Safe Space

Sedikit-dikit Dibilang Zina, Soal Seks Konsensual dalam Permen PPKS

Menghilangkan frasa ‘sexual consent’ atau persetujuan tindakan seksual dalam Permen PPKS Nomor 30 Tahun 2021, justru membuat posisi korban kekerasan makin rentan.

Avatar
  • November 15, 2021
  • 4 min read
  • 1260 Views
Sedikit-dikit Dibilang Zina, Soal Seks Konsensual dalam Permen PPKS

Sejumlah Muslim “konservatif” mengkritik Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) Nomor 30 Tahun 2021 sebagai alat legalisasi zina. Kritik itu merujuk pada frasa ‘tanpa adanya persetujuan korban’ yang jika dinegasikan, sama saja membuka ruang bagi perbuatan asusila (zina).

Padahal, semangat awal pembuatan kebijakan itu justru untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual di kampus. Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, sebanyak 77% dosen Indonesia bilang ada kekerasan seksual di kampus. Celakanya, hanya 37% yang memilih melaporkan kasusnya, sisanya bungkam.

 

 

Memahami Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dan hubungan seks konsensual merupakan dua isu yang berbeda meski saling beririsan. Kekerasan seksual dapat dimaknai secara luas sebagai tindakan bernuansa seksual yang dapat menyebabkan kerugian bagi korban. Sederhananya, tindakan seksual tersebut tidak berdasar pada persetujuan dari salah satu pihak (non-konsensual). Batasan antara konsensual dan non-konsensual bersifat subjektif, bergantung pada individu dan situasi yang dihadapi. Seringkali, korban bahkan tidak menyadari mereka mengalami kekerasan seksual karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara keduanya.

Baca juga: Magdalene Primer: Apa yang Perlu Diketahui tentang ‘Consent’

Relasi kuasa menyebabkan korban berada dalam kondisi rentan dan tidak memiliki daya untuk melawan. Sikap ‘terpaksa’ pun kerap dianggap sebagai sebuah persetujuan (consent) yang membuat pelaku berhak melakukan apapun yang ia minta kepada korbannya. Akan tetapi, poin utama pada hubungan seks non-konsensual adalah tidak hadirnya kesadaran dan kerelaan dari pihak yang melakukannya.

Lantas, apa yang dimaksud dengan hubungan seks konsensual?

Memahami Hubungan Seks Konsensual

Sudah banyak artikel populer dan literatur dari berbagai disiplin ilmu, seperti pendidikan seksual, psikologi, kesehatan, agama, hingga hukum pidana dan kejahatan yang membahas tentang hubungan seks konsensual. Secara sederhana, consent diterjemahkan sebagai kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam hal ini, hubungan seks konsensual berarti kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan hubungan seksual.

Satu hal yang paling penting sebelum memberikan consent, yaitu pemahaman soal konsekuensi dari apa yang akan mereka lakukan. Hal tersebut yang sering menjadi masalah dan menyebabkan perempuan kerap jadi korban. Adanya manipulasi consent, di mana umumnya laki-laki (untuk mempermudah contoh di sini, kita batasi dalam relasi heteroseksual. Red) memberi janji surga, sehingga perempuan jatuh dalam perangkapnya. Khususnya bagi anak yang masih di bawah umur, mereka belum paham akan konsekuensi, pun konsep consent itu sendiri. Maka dari itu, literasi dan edukasi seksual sangat penting.

Seiring dengan maraknya literasi dan edukasi mengenai aktivitas seksual, di zaman sekarang sudah banyak pula perempuan yang telah memahami dengan baik apa itu hubungan seks konsensual. Siapapun yang takut dengan konsekuensinya, akan cenderung menghindari kegiatan seksual di luar pernikahan apapun alasannya. Sementara bagi mereka yang merasa kegiatan seksual sebagai kebutuhan biologis, maka akan dengan mudah memberikan consent kepada siapa saja yang mereka kehendaki, meskipun bukan pada pasangannya.

Baca juga: Memahami ‘Consent’ dari Ilmu Hukum: Benarkah Itu Mendorong Seks di Luar Nikah?

Tanpa mereka sadari, hubungan seks konsensual, ketika dilakukan di luar pernikahan tetap memiliki risiko yang berpotensi merugikan, khususnya bagi perempuan. Robin West telah mengulasnya dalam artikel The Harms of Consensual Sex, bab 4 buku Sexual Morality. Ia menjelaskan, sekalipun seks bersifat konsensual, perempuan dapat mengalami luka pada rasa kepemilikan diri, otoritas tubuh, dan integritas yang mereka miliki. Kerugian tersebut umumnya tidak dirasakan seketika, namun akan terasa setelah perempuan mengalami perasaan tidak menyenangkan yang telah terakumulasi. Oleh karenanya, agar tidak merasa dirugikan, salah satu bentuk consent untuk melakukan hubungan seksual adalah melalui pernikahan.

Perlu digarisbawahi, pernikahan bukan sebatas alat legitimasi untuk melakukan hubungan seksual semata. Banyak sekali tanggung jawab yang harus diemban bersama-sama oleh sepasang laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan pernikahan. Perlu diingat, consent juga menjadi hal yang vital dalam pernikahan. Untuk menikah, tentu kedua pihak harus sama-sama tahu akan ‘konsekuensi’ dari pernikahan.

Ya, betul! Pernikahan pun memiliki konsekuensi dan risikonya tersendiri. Untuk itulah penting sekali kita memahami konsekuensi pernikahan sejak dalam proses memilih pasangan. Upayakan kedua belah pihak paham mengenai konsep hubungan seks konsensual, karena sejatinya, setelah menikah bukan berarti salah satu pihak (laki-laki) bisa dengan semena-mena ‘menggunakan’ pasangannya untuk memuaskan hasrat seksualnya. Banyak laki-laki yang belum memahami bahwa dengan menikah tidak menjadikan kepemilikan atas pasangan dan masih pula banyak perempuan yang belum paham tentang otoritas tubuhnya.

Baca juga: Memahami ‘Consent’ Lebih Jauh untuk Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual

Kesimpulannya, sekalipun dalam hubungan pernikahan, perempuan masih sangat mungkin untuk menjadi korban, baik secara seksual maupun kekerasan lainnya, apalagi bila di luar hubungan pernikahan. Namun dalam hal ini, penting untuk diperhatikan bahwa dengan memahami consent, subjektivitas perempuan memainkan peran. Perempuan memiliki kendali atas dirinya dan otoritas tubuhnya. Sehingga, ketika mereka mengambil keputusan, mereka berada dalam keadaan berkesadaran secara penuh dan memahami konsekuensi yang akan dihadapi dari segala tindakan yang mereka lakukan.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Fany N. R. Hakim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *