Feminis Bercerita, demi Industri Film yang Inklusif
Industri film telah memproduksi film dengan tema feminisme. Namun, industrinya belum cukup inklusif untuk minoritas dan perempuan.
Film tentang pernikahan anak, Yuni, jadi sorotan karena membahas isu sistemik yang dialami perempuan. Tidak hanya dari sisi pernikahan anak, film yang tayang sepekan terakhir ini menelanjangi kekerasan dalam rumah tangga, tabu edukasi seksual, hingga poligami. Walaupun Yuni itak menyatakan dirinya sebagai film feminis secara eksplisit, isu yang dibahasnya jauh melampaui label itu sendiri.
Mian Tiara, aktris dan musisi yang berperan sebagai Asih dalam film Yuni mengatakan, film dengan perspektif feminisme menunjukkan ada semangat idealisme, yang tergambarkan dari karakternya, baik laki-laki maupun perempuan. Semangat feminisme dalam film pun tidak ingin menunjukkan satu kelompok lebih superior dibanding yang lain. Namun, itu menampilkan perempuan bisa bekerja sama dan tidak dibedakan dengan yang lain karena sama-sama manusia.
“Film dengan perspektif feminis sesuai dengan realitas. Film yang baik juga akan sesuai dengan kenyataan. Misalnya tentang orang yang toksik, tapi dalam film ada penyelesaian kalau hal itu tidak baik dan ada solusinya. Film (perspektif) feminis bukan tokenisme dan perlu banyak literasi dan bertanya kepada ahli ketika membahas satu isu,” jelasnya dalam diskusi daring ‘Film dalam Perspektif Feminisme’ oleh Feminist Festival 2021 akhir November lalu.
Berkaitan dengan film tema feminisme itu, Mian melanjutkan, gambaran tentang perempuan menjadi jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu, karakter perempuan menjadi objek pelengkap cerita dan bukan subjek utama yang membawa perubahan.
“Sekarang perempuan dan kelompok minoritas sudah bisa membawa cerita mereka sendiri, dan banyak pegiat seni dan industri film yang aware dengan hal yang terjadi sekarang. Sudah sangat peka memilih cerita yang diangkat dan dibagikan demi satu perubahan,” kata Mian.
Baca juga: 4 Sutradara Perempuan Tombak Perfilman Korea Selatan
Perlu Ruang Inklusif dan Aman
Meski telah terjadi perubahan yang menunjukkan progres tentang perspektif perempuan, Mian masih menilai industri perfilman belum sepenuhnya aman bagi perempuan.
“Relasi kuasa menjadi salah satu aspek yang berpengaruh dalam kasus perundungan da pelecehan lingkup kerja. Jadi yang berkuasa, bahkan pemain utama dan pemain lainnya ada relasi kuasa yang kuat dan terlibat dalam menciptakan ruang aman bebas kekerasan,”
Pada Maret tahun lalu, aktris Hannah Al-Rashid, sutradara Gina S.Noer dan Ernest Prakasa, Mian Tiara, dan aktor lainnya merilis sebuah video animasi kartun untuk Hari Film Nasional. Video tersebut menggambarkan seorang aktor veteran sebagai pelaku pelecehan seksual kepada seorang aktris dan menunjukkan industri film Indonesia masih belum aman.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan
Sama halnya di AS dengan gerakan #MeToo yang mengungkapkan produser Harvey Weinstein sebagai pelaku pelecehan dan kekerasan seksual selama bertahun-tahun. Sementara di Korea Selatan, juga dengan gerakan yang sama menyatakan sutradara Kim Ki-duk dan aktor Cho Jae-hyun sebagai pelaku kekerasan seksual. Korban tidak berani mengungkapkan kasusnya karena takut dikucilkan di industri perfilman.
Selain itu, ada juga isu inklusif terhadap komunitas minoritas gender dan orientasi seksual. Walaupun dewasa ini ruang yang inklusif sering dikampanyekan, seniman dan aktivis Anggun Pradesha mengatakan, inklusif tidak sekadar melibatkan kelompok tertentu sebagai representasi tanpa memikirnya cara menampilkannya dengan baik.
“Yang penting dari karya inklusif dan ingin inklusif dengan mengakomodir serta memberi ruang buat teman trans karena yang lain memulai dari level nol, sementara kami (transpuan) dar level minus,” ujarnya.
Meski demikian, jika industri film mengangkat cerita tentang transpuan dan memberi ruang untuk bermain film, perannya dijadikan untuk bahan komedi yang seksis dan problematis. Selain itu, dijadikan objek yang digambarkan sebagai pendosa yang harus kembali menjadi laki-laki dan menyedihkan.
“Tidak semua paham tentang kehidupan komunitas trans dan berasumsi kalau komunitas trans seperti itu dari representasi media. Media membuat representasi yang kurang tepat dan sensasional. Padahal transpuan sama saja dengan orang yang lain, “ ujarnya.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas
Anggun mengatakan, untuk mengatasi masalah tersebut bisa melakukan diskusi dengan komunitas transgender agar mendapatkan perspektif yang tepat.
“Jika ada niat baik banyak informasi dan bisa berkenalan dengan organisasi transgender, transpria, maupun transpuan yang bisa diajak berdiskusi untuk skrip,” ujarnya.
“Ketika mengangkat cerita tentang transpuan, maka transpuan yang diberi ruang berperan. Jika belum jago dalam berakting karena aksesnya kurang dan memang (tim produksi) ada niat baik, mereka bisa dipoles dan masuk kelas akting.
Sementara Mian mengatakan, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk melawan kekerasan tersebut dengan membuat kampanye anti-kekerasan. Alasannya, banyak yang bersimpati dan empati, tetapi tidak tahu cara meresponsnya. Dengan demikian, perlu dibangun kesadaran untuk membantu orang-orang di industri perfilman tentang cara merespons kasus kekerasan seksual.
Selain itu, tim produksi juga menyediakan ruang aman dan perlindungan agar kru atau pemain bisa merasa nyaman untuk bercerita dan bisa segera ikut menangani hal yang terjadi.
“Dari segi kontrak isa mensosialisasikan pasal yang melindungi kita sebagai kru dan pemain di ruang produksi serta bisa dengan produser agar ruang aman terjamin,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari