December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

‘4 Sehat 5 Sempurna’: Ironi, Memori, dan yang Politis di Atas Piring

Kompilasi film-film pendek ini mengingatkan kita betapa politisnya makanan yang kita konsumsi dan tidak konsumsi tiap hari.

  • September 23, 2025
  • 6 min read
  • 1335 Views
‘4 Sehat 5 Sempurna’: Ironi, Memori, dan yang Politis di Atas Piring

Sejak adegan pembuka Terakhir Makan Bubur, penonton sudah diajak masuk ke dapur. Candra (Afi) melangkah masuk ke rumah ibunya yang gelap, berdebu, seakan lama ditinggalkan kehidupan. Lewat percakapan singkat dengan kakaknya yang hanya terdengar lewat voice over, kita tahu alasan kedatangannya: sang ibu, yang larut dalam depresi pasca-perceraian, berhenti berfungsi. Candra pun mencoba jalan sederhana untuk membangunkan ibunya kembali: memasak bubur manado, resep andalan keluarga yang dulu hangat, kini terasa getir.

Adegan itu mengikat emosi dan makanan dalam satu tarikan napas. Usaha Candra—seorang anak laki-laki yang bahkan tak biasa memasak—untuk meracik bubur jadi bentuk kerja perawatan. Perawatan di sini bukan sekadar urusan dapur, melainkan upaya mengembalikan hidup ibunya yang telah runtuh seperti struktur keluarga mereka.

Film ini adalah urutan keempat dala kompilasi “4 Sehat 5 Sempurna” di Festival Film 100% Manusia 2025. Program yang diputar di Jakarta dan Yogyakarta ini mengambil makanan sebagai benang merah. 

Dari judulnya, program ini mengundang nostalgia jargon kesehatan nasional dari era Orde Baru. Namun setelah menonton enam film pendek ini, makna judul kompilasi ini bergeser: sesuatu yang mestinya bernutrisi dan menyehatkan tubuh, ternyata juga bisa jadi medium luka, rindu, dan ingatan tentang keluarga—sesuatu yang dipropagandakan sebagai keutuhan bangsa di rezim itu—kini retak.

Baca juga: Katanya Produksi Beras Surplus tetapi Langka dan Mahal, Apa Artinya?

Film Makanan Sebagai Perlawanan Politis

Film-film ini mengungkap bagaimana makanan hadir di hidup kita bukan semata-mata sebagai kebutuhan biologis saja, melainkan juga simbol politik rumah tangga, arena perselisihan generasi, serta perantara kasih sayang yang karena satu dan lain hal kerap tak bisa terucapkan.

Dalam Mau Tahu?, misalnya, Levi, bocah SD yang bosan dengan tahu buatan ibunya hanya bisa menggerutu setiap kali ia makan. Frustrasinya hanya ditumpahkan pada ayam peliharaan dan foto almarhum ayah. Ketika sang ibu tak sengaja mendengar keluhan Levi, dengan segala keterbatasan diam-diam berusaha menyiapkan sesuatu yang baru. Tahu, yang merupakan salah satu sumber protein paling luas dikonsumsi di Indonesia, digunakan sebagai simbol keterbatasan, penanda kelas, sekaligus kasih sayang yang keras kepala.

Mau Tahu? adalah karya Muthi R. Diani, sineas generasi muda Yogyakarta di bawah naungan Jogja Film Academy. Yang menarik, dalam banyak hal, Mau Tahu? mengikuti tradisi film pendek khas sineas-sineas angkatan sebelumnya dari kota tersebut, seperti Yoseph Anggi Noen atau BW Purbanegara. Struktur ceritanya sederhana, tapi mengakar pada kehidupan sehari-hari masyarakat urban-kultural Yogyakarta hari ini, dengan dialog natural dan ruang domestik yang akrab bagi penonton lokal. 

Mau Tahu? adalah satu-satunya film dalam program ini yang bergenre komedi—menjadikannya semacam jeda ringan di antara dominasi narasi yang secara nuansa muram.

Ciak, Ciak, Ciak arahan Kathleen Tio, menyoroti dinamika antara Feli dan ayahnya di meja makan keluarga Tionghoa-Indonesia. Tersusun sepenuhnya oleh bird angle shot, film ini dimulai dengan penuh cinta. Namun, ritual makan bersama kemudian berubah jadi ruang benturan perspektif ketika Feli beranjak dewasa. Film ini menegaskan bagaimana meja makan tak cuma bisa jadi ruang kebersamaan. Malah lebih seringnya, perselisihan dan gesekan antar keluarga terjadi di sana.

Kompilasi ini, lebih jauh, membantu mengedepankan bahwa makanan itu politis.

Antropologi makanan sudah lama mengingatkan kita bahwa dapur dan meja makan tidak pernah bersifat netral. Sidney Mintz dalam Sweetness and Power (1985), misalnya, menunjukkan bagaimana gula sarat dengan sejarah kolonial dan kelas. Dalam ranah domestik, keputusan untuk memasak bubur, menggoreng tahu, atau membuat sup juga bisa memuat politik kecil: siapa yang menentukan menu, siapa yang memasak, dan siapa yang terpaksa memakannya. 

Dalam bukunya From Betty Crocker to Feminist Food Studies: Critical Perspectives on Women and Food (2005), Arlene Voski Avakian menyebut dapur sebagai ruang yang sarat gender. Di banyak kultur, termasuk Indonesia, memasak hampir selalu dilekatkan sebagai tugas “alami” perempuan. Karena itu, Terakhir Makan Bubur karya Rifki Ardisha terasa segar: ia memperlihatkan seorang anak laki-laki yang turun tangan merawat ibunya lewat memasak. Adegan itu bukan hanya menyentuh secara emosional, tapi juga menggoyahkan anggapan lama bahwa dapur adalah wilayah eksklusif perempuan—membuka ruang tafsir bahwa memasak bisa menjadi kerja perawatan timbal balik.

Baca juga: ‘Stunting’ dan Hilangnya Ruang Hidup: Kisah Suku Anak Dalam di Pelakar Jaya

Ada yang Pahit dan Menyembuhkan dalam Film-film Makanan

Makanan sebagai medium perawatan juga hadir dalam Stirring the Broth karya Rayhan Dharmawan. Dipotret menyerupai video tutorial masak di YouTube, film ini mengisahkan Risa yang memasak sambil menelepon ibunya untuk meminta nasihat. Kamera mengikuti proses memasak yang runut, sementara percakapan yang terdengar melalui voice over menyingkap luka-luka subjeknya. 

Proses memotong cabai dan mengaduk kuah yang dibingkai secara detail, menjadi metafora perasaan yang teriris dan emosi yang mendidih. Demikian pula dalam Terakhir Makan Bubur, adegan memasak diikuti dari awal hingga akhir, membuat penonton seperti ikut mencium aroma dan merasakan tekstur makanan.

Kedua film ini menghadirkan apa yang oleh Laura U. Marks disebut sebagai haptic visuality dalam The Skin of the Film (2000), yakni sebuah pengalaman visual yang seolah bisa disentuh dan dirasakan secara sensorik. 

Film tidak hanya dilihat, tapi seolah bisa diraba dan dihirup aromanya oleh tubuh penonton—melalui suara tumisan, uap panas yang mengebul, dan tekstur bahan makanan yang dipotret secara dekat oleh kamera. Sensorik inilah yang membantu penonton mengidentifikasikan diri dan merasa dekat dengan tokoh-tokoh di layar yang tengah bergulat dengan luka dan rindu mereka.

Kongkow, film penutup kompilasi ini, mengambil formula yang lebih konvensional dan hampir terasa seperti film panjang yang dipadatkan. Johan (Frans Nickolas) kembali ke rumah orang tuanya dengan beban kehilangan pasca perceraian dengan istrinya. Dengan luka kehilangan yang masih segar, alih-alih mendapatkan rasa aman di rumah orang tuanya, kembali tinggal dengan sang ayah justru memunculkan memori pahit dan perasaan-perasaan negatif yang selama ini terkubur. Meja makan, sekali lagi, menjadi ruang di mana ikatan keluarga diuji: apakah ia perekat, atau justru memperlebar retakan.

Kendati menurut sosiolog Marjorie DeVault dalam Feeding the Family (1991) bahwa makan bersama adalah praktik boundary-making; yang menentukan siapa yang dianggap “keluarga” dan siapa yang berada di luar lingkaran itu, keenam film dalam ‘4 Sehat 5 Sempurna’ tidak serta-merta menghadirkan makanan sebagai solusi final.

Baca juga: ‘Comfort Food’ Gen Z: Kenapa Kita Menemukan Harapan dalam Semangkuk Mi Ayam?

Tidak ada formula “4 sehat, 5 sempurna” yang benar-benar paripurna. Justru sebaliknya, makanan tak jarang menghadirkan kerentanan. Ia menyimpan memori pahit, meski juga membuka kemungkinan penyembuhan. Di balik repetisi tahu yang membosankan, ada cinta seorang ibu. Di balik bubur yang sederhana, ada perlawanan terhadap sakit dan kehilangan.

Kompilasi ini membuktikan bahwa film makanan yang baik—sebuah genre yang, anehnya, tidak tumbuh subur di Indonesia sebagai negara dengan kultur makanan yang kuat—tak hanya akan membuat penontonnya lapar, tetapi juga efektif mengaktivasi memori dan rasa yang paling dalam. Penonton mungkin tidak benar-benar bisa mencium aroma dari layar, tetapi cukup dekat untuk mengingat dapur rumah sendiri, meja makan yang penuh riuh, atau sup yang pernah menyelamatkan dari dingin.

Dengan program ini, Festival Film 100% Manusia 2025 memperlihatkan bahwa makanan bukan sekadar tema estetis, melainkan lensa kritis untuk memahami identitas, gender, dan politik keluarga di Indonesia hari ini.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.