Dear Transpuan, Enggak Ada Standar Wajib untuk Jadi Perempuan
Masih banyak transpuan yang memiliki pola pikir, menjadi “perempuan utuh” sama dengan mengikuti standar kecantikan heteronormatif.
Suara tawa bersahutan memenuhi ruangan. Di sudut yang lain, bunyi “tak tak tak” dari hentakan high heels membuat suasana makin meriah. Dari belasan transpuan yang hadir di pendidikan alternatif Transchool, hampir tak ada yang berdiam diri, semua larut dalam percakapan. Karena itulah, mustahil bisa fokus pada satu hal saja malam itu. Namun, anehnya, pandanganku saat itu cuma tersorot pada satu sosok perempuan.
“Wow, elegan banget,” gumamku.
Perempuan tersebut mengingatkanku pada karakter Betty Boop dengan rambut cepak hitamnya yang bergelombang. Sulit mengalihkan perhatian pada subjek lainnya. Bagaimana tidak? Potongan rambutnya yang tidak biasa membuat ia begitu menonjol di antara peserta lain yang notabene tampil feminin dengan rambut panjang semampai.
Sayangnya, tak butuh waktu lama hingga kekagumanku padanya kandas. Tepatnya setelah aku melihat ia memakai rambut palsu serta berdandan paripurna. Ada yang bilang, ia terpaksa memaksa diri tampil feminin lantaran rambut pendek membuatnya kurang pewong (perempuan).
Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra
Padahal buatku, potongan rambut cepak sama sekali tidak melunturkan keperempuanannya. Ini pula yang membuatku kerap bertanya-tanya: Sampai kapan identitas gender transpuan terus didikte oleh standar kecantikan heteronormatif?
Menjadi Perempuan Sejati
Realitasnya, masih banyak individu transpuan yang memiliki pola pikir bahwa menjadi “perempuan utuh” sama dengan mengikuti standar kecantikan heteronormatif. Berbagai upaya pun dilakukan demi memenuhi standar itu, dari memanjangkan rambut, membesarkan payudara, bersolek, dan lain sebagainya.
Tentu sah-sah saja bila seorang transpuan memilih untuk mengikuti standar kecantikan yang ada. Toh, setiap orang berhak untuk mengekspresikan dirinya. Yang disayangkan, tidak jarang upaya-upaya tersebut terlalu dipaksakan dan malah membahayakan diri sendiri.
Seperti yang diberitakan Kumparan mengenai penemuan dua jasad transpuan di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada (22/1). Para korban diyakini tewas akibat sesak napas hebat disertai memar di bagian dada setelah masing-masing menerima 46 suntikan silikon ilegal demi memiliki sepasang payudara.
Di lain waktu, seorang transpuan yang merupakan kawan dari kenalanku menceritakan pengalaman buruknya mengubah fisik menjadi lebih feminin.
“Bukannya cantik, yang ada gue malah sakit,” ungkap transpuan.
Ia bercerita, tubuhnya demam tinggi dan mual berhari-hari setelah menyuntikkan dua ampul hormon esterogen sekaligus ke tubuhnya.
Tentunya kejadian nahas ini hanya pucuk dari gunung es yang lebih besar. Hal semacam ini biasanya didasari oleh keinginan memiliki fisik feminin secara instan tanpa terlebih dulu menimbang risiko.
Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra
Kecantikan Sebagai Tameng Pertahanan Diri
Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam hal ini. Salah satunya berkaitan dengan keamanan diri. Bagi banyak individu transpuan, penampilan merupakan salah satu aset berharga yang kerapkali menentukan keamanan dan kenyamanan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Maka, berdandan feminin tak hanya sebatas ekspresi, tapi metode ampuh membentengi diri saat berada di tempat umum.
Membentengi dari apa? Diskriminasi dalam banyak wujud. Ini sejalan dengan riset bertajuk Effects of Cisnormative Beauty Standards on Transgender Women’s Perceptions and Expressions of Beauty (2019) yang menyebutkan, tingkat diskriminasi dalam bentuk pelecehan verbal, serangan fisik, dan perlakuan tidak adil cenderung lebih tinggi di individu transgender yang identitasnya terlihat dari penampilannya.
“Saya selalu berusaha memenuhi standar kecantikan masyarakat. Bahkan, saya cenderung berdandan lebih feminin dibanding perempuan pada umumnya,” ucap salah satu partisipan riset itu.
