Lifestyle

‘Unfriend’ di Dunia Nyata, Pertemanan pun Ada Kadaluarsanya

Seperti relasi romantis, pertemanan pun bisa saja kandas karena berbagai hal.

Avatar
  • February 14, 2022
  • 4 min read
  • 1670 Views
‘Unfriend’ di Dunia Nyata, Pertemanan pun Ada Kadaluarsanya

Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), guru-guru dan buku pelajaran mengajarkan hal yang seragam: Jangan pilih-pilih teman. Ketika tumbuh dewasa, ajaran ini rupanya punya syarat dan tanggal kadaluarsa. Ya, berteman memang tidak boleh memandang hal-hal remeh, seperti jenis kelamin, warna kulit, ras, agama, dan lain-lain. Namun, saya belajar, selektif pilih teman mutlak. Bukan tindakan sombong tapi tindakan pencegahan. Salah satu teman saya hampir masuk penjara hanya karena salah pilih teman.

Tadinya saya malas menulis ini karena terlalu personal. Urusan saya dan teman-teman adalah urusan pribadi di mana orang lain tidak perlu tahu. Namun, kian lama saya semakin resah dengan kelakukan beberapa “teman” yang ternyata tidak sebaik yang saya kira.

 

 

Cerita pertama adalah tentang mantan teman baik saya yang saking dekatnya, sudah saya anggap saudara sendiri. Sebagai perantau yang tinggal sendiri di Jakarta, saya selalu menganggap teman-teman sebagai keluarga. Saya mungkin tidak akan nongkrong dengan teman-teman 24 jam atau komunikasi kelewat intens. Namun, menanyakan kabar atau mengirimi mereka bingkisan ajek saya lakukan.

Nah, saya dan teman dekat ini dulu selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Sebelum ada Rico, saya bisa berlama-lama menginap di rumahnya. Hubungan kami tidak hanya terbatas sebagai teman karena saya juga sering mengajak dia terlibat syuting.

Baca juga: Teruntuk Sahabat-sahabat Lelakiku: Ayolah, Aku Juga Perempuan!

Kejadian nahas dimulai di akhir 2018 saat saya bersiap untuk syuting. Kebetulan teman saya ini juga harusnya ikut syuting. Saat itu dia tengah pergi liburan dan sampai H-7, dia masih belum ada kabar apa-apa. Saya juga tidak menanyakan kabar karena saya berasumsi dia paham tanggal syuting dan aktif di grup syuting tersebut. Ternyata, sampai H-1, masih tak ada kabar darinya. Panik, saya pun akhirnya menghubungi produser. Betapa terkejutnya saya ketika tahu bahwa ia tidak hanya bohong kepada saya dan produser saja. Tak hanya sekali tapi berulang-ulang.

Saya sendiri bukan orang yang suka marah. Bahkan saya cenderung senang bercanda. Kalau sudah mentok, biasanya saya cuma diam. Kali ini kemarahan saya sudah di ubun-ubun, hingga saya merasakan semua badan saya gemetar. Saya belum pernah patah hati tapi saya yakin tidak ada yang lebih menyedihkan daripada kehilangan seorang teman. Terutama teman yang sudah saya anggap sebagai saudara.

Saya memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan teman tersebut. Ini pertama kalinya saya benar-benar unfriend seseorang di dunia nyata. Kalau dipikir-pikir kesalahan yang dia lakukan memang tidak sefatal itu tapi saya sukar lupa. Tidak hanya dikecewakan tapi saya juga merasa tidak dihormati sebagai teman dekat sekaligus rekan kerja.

Kejadian di mana saya kecewa gara-gara kelakuan teman nyatanya tak berhenti di sini. Suatu hari, saya mengirimkan sesuatu ke teman. Pikir saya, basic manner adalah memberi tahu kepada si pengirim bahwa barangnya sudah sampai. Syukur-syukur diberi ucapan “terima kasih”, kendati saya enggak berharap-harap amat. Yang saya butuhkan biasanya adalah informasi apakah barangnya sudah datang supaya saya tidak overthinking. Masalahnya, lebih dari satu kali saya menemukan ada beberapa teman yang malas memberi kabar kiriman saya sudah sampai pada mereka.

Contoh lainnya, saya pernah kecewa karena ada teman yang tak memberi kabar tak menghadiri undangan saya. Apalagi sampai repot basa-basi minta maaf karena tak nongol di acara yang saya undang. Sampai di titik ini, saya merasa diremehkan.

Baca juga: Pemujaan Senyap pada Sahabat

Masih ada beberapa lagi contoh kasus seperti ini yang akhirnya membuat saya berpikir, “Apakah kalau memang sudah menjadi dekat, basic manner seperti mengabari dan minta maaf sudah hilang?” Tadinya saya pikir, saya yag terlampau ribet sebagai teman. Ada suara di kepala saya yang bilang, “Ah, lu, Can terlalu posesif.” Namun, setelah saya diskusikan ke teman yang lain, ini cuma soal basic manner. Ini hal yang harusnya enggak perlu dijelasin lagi.

Berkat kejadian-kejadian ini dan fakta bahwa mencari teman ketika usia sudah dewasa relatif susah, saya jadi menaruh lebih banyak effort ke teman-teman saya. Gara-gara pandemi dan susahnya nongkrong bareng, saya jadi lebih sering tanya kabar ke teman. Kalau pun ada waktu untuk nongkrong bersama, saya selalu memastikan acara nongkrong kami berkualitas dan menyenangkan.

Saya juga jadi lebih mudah untuk mengiyakan ajakan apapun karena saya mau hubungan kami baik-baik saja.

Lo mau nikah? I’ll be there for you. Lo bikin Podcast? Gue akan dengerin. Lo butuh gue like Instagram ponakan lo yang disuruh gurunya untuk keperluan lomba? Gue like.

Kesannya memang ribet, tapi sebenarnya enggak. Kalau relasi romantis saja butuh effort supaya tetap langgeng, saya rasa melakukan hal yang sama kepada pertemanan sangat diperlukan. Jangan take everything for granted. Kita tidak pernah sadar, bahkan pertemanan pun ada tanggal kadaluarsanya.

Kita saja yang tidak tahu kapan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *