6 Pelajaran dari Serial Netflix ‘Workin’ Moms’
‘Workin’ Moms’ mengingatkan kita tentang perjuangan para ibu yang berusaha memenuhi ‘work-family balance’.
Menceritakan tentang empat ibu bekerja yang tergabung di sebuah komunitas, serial Netflix Workin’ Moms merepresentasikan perjuangan mereka yang berusaha beradaptasi dengan peran sebagai ibu sekaligus perempuan berkarier. Tak hanya itu, mereka pun berusaha mempertahankan kualitas hubungan dengan pasangan dan anak-anaknya.
Serial berlatar Toronto, Kanada yang menceritakan kehidupan Kate Foster (Catherine Reitman), Anne Carlson (Dani Kind), Jenny Matthews (Jessalyn Wanlim), dan Frankie Coyne (Juno Rinaldi) ini lebih dari sekadar situational comedy. Pasalnya, dalam Workin’ Moms juga ada edukasi untuk orang tua dan para dewasa muda agar lebih memahami dinamika hubungan dalam keluarga mereka.
Serial ini sudah memasuki musim kelima dan di setiap musimnya, ada saja hal baru yang relatable bagi para ibu bekerja dan menarik untuk kita pelajari. Berikut lima hal yang bisa kita petik dari serial Workin’ Moms.
Baca Juga: Ketakutan Berhenti Bekerja dan Jadi Ibu Rumah Tangga
1. Kembali ke Dunia Kerja Tidak Mudah setelah Punya Anak
Kesusahan untuk kembali bekerja setelah punya anak dimulai dari sikap tega enggak tega si ibu untuk meninggalkan anak dan merelakan berbagai momen pertama mereka yang akan dilewatkan. Tak hanya itu, ada berbagai kesulitan lainnya yang harus dihadapi.
Kate harus mengejar ketertinggalannya dengan situasi kantor. Jenny berharap memiliki ikatan dengan sang anak sebagaimana yang dimiliki suaminya yang lebih banyak di rumah. Kemudian Frankie yang kehilangan koneksi dengan pasangannya karena berkutat dengan pekerjaannya. Sementara, Anne menghadapi dilema saat hamil anak ketiga.
Belum lagi, mereka harus memompa ASI di kantor yang tidak menyediakan ruang laktasi. Situasi ini mengajarkan kita untuk lebih memahami kondisi para perempuan pekerja yang sedang beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu dan memberikan fasilitas kantor yang mendukung.
2. Orang Tua-Anak Punya Cara Pendekatan Masing-masing
Sebagai ibu, Anne merasa tidak memiliki koneksi yang kuat dengan anak perempuannya. Hal ini ia sadari saat melihat pengasuhnya—yang dijuluki “Mean Nanny”—membuat sang anak mematuhi perintahnya dan mereka senang menghabiskan waktu bersama.
Terlepas dari usahanya untuk menghancurkan tembok kecanggungan yang tidak selalu berhasil, secara perlahan Anne melakukan pendekatan pada anaknya dimulai dengan menonton serial favorit bersama dan mengajaknya membuat origami.
Di musim kedua dan seterusnya diceritakan juga konflik-konflik antara ibu-anak perempuan Anne dan Alice (Sadie Munroe). Dalam perjalanan penyelesaian konflik tersebut kita bisa mempelajari bagaimana seharusnya orang tua bersikap kepada anak, termasuk kadang mengambil posisi teman alih-alih selalu menjadi pihak yang superior dan otoritatif.
Di beberapa episode digambarkan pula bagaimana Anne mengajari Alice mempertahankan diri sebagai anak perempuan, bahkan juga berani pasang badan saat anaknya dirundung dan dipermalukan oleh kawan-kawan sekolahnya.
Baca Juga: 5 Alasan Film ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ Layak Ditonton
Ada banyak cara di mesin pencari yang memberikan tips mengasuh dan membangun koneksi dengan anak, tapi pengalaman Anne ini mengingatkan kita bahwa setiap orang tua memiliki caranya masing-masing. Bukan perkara benar atau salah, melainkan yang paling sesuai dan nyaman untuk diterapkan.
Sementara sebagai anak, kita pun diingatkan bahwa orang tua tidak melulu tahu cara “terbaik” untuk berkomunikasi dan memiliki koneksi dengan anaknya. Maka itu, kita bisa mengomunikasikan perlakuan seperti apa yang diharapkan dari mereka.
3. Terbuka pada Pasangan
Melalui rumah tangga Kate dan Nathan Foster, serial ini menampilkan pentingnya keterbukaan pada pasangan. Kate merasa cukup memiliki satu anak agar ia dan Nathan tetap bisa fokus ke kariernya, tak sejalan dengan sang suami yang menginginkan anak lagi.
Masalah komunikasi juga tampak saat Kate terpilih sebagai kandidat yang dipromosikan untuk bekerja di Montreal tanpa sepengetahuan Nathan, dan suami Kate ini pun merasa dibohongi saat ia berusaha menjelaskannya.
Diskusi yang jelas untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan satu sama lain perlu dilakukan untuk menghindari hal seperti yang dialami pasangan suami istri Foster, sekalipun kebohongan itu bertujuan baik. Lagi pula, ini dapat menjadi langkah yang tepat untuk mengambil jalan tengah bagi kedua pihak.
4. Pentingnya Memprioritaskan Diri
Serial Workin’ Moms juga mengajarkan kita bahwa mengutamakan diri sendiri tidak kalah penting, terlepas dari berbagai tanggung jawab yang harus dilakukan. Saking seringnya memprioritaskan orang lain, karakter Alicia Rutherford (Katherine Barrell), teman dalam support group yang diikuti Kate dkk., merasa tak bisa meluangkan waktu untuk dirinya. Di sini, para ibu dari support group tersebut mengingatkannya bahwa tak ada yang salah untuk mementingkan diri sendiri pada saat tertentu.
Pesan dari para ibu tersebut relevan sekali dengan keadaan para ibu bekerja di mana pun berada. Beban ganda yang harus mereka emban–mengurus rumah, anak sekaligus berkarier–sering kali membuat ibu bekerja keletihan fisik dan mental. Namun sayangnya, hal ini masih kerap luput dari perhatian pasangan maupun masyarakat secara luas dengan anggapan perempuan jago multitasking sehingga pasti bisa “dengan sempurna” menyelesaikan semua tanggung jawab yang ada. Alhasil, banyak ibu bekerja yang kewalahan, tanpa pertolongan, dan masih diwajarkan atau dikecilkan oleh masyarakat dengan kata-kata seperti, “Ah baru segini aja pengorbanannya”.
Baca Juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos
5. Suami Turun Tangan di Urusan Domestik Itu Tak Tabu
Banyak ibu yang kelelahan karena semua urusan rumah tangga ada di pundaknya. Tapi, Workin’ Moms memberi pesan bahwa tidak melulu hal itu mesti terjadi. Di sana digambarkan bagaimana para suami istri bekerja sama untuk melakukan pekerjaan domestik dan mendukung satu sama lain juga dalam hal berkarier.
Misalnya, Nathan yang bersedia mencuci piring dan membersihkan rumah saat keluarganya belum punya pengasuh anak. Ada juga suami Jenny, yang memilih berperan sebagai stay-at-home dad seraya meneruskan passion-nya sebagai penulis, yang melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dengan senang hati, terlebih karena ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama sang anak.
Workin’ Moms di sini memberi pesan bagus soal meruntuhkan pandangan klasik bahwa laki-lakilah yang seharusnya lebih dominan urusan pekerjaan publik. Tidak peduli apa pun gendernya, antara mengurus rumah serta anak dan pekerjaan mesti dibagi rata bebannya dalam relasi pernikahan. Laki-laki mengurus rumah tidak kurang maskulin, kok. Ini hal yang semestinya dilakukan dan tidak perlu dikecilkan atau dibesar-besarkan. Biasa saja.
6. Memvalidasi Perasaan Satu Sama Lain
Satu hal lagi yang dapat dipelajari dari serial ini, yakni siapa pun berhak untuk mendapat validasi atas perasaannya dan mengekspresikan emosi yang dirasakan.
Hal ini ditunjukkan melalui sebuah adegan saat Kate mendapati rekan kerja laki-lakinya sedang menangis di ruangannya. Alih-alih menghakimi karena anggapan “laki-laki tidak boleh cengeng”, atau membiarkan rekannya seorang diri, Kate justru menghampiri dan memberikan rekannya ruang untuk menceritakan apa yang terjadi.
Pelajaran bagus ini tentu saja tidak hanya berlaku di ruang publik tempat para ibu bekerja. Di rumah pun demikian. Entah diri mereka atau suami pasti pernah merasakan emosi negatif: Marah, sedih, lelah, atau frustrasi. Apa pun penyebabnya, antarpasangan idealnya memvalidasi perasaan-perasaan buruk yang muncul di diri satu sama lain dan berempati. Memberi waktu sejenak dan telinga yang siap mendengarkan keluhan tanpa penghakiman adalah suatu kebaikan yang patut ditiru dari tindakan Kate macam ini.