Ia menambahkan, terpaksa tampil feminin sebagai upaya agar identitasnya tidak dicurigai oleh masyarakat umum.
Partisipan lainnya menuturkan, memenuhi standar kecantikan konvensional menentukan keamanan dirinya. Ia juga berharap upaya tersebut bisa membuka lebih banyak peluang baginya dalam hidup bermasyarakat.
Passing Privilege
Tampaknya selain perempuan cisgender, privilese kecantikan juga turut menghantui banyak transpuan, termasuk saya sendiri—sayangnya. Dalam komunitas trans, hak istimewa ini biasa dikenal dengan sebutan passing privilege.
Baca juga: 7 Cara Sederhana Mendukung Komunitas Transgender
Dalam bukunya yang berjudul Excluded: Making Feminist and Queer Movements More Inclusive (2013), Julia Serano menjelaskan passing sebagai momen saat seseorang menganggap individu transgender sebagai seorang cisgender berdasarkan ciri fisik atau penampilannya.
Bisa dibilang, passing privilege ini bak berlian langka yang amat didambakan oleh hampir seluruh transgender, terutama transpuan. Aku sendiri sudah menerima banyak sekali keuntungan dari passing, mulai dari kemudahan mengakses toilet umum, minimnya tatapan sinis publik, perlakuan baik, sampai peluang pekerjaan yang lebih luas. Sayangnya, tidak banyak yang seberuntung aku.
Riset National Center for Transgender Equality pada 2015 menunjukkan 88 persen partisipan transgender di Amerika Serikat mengalami penolakan dalam mengakses pelayanan dari perusahaan dan agensi pemerintah karena identitas mereka yang mudah dikenali secara visual.
Tidak perlu jauh-jauh ke negara Barat sana, ketimpangan semacam ini bisa ditemui di tanah air. Kita bisa melihat warga Indonesia yang hobi membanding-bandingkan antara transpuan satu dan lainnya berdasarkan passing privilege yang mereka miliki.
“Apri cantiknya mengalahkan Mbak Lucinta Luna. Harusnya Mbak Lucinta Luna bisa mencontoh [Apri],” tulis salah satu akun YouTube dengan username Ratna Dewi saat mengomentari pesinden trans di salah satu video unggahan TRANS7 OFFICIAL.
Masih di platform yang sama, salah satu akun YouTube bernama Sasreni Gani berkomentar, “Ini baru cantik. Terlihat elegan dan lembut, tidak terlihat seperti laki-laki,” di video unggahan Channel Terbaik yang memperlihatkan beberapa tokoh transpuan terkenal asal Thailand.
Di lain waktu, perbedaan perlakuan semacam ini bahkan bisa lebih ganas. Pada akhir 2018, aku dibuat terkejut saat seorang transpuan yang berpapasan denganku di pinggir jalan menjadi korban serempetan mobil.
Sebelumnya, aku melihat pengemudi laki-laki menyetir ke arah kami dan membelokkan setirnya ke arah transpuan di sampingku. Aku meyakini kejadian tersebut dilakukan dengan sengaja, melihat dari seringai lebar di wajah pengemudi pasca-kejadian.
Aku sempat mematung beberapa saat. Kejadian tersebut bisa saja menimpaku juga, mengingat korban dan aku sama-sama seorang transpuan. Beruntung bagiku, sangat bisa dipastikan pengemudi tersebut tidak menyadari identitas genderku sebagai seorang transpuan, sehingga ia urung menyerempet.
Jika diibaratkan, hidup transpuan bagaikan perwujudan nyata pepatah “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”—sudahlah harus melewati proses yang sulit untuk menerima diri sendiri, setelah itu masih harus bertarung dengan tekanan sosial pula.
Kalau begini, rasanya pilihan mbak jebolan Transchool tersebut untuk kembali menjalani hidup stealth mode dengan mengikuti standar kecantikan heteronormatif wajar-wajar saja. Pun, amat disayangkan, aku sendiri masih belum berani untuk benar-benar melepaskan diri dari jeratan standar tersebut.
Nampaknya, perjalanan menuju dunia di mana kelompok transgender tidak perlu bersusah-payah mengikuti standar kecantikan heteronormatif demi keamanan dan kenyamanan hidup kami masih terpantau jauh.
Pesanku untuk teman-teman transpuan di luar sana: Kita sama-sama punya PR besar untuk memutus rantai standar kecantikan heteronormatif. Toh, bagaimanapun juga, identitas kita sebagai perempuan tetap valid, kok.