Culture

4 ‘Manga Shōnen’ yang Ditulis Perempuan Ini Sayang Dilewatkan

Salah satu genre manga yang memiliki fans jutaan di seluruh dunia adalah shōnen manga, yang khusus ditulis untuk demografi pembaca laki-laki. Para perempuan ini mendobrak batasan itu.

Avatar
  • July 8, 2021
  • 6 min read
  • 2213 Views
4 ‘Manga Shōnen’ yang Ditulis Perempuan Ini Sayang Dilewatkan

Manga atau komik Jepang memang tengah naik daun dan memiliki genre yang kian beragam. Salah satu yang difavoritkan adalah langgam shōnen manga. Genre ini ditargetkan pada demografi anak dan remaja laki-laki. Karena ditargetkan untuk anak laki-laki berusia akhir belasan tahun, maka konten di dalam shōnen manga biasanya menawarkan narasi heteronormatif sederhana yang berpusat pada protagonis laki-laki yang melewati banyak tantangan, sampai mereka bisa menjadi diri yang kuat.

Dengan narasi heteronormatif seperti ini, tidak mengherankan kemudian karakter-karakter perempuan direpresentasikan melalui male gaze, dan kerap direduksi hanya sebagai peran pendukung. Menurut Daniel Flis, akademisi dari Murdoch University dalam New Voices in Japanese Studies Vol. 10 tahun 2018, perempuan di sini tidak memiliki agensi diri, kerap kali dilekatkan dengan arketipe ‘Istri Baik, Ibu Bijaksana’ (ryōsai kenbo), singkatnya, peran gender tradisional perempuan Jepang. Bahkan masih banyak karakter perempuan di shōnen manga diekspos sebatas seksualitas melalui tubuh mereka.

 

 

Namun di tengah dominasi laki-laki di dalam industri, shōnen manga mulai berbenah dengan semakin banyaknya mangaka perempuan. Berikut adalah rekomendasi shōnen manga yang ditulis oleh mangaka perempuan. Manga-manga berikut mampu memberikan representasi positif perempuan sebagai individu yang memiliki agensi diri:

Baca juga: 9 Manga Wajib Baca dengan Karakter Bapak Rumah Tangga

1. Fullmetal Alchemist Brotherhood oleh Arakawa Hiromu

Manga ini bercerita tentang dua bersaudara Edward dan Alphonse Elric yang melakukan transmutasi manusia dengan harapan dapat menghidupkan kembali ibu mereka yang sudah meninggal. Namun, usaha mereka justru berakhir nestapa, Edward kehilangan kaki dan tangannya sedangkan adiknya Alphonse kehilangan seluruh tubuhnya. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan tubuh tidak bernyawa dari beberapa makhluk yang kemudian memiliki jiwa Alphonse di dalamnya.

Fullmetal Alchemist adalah shōnen manga yang menawarkan karya seni yang tajam dan khas dengan karakter kompleks yang terus bertumbuh. Ceritanya sangat solid, penuh dengan emosi, dari mulai cerita yang mampu menghangatkan hati dan membuat pembaca tertawa hingga cerita yang membuat hati tersayat saking tragisnya.

Buat saya, manga ini juga dipenuhi oleh pemeran karakter perempuan ter-badass yang pernah saya lihat di sejarah shōnen manga. Mereka tidak hanya kuat, realistis, dan cerdas, tetapi juga bersinar melampaui figur laki-laki. Arakawa Hiromu secara gamblang menyampaikan sebuah pesan, “perempuan tidak sama dengan kelemahan dan perempuan bisa berdaya”. Melalui manga ini dirinya telah menciptakan dunia di mana perempuan dapat menjadi pemimpin militer, menjalankan bisnis mereka sendiri, bahkan menjadi alkemis yang kuat tanpa harus bergantung pada laki-laki.

2. Noragami oleh Adachitoka

Noragami menceritakan kisah Yato, salah satu dewa Jepang yang tidak begitu terkenal, dan seorang remaja perempuan, Hiyori Iki, yang mampu meninggalkan tubuhnya dan eksis sebagai roh. Dalam manga ini, dewa Jepang digambarkan sedang menjawab doa pelindung kuil mereka saat diberi upeti lima yen. Karena Yato tidak memiliki kuil sendiri, dia menerima permintaan pekerjaan sambilan dengan bayaran lima yen.

Menyebut dirinya sebagai “Dewa Pengiriman”, Yato mengiklankan jasa dengan menuliskan nomor teleponnya di dinding umum. Saat dia melakukan pekerjaan untuk klien, pertemuan kebetulan dengan Hiyori menjalin takdir mereka. Singkat cerita, Yato menerima permintaan Hiyori untuk membantu mencegah rohnya meninggalkan tubuhnya.

Sebagai serial manga shōnen, Noragami menantang hegemoni maskulinitas yang lekat dengan shōnen manga melalui berbagai cara, termasuk memberikan otonomi kepada karakter perempuan. Karakter perempuan dalam shōnen manga biasanya kerap bertindak pasif bahkan cenderung digambarkan dengan emosi tereru (perasaan malu namun dibarengi dengan emosi gembira) pada pelecehan seksual yang mereka terima dari karakter laki-laki.

