Kesetaraan Gender itu Ternyata Bukan Cuma Mimpi, Asal….
Selama semua pihak berkolaborasi, pemerintah hadir, dan aksi konkret dipercepat, mencapai kesetaraan gender bukan hanya angan-angan.

Berapa lama perempuan akan setara dengan laki-laki? Jawabannya: 137 tahun, menurut laporan Global Gender Gap Report (2023). Angka ini menunjukkan betapa besar tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia, meskipun sejumlah langkah sudah diambil.
Tantangan itu kian berat karena belakangan kita menyaksikan kemunduran dalam agenda keadilan gender. Di tingkat nasional, pemangkasan anggaran kementerian berimbas pada program-program untuk perempuan dan anak. Di media sosial, tren patriarkal semakin menguat, dengan beberapa figur publik terang-terangan mendukung kemunduran ini, termasuk pemimpin negara seperti Donald Trump di AS.
Sebagai respons terhadap hal tersebut, Magdalene menggelar diskusi bertajuk “Why Gender Equity Matters and We Need To #AccelerateActions” di JPLive, Jakarta Barat, (13/3). Diskusi ini bertujuan untuk membuka percakapan yang lebih luas tentang kondisi perempuan dan mempercepat aksi keadilan gender.
Diskusi turut mengundang Wakil Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Veronica Tan. Ia mengungkapkan akar mampatnya keadilan gender. di Indonesia. Salah satunya adalah suara perempuan yang minim di tingkat akar rumput, khususnya dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)–ajang perencanaan pembangunan sebuah daerah—partisipasi perempuan terbilang rendah. Akibatnya, kepentingan perempuan seringkali terabaikan dalam kebijakan pembangunan daerah.
“Kenapa perempuan tidak dilibatkan? Padahal perempuan lebih banyak tahu soal kondisi dasar seperti air, energi, rumah tangga, dan makanan. Perempuan harus ada dalam sistem partisipasi Musrenbang. Setidaknya, ada minimal persentase partisipasi perempuan. Dari situ, kepentingan perempuan bisa lebih diperhatikan,” ucap Veronica.
Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi Magdalene, menekankan pentingnya bersama berkontribusi melawan gerakan penolakan terhadap kebijakan dan upaya mencapai keadilan gender.
“Kalau ini terus terjadi, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam hal keadilan gender, pemberdayaan ekonomi dan hak asasi manusia.”
Baca Juga : Pemangkasan Anggaran KND: Bukti Pemerintah Remehkan Hak Orang dengan Disabilitas
Anggaran Cekak hingga Kekerasan: Setumpuk Masalah dalam Keadilan Gender
Tantangan besar dalam mewujudkan keadilan gender tetap terletak pada dukungan anggaran yang memadai. Tanpa anggaran yang cukup, kebijakan pro-perempuan sulit dijalankan dengan efektif. Anggaran menjadi kunci utama untuk mendorong kebijakan keadilan gender. Tanpa komitmen finansial yang kuat, langkah-langkah yang dirancang untuk mendukung perempuan dan memperjuangkan keadilan gender akan sulit terwujud.
Nissi, salah satu pendiri Feminis Themis, merasakan dampak pemangkasan anggaran yang drastis. Anggaran untuk disabilitas dipangkas dari Rp5,6 miliar menjadi hanya Rp3 miliar. Pemangkasan anggaran ini berdampak pada program pendampingan perempuan dengan disabilitas, yang sering kali menjadi korban kekerasan.
“Anggaran yang terbatas membuat kami harus memilih daerah yang menjadi prioritas. Pemerintah gagal memenuhi komitmennya. Padahal sejak kecil, orang dengan disabilitas sering kali kehilangan hak mereka dan tidak“Seperti dalam kasus pendampingan lainnya untuk memberdayakan penyintas kekerasan seksual. Ada peraturan yang membentuk Permendikbud 55/2024, namun dalam praktiknya anggaran yang tersedia tidak mencukupi. Tidak ada satgas yang bisa menerima korban secara maksimal, sehingga ini sangat menghambat kami dalam memberikan bantuan,” ujar Lintang.
Meskipun begitu, Hope Helps terus berupaya untuk memulihkan kondisi korban, termasuk dengan menyediakan layanan psikologis dan pendampingan hukum secara pro bono, melalui pengacara yang bersedia bekerja tanpa biaya.
Masih terkait penanganan kasus kekerasan, Intan, perwakilan Remisi, organisasi yang peduli pada kesehatan mental angkat suara. Menurutnya, dari kekerasan seksual bisa dilihat, yang bisa sakit dan punya masalah mental tak cuma perempuan tapi juga laki-laki. Karena itu selain bicara anggaran yang cukup, pemerintah perlu memastikan agar semua gender termasuk transgender dan non-biner bisa mengakses layanan pendampingan hukum dan psikologi terkait kasus kekerasan.
Sementara itu, Ally dari Jakarta Feminist juga berkomentar tentang mitigasi kekerasan di Tanah Air. Organisasinya mencatat perempuan tetap menjadi korban terbanyak dalam kekerasan. Bahkan dalam dua hari, satu perempuan bisa dibunuh. Ironisnya, pembunuhan terhadap perempuan sering dianggap sebagai kejadian biasa, meskipun sebenarnya itu adalah femisida — pembunuhan yang dilakukan karena alasan gender.
“Femisida adalah bentuk ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan, di mana perempuan dibunuh hanya karena mereka perempuan. Faktanya, 70 persen pelaku femisida adalah pasangan intim. Perempuan tidak merasa aman, bahkan di rumah mereka sendiri. Ini adalah puncak dari budaya misoginis yang sering dianggap sepele, namun pada akhirnya berujung pada dehumanisasi perempuan,” jelas Ally. memiliki akses yang layak,” jelas Nissi.
“Komitmen harus diterjemahkan dalam kebijakan nyata. Jangan sampai ada yang tertinggal,” ungkap Nissi.
Masalah serupa juga dirasakan oleh Hope Helps, organisasi yang menyediakan layanan pengaduan kekerasan seksual. Lintang, perwakilan dari Hope Helps, mengungkapkan kendala mereka terkait efisiensi anggaran, terutama dalam pendampingan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Pendampingan yang diperlukan tidak hanya sekali, tetapi harus berkelanjutan, dan ini memerlukan biaya yang cukup besar.
Baca Juga : Laki-Laki Tidak Bercerita: Ketika Maskulinitas Berujung Beban Mental
Bukan Masalah Perempuan Saja
Berbagai masalah keadilan gender di atas menunjukkan, perjuangan keadilan gender masih jauh dari selesai. Masalahnya, tantangan ini semakin berlipat-lipat beratnya karena ada norma sosial konservatif yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita. Dwi Yuliawati, Head of Programmes UN Women Indonesia bilang, “Akar masalahnya memang ada pada norma sosial yang patriarkal.”
Salah satu contoh norma patriarkal adalah ketika perempuan masih dianggap liyan alias nomor dua. Koordinator Aliansi Laki-laki Baru (ALB) Wawan Suwandi menjelaskan, dalam patriarki, perempuan yang cerdas sering dianggap cerewet, sedangkan perempuan ideal menurut norma tersebut adalah yang diam dan taat.
“Patriarki memisahkan peran laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan ini, perempuan ideal adalah yang diam, yang hanya mengurus rumah tangga. Ketika perempuan cerdas muncul, dia dianggap cerewet. Pandangan tradisional ini sudah tertanam dalam masyarakat, yang percaya bahwa perempuan sebaiknya diam saja,” jelas Wawan.
Norma konservatif ini sering kali dilegitimasi dengan tafsir agama tekstual yang membuat perempuan semakin berjarak dengan keadilan gender. “Orang awam di Indonesia masih berpegang pada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan dalam perspektif maskulin—perempuan kerja di ranah domestik dan inferior. Kemudian pemahaman dan rendahnya pengetahuan soal nilai-nilai agama, membuat masyarakat belum bisa membedakan mana kodrat dan peran perempuan. Ini jadi tantangan kita, terutama tokoh-tokoh agama,” ucap Jung Nurshabah Natsir dari Muslimah Reformis.
Norma ini celakanya memperburuk ketimpangan gender yang ada. Padahal perubahan sejati hanya bisa tercapai jika laki-laki non-patriarkal, juga dilibatkan dalam perjuangan ini. Untuk menjadi lelaki macam ini, haruslah mendobrak keyakinan lama bahwa konsep keadilan gender tak pernah mengancam mereka. Pun, pemberdayaan perempuan takkan merugikan posisi lelaki. Sebaliknya, keadilan gender adalah tujuan yang menguntungkan semua pihak, baik perempuan maupun laki-laki.
Wawan menuturkan, pemberdayaan perempuan harus berjalan beriringan dengan perubahan pola pikir pada laki-laki. Tanpa keterlibatan aktif dari laki-laki, perubahan yang diinginkan akan sulit terwujud. Lelaki bisa berangkat dari kesadaran bahwa, patriarki tidak cuma membatasi kebebasan perempuan, tetapi juga merugikan laki-laki. Laki-laki sering terperangkap dalam peran sebagai kepala rumah tangga yang “berkuasa,” yang membebani mereka dengan ekspektasi sosial yang tinggi. Hal ini memperparah ketidaksetaraan di berbagai sektor kehidupan, baik dalam hubungan keluarga maupun di dunia profesional.
Baca Juga : 10 Fakta Penting Catahu Komnas Perempuan 2024 yang Harus Kamu Tahu
Dear Perusahaan, Keadilan Gender juga Bisa Menguntungkan
Keadilan gender tak hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga laki-laki. Dengan terciptanya keseimbangan dalam berbagai peran, laki-laki bisa merasakan manfaatnya, seperti pembagian tugas yang lebih adil dalam keluarga dan kesempatan untuk berkarier tanpa bayang-bayang stereotip.
Selain menguntungkan lelaki, perusahaan yang menerapkan kebijakan pro-keadilan gender juga bisa lebih produktif. Ini dikonfirmasi dalam sejumlah riset. Salah satunya dilakukan McKinsey & Company (2018) dalam penelitiannya bertajuk Delivering Through Diversity.
Di sana dikatakan, perusahaan yang mendukung kebijakan inklusif terkait keadilan gender, seperti menyediakan fasilitas daycare, memberikan cuti hamil, paternity leave, serta mendorong partisipasi perempuan dalam posisi kepemimpinan, cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Perusahaan dengan tingkat keberagaman gender yang lebih tinggi di posisi manajerial dan eksekutif memiliki kemungkinan 21 persen lebih tinggi untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan 27 persen lebih tinggi untuk memiliki kinerja di atas rata-rata.
Berangkat dari sini, Wita Krisanti dari Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menekankan pentingnya menciptakan ekosistem kerja yang mendukung perempuan tanpa mengabaikan peran laki-laki.
“Perubahan ini harus dimulai dari atas. Pemimpin perusahaan harus memberikan contoh dengan menciptakan ruang kerja yang aman dan setara, serta memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk meraih posisi kepemimpinan,” ujar Wita.
Ia menjelaskan prinsip DEI perlu diterapkan di setiap level organisasi agar tercipta tempat kerja yang inklusif dan adil untuk semua.
Di saat banyak Perusahaan justru mundur dengan kebijakan yang mendukung kesetaraan dan inklusivitas di Perusahaan, Kristy Nelwan Head of Communication & Chair ED&I Unilever Indonesia menekankan pentingnya berinvestasi pada kebijakan DEI yang sudah terbukti menguntungkan.
Unilever Indonesia sendiri menyatakan bahwa perusahaan terus mendorong terwujudnya agenda DEI melalui berbagai kebijakan dan inisiatif secara internal maupun eksternal. “Di internal misalnya, kami menyediakan daycare, kebijakan durasi maternity leave yang lebih panjang kepada perempuan selama 4 bulan dan paternity leave selama 3 minggu bagi karyawan laki-laki, serta flexible working hours sejak sebelum pandemi. Sebab, karyawan perempuan punya tantangan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki.”
Dari eksternal, Perusahaan selalu Mengkomunikasikan inisiatif, program atau kampanye DEI yang dilakukan secara korporat maupun melalui brand-brandnya; Mensosialisasikan berbagai program yang ditujukan bagi pemberdayaan komunitas perempuan maupun disabilitas; aktif menyuarakan pentingnya menegakkan DEI di dunia bisnis.
Wita mengapresiasi praktik baik di Unilever Indonesia. Menurutnya, ketika ingin mengubah ekosistem kerja, bukan peran perempuan yang harus disesuaikan. Sebaliknya, laki-laki juga harus diberi ruang untuk berbagi peran di rumah, agar perempuan dapat mencapai posisi kepemimpinan.
Komitmen perusahaan untuk mendukung keadilan gender pun perlu dilakukan dengan langkah konkret lainnya. Ini termasuk dengan menjadikan indikator keadilan gender sebagai bagian dari Key Performance Indicators (KPI).
“Pencapaian keadilan gender harus diukur dan disosialisasikan di setiap level. Kita perlu menghargai setiap kemenangan kecil dalam perjalanan ini. Karena apa yang merugikan perempuan, pada akhirnya juga akan merugikan semua pihak, termasuk laki-laki,” ungkapnya.
Akselerasi Perubahan Butuh Kolaborasi dan Kehadiran Negara
Pencapaian keadilan gender di Indonesia sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk menetapkan dan menegakkan kebijakan secara efektif. Ini sejalan temuan World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report 2020. Menurutnya, negara yang memiliki kebijakan keadilan gender bisa mempercepat perkembangan ekonomi dan sosial. Negara memiliki kapasitas untuk memengaruhi kebijakan pendidikan, kesehatan, serta melaksanakan regulasi yang mendukung perempuan dalam bidang pekerjaan dan kepemimpinan.
Lalu bagaimana dengan situasi di Indonesia? Veronica Tan mengungkapkan, meskipun kebijakan pro-keadilan gender telah ada, pelaksanaannya di Indonesia masih jauh dari optimal.
“Keadilan gender memerlukan kolaborasi dari semua pihak, mulai dari kebijakan yang baik hingga dukungan nyata di lapangan,” ucap Veronica.
Lebih lanjut Ally berpendapat, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk mempercepat kemajuan keadilan gender. “Pemerintah jangan hanya mengandalkan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang sering kali terbatas akses dan dananya. Saatnya negara hadir dengan kebijakan yang nyata, mempercepat aksi untuk mendorong perubahan,” pungkas dia.
Reportase dibantu oleh Aurelia Gracia.
