Culture Screen Raves

6 Isu yang Mungkin Luput dari Kontroversi ‘Dear David’

Film ini dianggap jelek, padahal ada enam isu penting termasuk stempel bad girl vs good girl dan perempuan dan fantasi seksual.

Avatar
  • February 17, 2023
  • 7 min read
  • 380 Views
6 Isu yang Mungkin Luput dari Kontroversi ‘Dear David’

Sejak kehadirannya di salah satu aplikasi video streaming, film Dear David langsung menuai pro-kontra. Bahkan ketika sutradara Joko Anwar menyampaikan pendapatnya tentang film ini di akun Twitter-nya, ia diserang oleh penonton yang memberi rating film ini di bawah lima. Joko Anwar dianggap sebagai “bala bantuan” untuk para sineas yang terlibat dalam film ini setelah mendapat rating jelek. Apakah filmnya memang seburuk itu? Saya bukan ahli sinematografi jadi merasa tidak mampu menilai film ini dari kualitas gambar atau akting pemainnya. Juga karena yang menjadi pro-kontra adalah plot cerita dan karakternya, maka saya ingin membahas setidaknya lima hal yang (mungkin) luput dari perhatian penonton yang memberi rating kecil.

Film ini dianggap jelek, padahal ada enam isu penting yang diangkat mulai dari bad girl vs good girl, perempuan dan fantasi seksual, hubungan ibu dan anak perempuannya, salah paham tentang pelecehan seksual, kritik terhadap institusi pendidikan, dan isu kesehatan mental. Sepertinya saya tidak perlu lagi memberi spoiler alert karena sudah banyak yang menonton film ini.

 

 

Bad Girl vs Good Girl

Film yang disutradari oleh Lucky Kuswandi ini mengisahkan tentang tokoh utama remaja bernama Laras (Shenina Cinnamon) yang memiliki fantasi seksual terhadap seorang lelaki di sekolahnya, David (Emir Mahira). Laras sering menuliskan fantasi seksualnya ini di website menulis (zaman sekarang banyak website atau aplikasi untuk menulis seperti ini), tapi Laras tidak pernah mempublikasikannya.

Suatu hari, Laras tak tahan untuk menuangkan fantasinya di komputer sekolah dan sialnya ada teman sekolahnya yang menemukan draft tulisan Laras dan mempublikasikannya. Tulisan Laras pun viral dan tersebar luas. Namun, karena image Laras adalah gadis dari keluarga sederhana penerima beasiswa yang berprestasi, ia tidak dicurigai. Dilla (diperankan Caitlin North Lewis), murid yang senang berpose seksi di akun media sosial yang justru jadi tersangka utama di sekolah dan dicibir oleh teman-temannya.

Baca juga: Review ‘Autobiography’: Militerisme di Era Kini dan Potret Homoerotik yang Homofobik

Perempuan dan Fantasi Seksual

Stempel bad girl dan good girl mengkotak-kotakkan bahwa hanya “perempuan tidak baik-baik” yang punya fantasi seksual seperti penulis cerita Dear David. Padahal, fantasi seksual adalah hal yang wajar dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Kenapa ketika perempuan punya fantasi seksual maka ia disebut bad girl sedangkan laki-laki jika punya fantasi seksual disebut “wajar namanya juga laki-laki”? Tidak heran di film ini, tuduhan langsung tertuju kepada Dilla yang sudah punya stempel bad girl karena penampilannya.

Salah Paham Tentang Pelecehan Seksual

Penonton yang memberi rating jelek, banyak yang menganggap film ini mengglorifikasi perempuan pelaku pelecehan seksual. Padahal, Laras tidak melecehkan David. Ia hanya menuangkan fantasi seksualnya ke dalam tulisan dan disimpan di draft, tidak pernah dipublikasikan. Ia tidak pernah melecehkan David di depan publik. David bukan dilecehkan oleh Laras melainkan oleh teman-temannya yang membaca cerita ini setelah viral dan mengejek David secara seksual, di sekolah.

Mengkritik Institusi Pendidikan

Kesalahan pertama pihak sekolah ketika cerita Dear David viral adalah tidak memberi perlindungan kesehatan mental kepada David dan malah fokus mencari siapa penulis cerita tersebut dengan alasan bikin malu sekolah, juga membawa-bawa moral dan agama. Pihak sekolah terlalu fokus memulihkan nama baik sekolah ketimbang memulihkan kesehatan mental David yang mungkin terganggu akibat kasus ini. Tiba-tiba sekolah mengadakan pertemuan untuk edukasi seks bagi para murid tapi tetap tidak menunjukkan pihak sekolah peduli kepada kondisi psikologis David. Bahkan ketika pihak sekolah akhirnya mengetahui bahwa penulis cerita itu adalah Laras namun bukan Laras yang menyebarkan, pihak sekolah masih saja memberi hukuman kepada Laras dan tidak memberi hukuman kepada Gilang (si penyebar konten).

Aksi Laras yang membela dirinya di akhir film (dan lagi-lagi mendapat kritik warganet karena “kok pelaku pelecahan tiba-tiba jadi hero”) menurut saya justru sangat masuk akal. Kadang harus ada murid yang bisa seberani Laras untuk mengkritik institusi pendidikan yang kolot.

Hubungan Ibu dan Anak Perempuan yang Sehat

Seringkali kita melihat hubungan yang tidak sehat antara ibu dan anak perempuannya, apalagi jika anak perempuan selalu dituntut untuk menjadi good girl. Salah satu yang saya sukai dari film ini adalah hubungan yang baik antara Laras dengan ibunya. Saat akhirnya sang Ibu mengetahui perbuatan Laras dan Laras terancam kehilangan beasiswa bahkan kehilangan kesempatan masuk perguruan tinggi impiannya, sang ibu malah memberinya dukungan untuk mencari kampus lain.

“Kamu jadi anak ibu saja sudah cukup”. Dialog yang sangat jarang kita dengar dari seorang ibu yang mendapati anak perempuannya melakukan hal yang tidak senonoh, apalagi Laras merupakan “good girl” kebanggaan ibu sebelumnya.

Baca juga: Bill ‘The Last of Us’: ‘Trope Survivalist’ yang Hidup untuk Kemungkinan Terburuk

Masalah Kesehatan Mental

Film inimemang terlihat lemah dalam mengeksplorasi isu kesehatan mental. Ketika David mengetahui bahwa pelakunya adalah Laras, ia malah bersekutu dengan Laras untuk mendekati Dilla (sebagai imbalan tutup mulut). David memang sudah lama menyukai Dilla. Plot ini memang tampak aneh. Ditambah ada adegan David tiba-tiba terkena serangan panik di hutan dan ia bercerita hal ini diturunkan dari ibunya yang dulu sering mood swing.

David justru tenang setelah Laras menggenggam tangannya dan menceritakan fantasinya (memang tidak seperti fantasi di cerita Dear David yang viral, tapi tetap saja aneh). Ketika David menemui psikiater di akhir film, penonton menyimpulkan bahwa hal itu bukan untuk memulihkan traumanya karena menjadi korban pelecehan seksual, tapi karena gangguan jiwa yang mungkin diturunkan dari ibunya.

Saya coba lagi memutar cerita ini. Apa jangan-jangan saya salah tebak. Mungkin saja David bisa bersekutu dengan Laras karena merasa Laras bukan pelaku pelecehan seksual terhadap dirinya (pada akhirnya David memukul Gilang yang menyebarkan cerita itu).

Serangan panik yang dialami David di hutan bisa jadi akumulasi dari perasaan yang ia pendam selama diledek teman-temannya di sekolah dan muncul ke permukaan saat ia sendirian. Lalu David akhirnya mencintai Laras karena ternyata Laras tidak hanya menjadikannya fantasi seksual, tapi juga bisa menenangkannya saat mengalami serangan panik. Laras yang paling paham penderitaan David. Pernyataan Laras bahwa ia hanya remaja yang sedang jatuh cinta di akhir film, yang dikritik habis-habisan oleh warganet sebagai “pelaku pelecehan kok tiba-tiba jadi hero”, justru malah jadi masuk akal menurut saya, jika menggunakan perspektif ini. Laras hanya remaja perempuan yang sedang jatuh cinta.

Sebagai film remaja, Dear David“dibantai” oleh warganet karena “tidak memberikan pesan moral”. Ada juga beberapa warganet yang melarang menonton film ini karena dianggap “merusak moral generasi muda” (karena ada fantasi seksual dan cerita lesbian juga). Padahal dari apa yang sudah saya sampaikan, film ini justru menampilkan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Sesuatu yang sangat normal dan manusiawi. Satu-satunya kritik saya soal plot hole cerita ini hanya tentang isu kesehatan mental David yang luput dari perhatian penulis skenario. Perkembangan kondisi psikologis David dari kecil hingga remaja, kemudian saat mengalami pelecehan seksual, sampai akhirnya mendapat serangan panik, kurang dieksplorasi, padahal David adalah karakter utama yang menjadi korban pula. Mungkin lebih cocok dikembangkan menjadi series ketimbang dipaksakan menjadi film berdurasi kurang dari dua jam. Sebab adegan David menemui psikiater seperti berdiri sendiri, tidak berkaitan dengan kasus pelecehan seksual yang dialaminya, tapi malah diambil jauh ke belakang soal kondisi ibunya di masa lalu.

Menilai film jelek dan memberi rating kecil padahal hanya nonton beberapa menit awal, menurut saya tidak adil bagi siapapun yang terlibat dalam film ini.

Apalagi menuduh orang yang mendukung film ini disuruh atau diminta oleh pembuat film untuk membuat ulasan bagus. Saya pun hanya menuliskan apa yang saya pikirkan setelah menonton film ini. Saya bukan siapa-siapa dan tidak kenal dengan pembuat film. Maka saya ingin mengutip kata-kata Joko Anwar untuk menutup tulisan: Suka sama suatu film, nggak suka sama suatu film, hak tiap orang. Nuduh orang muji film (atau mengkritik film) karena disuruh, diminta, itu bukan cuma kerdil, tapi menghina pengalaman menonton orang yang spiritual. That’s gross.


Avatar
About Author

Tenni Purwanti

Tenni Purwanti berprofesi sebagai jurnalis sejak 2011 hingga sekarang. Di luar aktivitas jurnalistiknya, Tenni menulis sejumlah prosa yang dimuat di media massa dan buku antologi. Bisa disapa di akun media sosial @rosezephirine.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *