Issues Politics & Society

Mereka yang Tersisih dari Bangku Sekolah di Mentawai

Jangankan bermimpi tinggi, bisa sekolah sampai tamat tanpa kelaparan saja sudah berkah untuk anak-anak Mentawai.

Avatar
  • July 27, 2023
  • 7 min read
  • 2090 Views
Mereka yang Tersisih dari Bangku Sekolah di Mentawai

Menyusuri jalan setapak menuju perbukitan, tak membuat semangat para remaja ini kendur. Datang jauh-jauh dari Desa Politcoman, Kecamatan Siberut Barat, Amus, 19, Gilbert 15, Susan, Theresia, Deni, dan Hilaris yang berusia 17 tahun sudah sampai di Sekolah Kejuruan Menengah Negeri (SMKN) 2, Siberut Selatan, Mentawai jam 10.30 pagi.

Hari itu adalah jadwal pendaftaran ulang sekolah di tahun ajaran baru. Amus, Gilbert, dan Hilaris punya mimpi jadi pelaut, sehingga mengambil jurusan Maritim. Sementara Susan, Theresia, dan Deni mengambil jurusan Perhotelan. Menjadi pelaut dan bekerja di hotel adalah jalan keluar dari kubangan kemiskinan mereka. Terlebih ketika ladang Mentawai tak menjanjikan banyak hal.

 

 

“Saya pingin dari sekolah kerja biar bisa bantu sedikit orang tua apalagi saya masih punya adik yang masih SD,” kata Deni. 

Memilih sekolah di atas bukit itu adalah pilihan terbatas yang mereka punya. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk tahun ajaran 2023/204 menyebutkan, Kepulauan Mentawai cuma punya tiga SMK. Jumlah yang sangat berbanding jauh dengan Jakarta yang memiliki total 571 SMK dengan 73 SMK negeri di antaranya. 

Minimnya jumlah SMK membuat anak-anak Mentawai harus rela merantau jauh dari kampung halaman untuk sekolah. Merantau tentu butuh biaya. Tidak hanya untuk transportasi darat dan laut ke sekolah, tapi juga sewa kos dan kebutuhan sehari-hari selama bersekolah tiga tahun lamanya. 

Amus bercerita, moda transportasi laut menggunakan kapal cepat saja, ia harus merogoh kocek Rp108 ribu. Jika ditambah biaya kamar kos sekitar 3×4 meter persegi untuk tiga orang, masing-masing perlu mengeluarkan Rp110 ribu lagi.

“Selain kos, kami juga harus beli bahan makanan kayak beras sama lauk, seperti ikan, sayur, dan telur sama bumbu masakan. Beras aja udah ngabisin Rp126 ribu. Itu harga sekarung dan paling cuma bisa buat dua minggu. Buat makan pagi sama sore,” curhat Amus. 

Sumber: Jasmine Floretta V.D/Magdalene.co

Baca Juga: Kepanikan Moral, Dalih Basi Persekusi Dua Perempuan di Sumbar

Pahitnya Merantau untuk Sekolah

Merantau jauh dari rumah untuk bersekolah memang tidak gampang buat anak-anak ini. Salah satu momok paling umum adalah kelaparan.

“Penyakitnya anak-anak sini itu banyak maag karena enggak makan. Setiap pagi saya sudah tanya ke mereka, sudah makan belum. Makan pakai apa. Mereka jawab sudah makan tapi lauknya apa? Royco. Kadang bahkan anak-anak ini cuma makan nasi sama garam doang,” ungkap Willy Alfanzah, guru tata boga dan bidang kesiswaan SMKN 2 Kepulauan Mentawai.

Nasib Amus pun tak jauh beda. Ia yang kini sudah masuk di tahun kedua mengungkapkan, pernah kehabisan bahan makanan dan tidak punya duit sepeser pun. Mau menghubungi orang tua pun tak bisa karena akses internet kepulauan Mentawai masih buruk. Di beberapa desa seperti Srilanggai, satu-satunya akses internet berada di area sekolah. Jaraknya lebih dari satu kilometer dari pemukiman warga dan tiap orang harus saling berebut karena kuotanya yang terbatas. 

“Pernah satu hari enggak makan. Saya minum air putih saja sambil melamun duduk sendiri,” curhat Amus.

Kalau sudah begini, satu-satunya jalan keluar hanya ada tiga. Meminjam uang teman seraya menunggu kiriman orang tua datang, menunggu belas kasihan guru yang juga gajinya tidak seberapa besar, atau mencari pekerjaan tambahan. Amus memilih opsi ketiga. 

“Pas enggak ada apa-apa, saya cari kerja ke bapak kos. Ikat manau (rotan). Rata-rata 3 orang dapat 1.000 batang dan itu diupah Rp150 ribu, dibagi tiga. Lumayanlah buat makan,” kata Amus. 

Sebagai guru, Willy tak bisa berbuat banyak. Ia dan teman-teman gurunya hanya bisa memaklumi dan memberi kelonggaran. Mereka memperbolehkan anak-anak ambil pekerjaan tambahan tapi dengan satu catatan. Mereka tidak boleh sampai bolos atau telat sekolah. 

Baca Juga: Pil Pahit Penyintas Kekerasan Mentawai: Apapun Kejahatannya, Denda Adat Jawabannya 

Sayangnya kelonggaran ini bukan solusi. Willy bilang, perkara kiriman ini bikin banyak anak-anak sekolah putus sekolah di tengah jalan. Setiap tahun sekitar satu dan dua siswa pasti jadi korbannya dan ini akan semakin parah kalau kalau musim badai (September – April) tiba. 

“Kiriman enggak pernah sampai. Mau hubungi orang tua enggak bisa, karena jaringan enggak ada. Sekalinya bisa dihubungi proses pengirimannya terkendala. Ada boat, tapi kapal enggak ada. Kiriman juga bisa busuk atau hilang karena kan ini (kiriman) juga bisanya titipan dari orang yang mau nyebrang pulau. Mereka bisa dipercaya enggak. Jadi kalau enggak ada kiriman ya akhirnya mereka pulang. Gimana mau bertahan hidup,” jelas Willy. 

Sumber: Jasmine Floretta V.D/Magdalene.co

Anak Perempuan yang Lebih Rentan

Anak perempuan selalu menjadi kelompok yang lebih rentan kalau berbicara akses pendidikan. Dalam kasus Mentawai, Willy mengatakan angka putus sekolah di SMKN 2 untuk anak perempuan memang mendominasi. Ketika anak-anak perempuan tak dapat kiriman, banyak dari mereka yang terjerat tipu daya pacar dan berakhir mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD)

Willy bilang ini bahkan sudah jadi modus. Sang pacar biasanya akan menawarkan kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk mendapatkan bahan makanan di kampung halaman mereka. Kesempatan ini jelas menggiurkan buat perempuan yang sedang dilanda kelaparan, tapi tak kunjung dapat kiriman atau punya opsi ambil kerjaan. 

“Dia enggak dapat kiriman, ngadu ke pacarnya. Pacarnya bilang ya sudah kamu ke kampung sama saya nanti dapat di sana banyak ubi, pisang, ada sagu. Dibujuk rayu, ke sana lah berhari-hari di sana. Sampai sana sudah kelewatan (hamil), putus sekolah. Kasusnya banyak begitu,” ucap Willy lagi.

Jika masih ingin sekolah, hak pendidikan anak perempuan secara sepihak juga diputus oleh dua hal. Pertama oleh aturan adat dan aturan sekolah. Anak-anak perempuan yang mengalami KTD, kata Willy harus menjalani sidang adat. Walau tidak dihadirkan langsung secara langsung dengan pelaku, dalam perundingan keluarga anak perempuan dilibatkan. Proses ini pun cukup lama.

“Mereka harus menunggu proses adat. Keluarga harus kumpul, dia harus absen sekolah.  Di satu sisi waktu terus berjalan, dia tertinggal. Makanya putus sekolah, kata Willy.