Baca juga: Bagaimana ‘Manga Yaoi’ atau ‘Boys Love’ Masih Meromantisasi Kekerasan Seksual

Namun, dalam Noragami, Adachitoka secara jelas menggambarkan bagaimana karakter perempuannya melawan pelecehan seksual dengan bertindak tegas bahkan memarahi karakter laki-laki yang melakukan pelecehan seksual. Tidak hanya itu, Noragami juga menghancurkan arketipe dasar ryōsai kenbo. Dalam hal ini, Hiyori sebagai protagonis perempuan bahkan berani menyebut ibunya kuno. Hiyori ingin hidup di dunia yang bebas dari konstruksi gender publik, pun bisa mencintai bela diri tanpa perlu dianggap maskulin.

3. Kuroshitsuji oleh Yana Toboso

Kuroshitsuji dari Yana Toboso adalah contoh yang bagus tentang bagaimana manga shōnen dapat dinikmati oleh lintas demografi, baik untuk target demografi remaja laki-laki maupun perempuan.

Manga ini bercerita tentang Ciel Phantomhive, seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang setelah kematian mendadak orang tuanya beberapa tahun lalu, mewarisi kekayaan dan tanggung jawab yang sangat besar dari keluarga bangsawan Phantomhive. Dalam insiden dua tahun sebelumnya, orang tua Ciel dibunuh dan dia ditawan. Saat itu, ia membuat kontrak dengan iblis, Sebastian, yang menjanjikan jiwanya sebagai ganti balas dendam. Sebastian menemaninya dengan menyamar sebagai kepala pelayan yang sempurna dengan memenuhi setiap kebutuhan Ciel sampai balas dendam Ciel pun terpenuhi.

Baca juga: 6 Rekomendasi Manga Reverse Harem Terbaik 2021

Manga ini menarik untuk diikuti karena tidak hanya menawarkan fakta sejarah kejayaan Ratu Victoria, tapi juga menawarkan cerita yang lekat dengan genre thriller psikologis nan misterius.

Yang menarik lainnya dari manga ini adalah bagaimana beberapa karakter perempuan yang tadinya terjebak dalam gagasan kuno Victoria mengenai feminitas, jadi berani menjadi dirinya sendiri. Seperti tunangan Ciel, Lizzy misalnya, walaupun dirinya didik bermain pedang sejak kecil, tapi dia memutuskan untuk menjadi seorang ‘true lady’ yang manis, pasif sesuai dengan gagasan kuno Victoria demi menjadi tunangan ideal Ciel. Namun akhirnya dia menerima dirinya sendiri, yang bertentangan dari kebanyakan perempuan di era tersebut. Dia tidak lagi bergantung pada pasangannya, mengurus dirinya sendiri dan tunangan.

4. Dorohedoro oleh Q Hayashida

Boleh dibilang Dorohedoro adalah shōnen manga paling subtil (in a a good way) dan unik yang pernah saya baca. Manga ini berlatar di masa depan tepatnya pasca-apokaliptik di mana seorang laki-laki bernama Caiman sedang mencari identitas aslinya sebelum dirinya bertransformasi sebagai manusia berkepala reptil akibat ulah seorang penyihir.

Ia kehilangan memorinya sebagai manusia, sehingga dalam misinya mencari identitas aslinya dia akan menyerang para penyihir dan memasukkan kepala mereka ke dalam mulutnya di mana wajah aneh akan muncul dan memastikan apakah penyihir yang diterkam adalah orang yang bertanggung jawab atas perubahannya atau tidak. Bersama dengan temannya Nikaido, Caiman menjalankan misinya dan di tengah perjalanan, ia justru terlibat konflik dengan seorang penyihir kuat yang memiliki pengaruh besar di dunia penyihir dan kepala sindikat “The En Family”.

Aspek menarik manga ini adalah bagaimana karakter perempuan selalu disandingkan bersama dengan karakter laki-laki sebagai mitra setara. Sebuah hal yang jarang dilakukan oleh banyak mangaka yang lebih memfokuskan pada karakter laki-laki dengan karakter pendukung perempuan. Lantaran karakter perempuan dalam manga ini diposisikan sebagai mitra, tidak mengherankan dinamika hubungan dan alur cerita yang ditawarkan jadi makin ajib.

Belum lagi karakter-karakter perempuan yang digambarkan memiliki kekuatan fisik dan sihir yang lebih baik ketimbang lelaki.

Hayashida ingin menyampaikan sebuah pesan penting bahwa perempuan bisa melampaui batas-batas peran gender yang dilekatkan pada mereka, seperti menjadi seorang yang lemah, pasif, dan tidak lebih hebat dari laki-laki.

Suka sama artikel kontributor di atas? Punya opini sendiri soal topik ini? Yuk, kirim tulisanmu ke Magdalene, bisa langsung submit di halaman ini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *