Miss Universe Dibeli Transpuan, Akankah Lebih Inklusif?
Pebisnis dan transpuan Anne Jakrajutatip membeli Miss Universe Organization. Apakah artinya kontes kecantikan yang mendunia akan lebih inklusif?
Beberapa waktu lalu, pebisnis dan transpuan membeli Miss Universe Organization. Adalah Anne Jakkapong Jakrajutatip, CEO JKN Global Group sekaligus bintang reality show asal Thailand. Anne membeli organisasi tersebut senilai US$20 juta–setara Rp314 miliar.
Mengutip NBC News, Anne menyatakan alasannya membeli Miss Universe Organization. “Untuk memperkuat portfolio kami,” katanya.
Di samping itu, Anne ingin menciptakan platform dengan keragaman latar belakang, tradisi, dan budaya–sekaligus mengembangkan brand organisasi tersebut untuk generasi berikutnya.
Baca Juga: Kontes Kecantikan Dunia Dirancang untuk Perempuan Cantik
Momen ini merupakan peluang untuk menciptakan kontes kecantikan dan bisnis yang lebih inklusif. Namun, kenyataannya Miss Universe Organization, yang berdiri selama 70 tahun itu masih bersifat misoginis dan digelar berdasarkan logika male gaze.
Misalnya penampilan para kontestan dinilai menarik berdasarkan bentuk tubuh yang sama; bikini body. Bahkan, ada masanya mereka berkompetisi mengenakan pakaian renang. Artinya, ada seksualisasi perempuan yang berlindung di balik label “mengapresiasi kecantikan”.
Industri kontes kecantikan Miss Universe Organization yang problematik juga didukung oleh mantan pemiliknya, Donald Trump. Pada 1996, ia membeli organisasi tersebut dari ITT Corp. Kemudian, Trump menjual organisasi itu pada IMG Worldwide.
Selama kepemimpinannya, Trump bersikap misoginis. Melansir NPR, pada 1996 ia melakukan fat shaming terhadap pemenang Miss Universe kala itu, Alicia Machado. Trump memanggil Machado “Miss Piggy” karena berat badannya. Ia juga menyebut Machado–yang seorang Latina, sebagai “Miss Housekeeping”.
Lebih dari itu, syarat pendaftaran Miss Universe juga diskriminatif. Hanya perempuan yang belum menikah dan punya anak yang boleh bergabung. Kabar baiknya, syarat ini akan dihapus per 2023.
Walaupun Miss Universe memberikan ruang bagi perempuan, kenyataannya konsep beauty, brain, behavior yang diusung begitu kompleks. Alih-alih sepenuhnya menampilkan kekuatan perempuan, kontes kecantikan ini masih menyorot perempuan tertentu. Lalu, apa tujuan awal Miss Universe diciptakan?
Baca Juga: Ikut Kontes Kecantikan Bikin Saya Muak dengan Standar ‘Keperempuanan’
Awal Munculnya Miss Universe
Mengutip Insider, mulanya Miss Universe adalah cara pemasaran Pacific Knitting Mills–perusahaan manufaktur dan pakaian asal California, AS. Pasalnya, pemenang Miss America pada 1951 enggan mengenakan produk pakaian renang dari perusahaan tersebut. Membuat Pacific Knitting Mills mendirikan kontesnya sendiri, Miss Universe, pada 1952.
Kemudian, kompetisi ini mulai disiarkan di CBS pada 1955. Meskipun awalnya dimulai di AS, ajang kecantikan ini menjadi franchise di 70 negara sejak 1989. Sampai saat ini, ada 80 perempuan yang merepresentasikan negaranya.
Dengan titel beauty pageant, ajang ini tidak ingin hanya menampilkan kecantikan perempuan, dalam balutan gaun atau bikini. Setiap finalis harus berpendidikan, berperilaku baik, dan memahami budaya. Hal itu yang menjadi salah satu aspek penilaian dewan juri.
Tak dimungkiri, kecantikan jadi faktor utama yang kemudian disorot. Kita pun dapat melihat “keseragaman” dalam penampilan para finalis. Artinya, representasi perempuan di ajang itu belum cukup beragam. Termasuk melibatkan komunitas queer.
Barulah pada 2012, Miss Universe mengizinkan transpuan untuk berpartisipasi. Kendati demikian, enam tahun berikutnya baru ada transpuan yang bergabung. Ia adalah Miss Spain 2018, Angela Ponce. Disusul Swe Zin Htet asal Vietnam, perempuan lesbian pertama yang bergabung pada 2019. Lalu, finalis biseksual asal Filipina, Beatrice Gomez, yang masuk dalam lima besar.
Dengan sejumlah representasi yang ada, apakah artinya Miss Universe sudah cukup inklusif?
Baca Juga: Narasi ‘Semua Perempuan Itu Cantik’ Bisa Berdampak Negatif
Akankah Lebih Inklusif?
Sebelum dibeli Anne, Miss Universe pernah menunjukkan inklusivitas dalam kontes kecantikan. Contohnya ketika Zozibini Tunzi, ratu kecantikan asal Afrika Selatan, yang meraih titel Miss Universe 2019.
Dalam pidatonya, Tunzi menceritakan pentingnya berhenti merujuk pada standar kecantikan. Sebagai perempuan kulit hitam, Tunzi tumbuh di lingkungan yang tidak mengakui dirinya cantik. Tak lain tak bukan, alasannya karena ia tidak berkulit putih dan berambut panjang.
“Saya rasa (diskriminasi) ini harus dihentikan sekarang. Semoga anak perempuan yang menyaksikan momen ini percaya pada kekuatan mimpinya, dan bisa melihat diri mereka terwakili oleh saya,” kata Tunzi di malam penganugerahan.
Momen itu bukan satu-satunya cara Miss Universe menampilkan keberagaman. Miss World menghapus kompetisi pakaian renang–atau bikini contest. Lalu, Melisa Raouf, finalis Miss Great Britain 2022 yang tampil tanpa makeup. Kepada Independent, Raouf mengatakan ia merasa tidak pernah sesuai standar kecantikan. Selain itu, ia juga menyatakan bisa menerima penampilannya tanpa riasan wajah.
Kendati demikian, keberadaan kontes kecantikan ini perlu dievaluasi kembali. Apakah ajang ini sepenuhnya untuk memberdayakan perempuan dengan membangun kepercayaan diri? Atau sekadar memamerkan kecantikan fisik, dan turut menampilkan keragaman agar dinilai inklusif?
Pasalnya, titel Miss Great Britain 2015 dicopot dari Zara Holland. Keputusan itu menjadi “hukuman” bagi Holland, yang berhubungan seks dalam program Love Island pada 2016. Secara enggak langsung, Holland menjadi korban slut-shaming dari pencabutan gelar tersebut.
Realitas itu bertolak belakang, dengan bikini contest yang masih dimiliki sejumlah kontes kecantikan. Salah satu aspek yang dinilai dalam ajang tersebut adalah daya tarik fisik, yang merujuk pada keindahan tubuh. Hal ini kontroversial, karena keberhargaan perempuan dinilai berdasarkan penampilan fisiknya. Plus, perempuan kembali jadi korban objektifikasi.
Itu juga yang menjadi alasan feminisme menentang beauty pageant. Kompetisi tersebut sekaligus memberikan pemahaman, kecantikan jadi syarat untuk memperoleh status dan kekuasaan.
Pada akhirnya, perempuan kembali menyesuaikan dengan standar kecantikan–meskipun keragaman dan inklusivitas menjadi isu yang berusaha ditunjukkan. Sebab, seksisme di ajang itu masih berlanjut.
Namun, mengingat kini Miss Universe Organization dikepalai oleh Anne, ada harapan kontes kecantikan ini lebih beragam dan inklusif. Sesuai keinginannya, membentuk platform dengan berbagai latar belakang, budaya, dan tradisi.