Bak jatuh tertimpa tangga, anak-anak perempuan yang mengalami KTD tidak diberikan kesempatan lagi untuk bersekolah. Willy bilang kalau ada anak yang ketahuan hamil, sekolah wajib mengeluarkan mereka. Jika mereka yang mengalami KTD boleh tetap sekolah, nantinya akan banyak anak-anak perempuan lain yang menganggap enteng masalah ini.

“Nanti mereka jadi mikir ‘Saya hamil aja masih bisa sekolah’. Kami takut kalau kami izinkan, nanti anak-anak jadi bebas, hamil,” katanya.

Baca juga: Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai

Merespons ini, Alimatul Qibtiyah, Komisioner Perempuan dalam wawancaranya bersama Magdalene mengatakan, seharusnya anak perempuan yang mengalami KTD tetap dijamin hak pendidikannya. Sayangnya, dalam masyarakat patriarkal, akses terhadap pemenuhan hak pendidikan di anak perempuan sering kali terputus. Terlebih jika anak perempuan mengalami KTD, tak peduli hamil diperkosa atau karena grooming.

“Mereka tidak hanya dapat hukuman sosial tapi reproduksi mereka rentan. Mereka tiba-tiba harus mengurusi tugas reproduksi yang mereka tidak diinginkan. Dari sesi agama, mereka dihakimi juga. Walau korban kekerasan, mereka masih menganggap diri sendiri berdosa. Jadinya secara sosial, reproduksi dan agama mereka jadi korban kerentanan berlapis, kalau kemudian hak pendidikan juga diputus bayangkan seberapa rentannya mereka,” jelas Alimatul.

Sumber: Jasmine Floretta V.D/Magdalene.co

Ketika sistem pendidikan berupa peraturan hingga tenaga pendidik abai terhadap persoalan ini, Alimatul khawatir dampaknya bisa sangat fatal.

“Pernikahan anak tidak terhindarkan, sementara akses pendidikannya tidak sempurna. Dia jadi kurang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri. Pemiskinan perempuan terjadi secara sistematis karena secara kultur mereka dilihat sudah harus jadi ibu. Ini jelas akan berdampak secara nasional dan global. Kualitas SDM menurun, pendapatan negara pun sama,” ungkap Alimatul.

Ia menjelaskan, ada beberapa solusi yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah dalam menjamin hak akses pendidikan anak perempuan. Pertama, pemerintah harus menyusun dan mendorong diterbitkannya kurikulum pendidikan seksualitas komprehensif yang bisa dimasukan dalam Biologi atau ekstrakurikuler wajib. Ini penting karena anak-anak yang tak dapat pendidikan seksualitas komprehensif, akan cenderung melakukan aktivitas seksual yang tidak aman.

Selain itu, penting bagi tenaga pendidik untuk diberikan pelatihan yang sensitif gender. 

“Ketika pendidik tidak paham (isu gender) jadinya mereka cuma tahu haram halal saja. Tidak paham tidak memahami perkembangan dari seksualitas remaja dan bagaimana mengelolanya. Dampaknya lagi-lagi akan ke anak didik,” tuturnya.

Tarida, antropolog dan Project Manager Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) yang mendampingi Magdalene selama liputan mengungkapkan, asrama yang terorganisasi dengan baik juga menjadi solusi. Di SMKN 2 sendiri sudah ada asrama khusus untuk perempuan. Sayangnya asrama ini hanya berkapasitas 26 orang saja dan bukan fasilitas sekolah yang dibangun dan dibiayai pemerintah.

Karena itu, jika memang pemerintah desa melihat fenomena putus sekolah anak-anak Mentawai sebagai sesuatu masalah genting yang harus diselesaikan, pembangunan asrama memang harus dianggarkan sendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Orang tua bisa mengirimkan biaya asrama/pondokan kepada pengelola untuk memastikan kebutuhan makan anak-anaknya terpenuhi. Selain itu konsep asrama juga dapat mengurangi kerentanan atau risiko kekerasan seksual pada siswa,” tutup Tarida.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *