Ada Plastik Mikro dalam ASI: Haruskah Kita Setop Susui Bayi?
Laporan dari WHO menyatakan, masih belum ada cukup bukti mengenai dampak komponen plastik mikro dalam ASI terhadap kesehatan bayi.
Sebagian masyarakat cemas lantaran muncul berita soal temuan komponen plastik mikro (KPM) dalam air susu ibu (ASI).
Berita ini bersumber dari penelitian di Roma, Italia yang telah dipublikasikan di peer-reviewed journal pada Juni 2022. Penelitian dilakukan pada sampel ASI dari 34 ibu, dan KPM ditemukan pada 26 sampel ASI (76 persen).
Sampel ASI diperoleh dengan memerah menggunakan tangan, bukan alat pumping untuk menghindari kontaminasi komponen plastik dari alat tersebut. KPM yang ditemukan meliputi polyethylene, polyvinyl chloride, dan polypropylene dengan ukuran bervariasi dari 2-12 μm (mikrometer).
Berita ini membuat khawatir sebagian masyarakat Indonesia akan dampak hal tersebut pada kesehatan bayi, meski sejatinya peneliti di Roma itu tidak menyarankan penghentian pemberian ASI. Lalu, bagaimana kita menyikapi temuan riset tersebut?
Baca juga: Susahnya Sepakat untuk Tak Sepakat Soal ASI
Bagaimana Bisa Ada KPM dalam ASI?
Produksi plastik di dunia mencapai 367 juta ton pada 2020. Sampah plastik yang dibuang ke lingkungan membutuhkan waktu 20-500 tahun untuk hancur, yang kemudian menjadi komponen plastik mikro (KPM).
Ada tiga jalur manusia dapat terpapar komponen plastik mikro: (1) melalui proses menelan, (2) menghirup, dan (3) kontak kulit. Dari ketiga jalur tersebut, jalur menelan merupakan jalur utama. Setelah tertelan, KPM dapat menembus membran sel manusia.
Peneliti di Roma mencari hubungan antara usia ibu, pola makan, penggunaan produk kosmetik yang mengandung plastik (seperti pelembab kulit, sabun mandi dan pasta gigi) serta konsumsi ibu (seperti ikan, kerang, minuman atau makanan dalam kemasan plastik) selama 7 hari sebelum dan 7 hari setelah melahirkan. Hal-hal itu yang menjadi variabel yang diteliti dalam riset yang menemukan ada KPM dalam ASI sampel. Namun, tidak ditemukan hubungan yang signifikan.
Paparan dari produk kosmetik dinilai tidak terlalu signifikan karena hanya partikel yang berukuran kurang dari 100 nanometer yang dapat menembus kulit. Sementara, untuk pola konsumsi 34 ibu yang diambil sampel ASI-nya, tidak dapat diketahui secara spesifik komponen apa dari makanan ibu yang menjadi penyebab. Ini artinya paparan KPM yang berasal dari lingkungan tidak dapat terelakkan lagi.
Baca juga: Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna
Formula versus ASI
Kalau begitu, apakah penggunaan susu formula jadi lebih aman dibandingkan menyusui?
Tentu saja tidak. Karena, pemberian susu formula pada bayi justru memerlukan media botol dan dot yang mayoritas menggunakan bahan dari plastik.
Penelitian pada 2020 menemukan paparan partikel plastik mikro dari proses penyiapan susu formula. Ada dua faktor yang menyebabkan proses ini melepaskan KPM, yaitu suhu tinggi pada saat sterilisasi botol dan mengocok botol pada saat pembuatan susu formula.
Selain dampak penggunaan plastik terhadap kesehatan, kita juga perlu menilik dampak pemberian susu formula terhadap lingkungan. Produksi susu formula melalui proses panjang. Mulai dari peternakan sapi, yang menjadi bahan baku mayoritas susu formula, hingga proses produksi di pabrik, proses distribusi (dari pabrik ke toko) serta pada proses pembuatan formula di rumah.
Penelitian di 6 negara Asia Pasifik (Australia, Korea Selatan, Cina, Malaysia, India, dan Filipina) menemukan bahwa penjualan susu formula di enam negara tersebut menghasilkan 3,95-4,04 kilogram gas buang karbondioksida (CO2) per kilogram susu formula. Ini setara dengan gas buang dari perjalanan menggunakan mobil sejauh 6 miliar mil (= 9,65 miliar kilometer).
Banyak penelitian dan laporan dari organisasi internasional yang menghitung dampak lingkungan penggunaan susu formula dibandingkan dampak menyusui terhadap lingkungan.
Sebagian orang berargumen, menyusui juga memberikan dampak ke lingkungan. Salah satunya karena ibu menyusui memerlukan tambahan kalori yang lebih banyak (2,5 megajoule) dibandingkan saat tidak menyusui. Ini artinya butuh lebih banyak makanan, salah satunya daging sapi, dengan demikian ada dampak tidak langsung yang diberikan pada lingkungan.
Penelitian yang dipublikasikan pada 2022 menemukan bahwa pemberian susu formula eksklusif selama 4 bulan membawa dampak lingkungan yang lebih tinggi 35-72 persen daripada menyusui eksklusif selama 4 bulan.
Baca juga: Matrescence: Apa yang Saya Pelajari Saat Bertransisi Jadi Ibu
Dampak KPM terhadap Kesehatan
Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, masih belum ada cukup bukti mengenai dampak KPM terhadap kesehatan manusia, termasuk pada bayi.
Namun demikian, pemerintah dan masyarakat harus mencegah KPM itu mencemari air susu ibu. Apa yang bisa pemerintah lakukan?
Seperti yang disarankan para peneliti di Roma, dengan ditemukannya KPM dalam ASI, maka jelas pemerintah butuh kebijakan dan aksi yang lebih kuat mengenai pengaturan produksi dan penggunaan plastik.
Kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik sekali pakai telah lama dikampanyekan di Indonesia untuk konsumen, namun demikian fokusnya juga harus diarahkan pada pelaku industri. Misalnya mereka diharuskan mengganti kemasan produknya dengan botol kaca atau bahan ramah lingkungan lainnya.
Prosedur pengembalian botol plastik bekas pakai di depo, yang kemudian ditukar dengan uang tunai juga banyak diterapkan di negara maju untuk mengurangi sampah plastik.
Di level individu, kita juga harus lebih bijak dalam menggunakan plastik, serta memilih produk yang ramah lingkungan.
Dalam konteks pemberian makan pada bayi dan anak, pemerintah harus memperkuat komitmen dan kebijakan, serta meningkatkan layanan edukasi dan dukungan menyusui pada calon orang tua.
Baca juga: Melek ASI Tapi Gagal Menyusui, Kok Bisa?
Apa yang Harus Dilakukan (Calon) Ibu dan Keluarga?
Sesuai rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyusui merupakan metode pemberian makan terbaik sejak lahir hingga minimal dua tahun.
Manfaat kesehatan dari menyusui didapatkan oleh ibu dan anak, baik jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
Menyusui memang hal yang alamiah, namun perlu dipelajari seawal mungkin. Saat kehamilan, calon orang tua dapat mulai berdiskusi dengan tenaga kesehatan dan memilih fasilitas layanan kesehatan yang mendukung menyusui.
Jika ada kondisi medis yang menyebabkan tidak dapat menyusui pada awal kelahiran, segera diskusi dan cari bantuan tenaga kesehatan yang berkompeten.
Meski satu penelitian telah menemukan KPM dalam ASI, namun ibu disarankan masih terus menyusui. Hal ini karena manfaat kesehatan yang didapatkan dari menyusui lebih besar dibandingkan dari risiko kesehatan yang mungkin timbul dari konsumsi ASI.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.