#MerdekaInThisEconomy: 80 Tahun Merdeka, Ancaman Otoritarianisme Makin Nyata
Menjelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan yang menyoroti capaian pemerintahannya selama 299 hari kerja, dari surplus beras hingga program makan bergizi gratis (MBG). Namun, narasi keberhasilan itu kontras dengan realitas yang dirasakan sebagian besar rakyat. Kenaikan harga, lapangan kerja yang tak pasti, serta menyempitnya ruang sipil menjadi pengingat bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya berpihak pada mereka yang paling rentan.
Peringatan delapan dekade kemerdekaan yang juga menandai hampir satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo justru diselimuti kegelisahan: akankah kita menyaksikan kemunduran demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan nyawa? Di tengah glorifikasi kekuasaan dan pengaburan sejarah, kedaulatan rakyat mulai tergantikan oleh dominasi elite, sementara ruang bagi kritik dan perbedaan kian menyempit.
Baca juga: ‘All Eyes on Pati’: Rakyat Lawan Arogansi Penguasa
Salah satu sinyal kemunduran itu muncul dalam bentuk aggressive nationalism—sebuah nasionalisme yang tidak mempersatukan, melainkan mencurigai, menakut-nakuti, dan menuntut loyalitas tanpa syarat pada negara. Presiden Prabowo dan para pendukungnya, baik secara terbuka maupun tersirat, kerap menunjukkan sikap waspada terhadap pengaruh luar, terutama terhadap LSM atau lembaga yang didanai asing, yang acap kali dicap sebagai antek atau agen asing.
Tanda lain dari nasionalisme agresif adalah upaya mengendalikan narasi sejarah untuk melanggengkan legitimasi penguasa. Proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan misalnya, hanya memasukkan dua dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Jika dibiarkan, ini dapat menimbulkan amnesia sejarah, di mana masyarakat hanya mengenang versi yang diizinkan negara, dan melupakan suara korban.
Atmosfer kecurigaan terhadap warga yang kritis juga menguat. Pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk satir dan kekecewaan terhadap pemerintah menjelang HUT RI ke-80 justru dituding sebagai tindakan makar. Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyebut pengibaran tersebut melanggar hukum dan bisa dilarang negara.
Semua ini memunculkan pertanyaan: apakah Indonesia tengah bergerak menuju otokrasi?
Baca juga: Masyarakat Adat di Era Prabowo: Janji Global, Luka di Tanah Sendiri
Konsolidasi kekuasaan dan menyempitnya ruang sipil
Ciri umum otokrasi adalah kekuasaan yang terpusat di pemerintah, hukum yang tidak boleh dikritik, represi terhadap oposisi, dan manipulasi sistem pemilu. Saat ini, kebijakan besar seperti MBG hingga perizinan tambang di Papua dikelola langsung oleh pusat. Revisi UU TNI yang diam-diam diloloskan memperkuat kembali bayang-bayang dwifungsi militer.
Di sisi lain, oposisi politik praktis lumpuh. Hampir semua partai besar mendukung pemerintah, menyisakan ruang yang sempit bagi pengawasan kekuasaan. Di forum internasional, Prabowo masih membawa citra Indonesia sebagai negara demokratis, tetapi di dalam negeri, kritik dibungkam dan aktivis dibungkam.
Kasus intimidasi makin marak. Jurnalis Tempo dikirimi kepala babi. Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia mendapat ancaman pembunuhan karena menyanggah komentar Fadli Zon soal pemerkosaan 1998. Amnesty International mencatat 123 kasus serangan terhadap 288 pembela HAM sepanjang 2024, yang mencakup kriminalisasi, intimidasi, bahkan percobaan pembunuhan.
Jurnalis adalah kelompok yang paling banyak diserang: tercatat 62 insiden dengan 112 korban hanya dalam satu tahun. Aktivis KontraS dilaporkan ke polisi hanya karena aksi damai menolak revisi UU TNI. Bahkan grup band punk Sukatani dipaksa meminta maaf karena lirik lagu yang mengkritik aparat. Semua ini memperkuat sinyal bahwa Indonesia telah memasuki fase negara polisi—di mana aparat digunakan untuk menekan kebebasan sipil.
Baca juga: Pelarangan Bendera One Piece: Negara Paranoid, Demokrasi Sempit
Otoritarianisme berbalut fasisme?
Satu tahun pemerintahan Prabowo memperlihatkan gejala otoritarianisme yang makin jelas. Oposisi dilemahkan, hukum dipersempit, dan rakyat dikekang, meskipun pemilu tetap dijalankan. Ketika ditambah unsur kultus individu, manipulasi sejarah, dan nasionalisme agresif, kecenderungan ini makin mendekati fasisme. Karena itu, istilah authoritarianism with fascistic characteristics terasa pas untuk menggambarkan situasi Indonesia hari ini.
Penulisan ulang sejarah yang menghapus pelanggaran HAM berat dan wacana menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional menandai upaya glorifikasi figur penguasa. Beberapa menteri bahkan menyangkal peristiwa kelam masa lalu yang sudah diselidiki resmi. Retorika nasionalisme digunakan untuk membungkam organisasi yang berbeda pandangan atau menerima bantuan asing.
Dalam bidang ekonomi, jurang ketimpangan makin lebar. Menurut riset Celios, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan harta 50 juta rakyat miskin. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memberatkan warga, dan saat rakyat menuntut keringanan, mereka malah dituduh sebagai pendemo bayaran.
Sementara pemutusan hubungan kerja (PHK) dan angka kemiskinan meningkat, data pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS) diragukan keakuratannya. Di sisi hukum, ruang partisipasi publik tertutup dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dan stagnasi RUU Masyarakat Adat.
Kita patut merenung kembali pada semangat Konferensi Asia Afrika 69 tahun lalu. Dari Bandung lahir imajinasi dunia yang lebih adil, dengan kedaulatan rakyat sebagai fondasi. Ironisnya, Indonesia kini justru menjelma menjadi simbol penindasan, ketika rakyat kehilangan ruang untuk membayangkan masa depan bersama bangsanya.
Warisan impunitas masih mengakar. Pelanggaran HAM masa lalu belum dipertanggungjawabkan, sementara generasi muda dicekoki narasi nasionalisme darurat. Yang kita butuhkan bukan nasionalisme yang membungkam, tetapi nasionalisme yang membebaskan—nasionalisme yang progresif, inklusif, dan berani memberi harapan.
Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI. Baca artikel lainnya di sini.
















