah boneka.

Sementara di India justru dianggap lebih netral untuk kedua jenis kelamin, karena laki-laki juga mengenakan pakaian, perhiasan, dan turban berwarna pink.

Baca Juga: Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan

Pink Tax, Bentuk Kapitalisasi Produk Perempuan

Karena dikategorikan sebagai warna perempuan, terdapat sebuah fenomena diskriminasi gender bernama pink tax, yakni sejumlah produk dan layanan untuk perempuan, yang ditawarkan dengan harga jual lebih tinggi.

Sebuah studi berjudul “From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer” (2015) oleh Bill de Blasio dari New York City Department of Consumer Affairs menunjukkan terdapat 800 produk dari 90 merek yang dipasarkan lebih mahal tujuh persen untuk perempuan. Termasuk dalam produk itu adalah pakaian, mainan, produk kesehatan dan perawatan diri, potong rambut, dan jasa laundry.

Ada beberapa alasan di balik pemberlakuan pink tax ini. Contohnya adalah harga cat pink untuk mainan anak-anak lebih mahal dibandingkan merah, jika didasarkan pada asumsi banyaknya jumlah barang berwarna pink yang peminatnya lebih sedikit. Sementara pada layanan laundry, model pakaian perempuan dianggap lebih beragam dibandingkan laki-laki, sehingga sulit dibersihkan.

Baca Juga: Menelusuri Sejarah Produk Pembalut dari Berbagai Era

Melansir Investopedia, keuntungan tambahan dari produk bukan disalurkan kepada pemerintah, melainkan perusahaan yang memproduksi.  CEO dari Retail Council of New York State, Ted Potrikus, menjelaskan faktor lain dari perbedaan harga tersebut kepada USA Today. “Pengecer melihat perempuan sebagai target pasar terbanyak,” katanya.

Menurutnya, untuk mengikuti dan memenuhi tren, riset dan pengembangan, serta mengiklankan produk di majalah dan televisi menghabiskan banyak biaya. Maka itu, perusahaan lebih banyak mengiklankan kepada perempuan, dan berkontribusi pada perbedaan harga.

Meskipun perempuan juga pembeli terbesar, kenyataannya keberadaan pink tax hanya memperpanjang daftar ketidaksetaraan yang dihadapi perempuan, mengingat kesenjangan upah yang masih diperjuangkan sehingga semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *