Gender & Sexuality Issues

Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) yang Menghantui Perempuan

Hampir setengah dari semua kehamilan, yang berjumlah 121 juta setiap tahunnya di seluruh dunia, tidak direncanakan (KTD). Kenapa ini bisa terjadi?

Avatar
  • April 5, 2023
  • 8 min read
  • 891 Views
Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) yang Menghantui Perempuan

Nama Alshad Ahmad belakangan sedang jadi buah bibir para warganet di berbagai media sosial. Bukan karena ulah bombastisnya yang pamer satwa liar, tetapi karena relasinya dengan mantan kekasih Nissa Asyifa yang terbongkar. Dalam pantauan Liputan 6 dan detik.com, semua berawal dari unggahan Instagram Nissa yang telah melahirkan seorang bayi kendati dirinya tidak sedang memiliki status pernikahan.

Pada unggahan itu Nissa juga membagikan ceritanya soal sosok laki-laki yang yang tidak bertanggung jawab yang telah menghamilinya. Nissa menyebut sosok itu pandai membuat citra baik di media sosial. Unggahan Nissa kemudian disusul dengan bocornya salinan putusan Pengadilan Agama Bandung permohonan cerai talak keduanya.

 

 

Rupanya Alshad dan Nissa rupanya sudah menikah secara siri sejak 28 September 2022. Pernikahan mereka diselenggarakan karena kala itu Nissa telah hamil 8 bulan. Namun, hanya berselang dua bulan, Ashlad mengajukan permohonan talak cerai sekaligus itsbat nikah di Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat pada 11 November 2022 lalu.

Beredarnya salinan putusan ini sontak bikin warganet geram. Mereka banyak yang tidak menyangka bahwa Ashlad ternyata adalah sosok yang tidak bertanggung jawab. Melakukan penelantaran pada istri dan anaknya sendiri. Apalagi ini ditambah dengan Alshad yang sampai saat ini tidak pernah berkomentar atas kasus yang menimpanya.

Baca Juga: Restitusi Korban Kekerasan Seksual dan ‘Victim Trust Fund’ Masih Perlu Dipantau

Ragam Faktor Penyebab KTD

Kasus Nissa adalah bukti dari banyaknya kehamilan tidak direncanakan atau KTD yang dialami perempuan. Menurut laporan State of World Population (SWP) 2022 yang dirilis hari ini oleh UNFPA misalnya, hampir setengah dari semua kehamilan dari tahun 2015 hingga 2019 yang berjumlah 121 juta setiap tahun di seluruh dunia merupakan kehamilan yang tidak direncanakan.

Di Indonesia sendiri, menurut data Guttmacher Institute yang dikutip laporan SWP 2022 menunjukkan antara tahun 2015 – 2019, ada sekitar 40 KTD per 1.000 perempuan berusia 15-49 tahun dengan rata-rata jumlah total kehamilan per tahun berjumlah 7,9 juta. Jika dibandingkan dengan Myanmar (35 KTD per 1000 perempuan) dan Thailand (38 KTD per 1000 perempuan), angka KTD di Indonesia jelas mengkhawatirkan.

Hal ini pun dikuatkan dengan laporan survei BKKBN 2019 yang menemukan bahwa jumlah kasus KTD di Indonesia rata-rata masih di level 17,5 persen. Artinya, setiap 100 orang hamil di Indonesia, 17 di antaranya adalah kehamilan yang tidak direncanakan.

Dr. Marcia Soumokil MPH., Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat atau Ipas dalam wawancaranya bersama Magdalene mengatakan faktor pendorong terjadinya KTD pada perempuan beragam. Mulai dari kekerasan seksual, kurangnya pengetahuan tentang kontrasepsi, usia ibu terlalu muda atau belum siap menikah, pasangan tidak siap menikah atau hubungan dengan pasangan yang belum matang, dan masalah ekonomi struktural.

Namun, dari pengamatan dan data-data yang dibaca oleh Marcia, salah satu faktor KTD yang paling sering terjadi di Indonesia berkaitan dengan dua dimensi akses kontrasepsi pada perempuan. Akses pemberian informasi berimbang dan komprehensif tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi. Lalu akses mendapatkan ketersediaan layanan dan metode kontrasepsi yang memang disesuaikan dengan kebutuhan setiap perempuan.

Marcia mengatakan pada banyak perempuan yang tidak memakai kontrasepsi, perempuan seringkali memang tidak tidak memiliki akses sama sekali atau terbatas terhadap informasi dan layanan itu sendiri.

Baca Juga: Atas Nama Baik Pesantren Jombang, Kekerasan Seksual Dipinggirkan

Pernyataannya ini pun sejalan dengan temuan UNFPA Indonesia pada 2017 di mana perempuan miskin dengan pendidikan rendah dan berada di daerah pedesaan memiliki prevalensi kontrasepsi yang lebih rendah, dibandingkan dengan mereka yang kaya, berpendidikan, dan tinggal di kota. Mereka adalah kelompok yang rentan mengalami KTD dan pada proses kehamilan hingga melahirkan tidak mendapatkan pelayanan atau bantuan yang tepat.

Akan tetapi saat setelah mendapatkan layanan dan memakai alat kontrasepsi, perempuan juga tidak serta merta akan terhindar dari kemungkinan mengalami KTD. Hal ini karena menurut Marcia berkaitan dengan masih banyaknya perempuan yang tidak diberikan kontrasepsi sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri. Padahal menurutnya dengan beragam alat kontrasepsi, maka beragam pula efek samping yang akan dialami tiap perempuan.

“Sayangnya, petugas kesehatan seringkali tidak cukup peka melihat ini sebagai masalah. Enggak heran tingkat putus pakai kontrasepsi atau drop out di Indonesia tuh tinggi, 1 di antara 3 perempuan yang baru memulai akan berhenti kontrasepsi dalam jangka waktu 6 sampai 1 tahun 1 bulan,” jelas Marcia.

Pernyataan Marcia ini didukung oleh data dan fakta lapangan. Pertama, ini selaras dengan laporan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Laporan yang memperlihatkan angka tingkat drop out di Indonesia sebesar 29 persen pada 2017 dan meningkat 4 persen dari tahun 2018. Kedua, dalam wawancara terpisah bersama Magdalene, Eko Maryadi, Executive Director Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) kegagalan KB jadi faktor pendorong KTD mayoritas klien PKKBI.

“Ada ketidakcocokan alat kontrasepsi di mereka dan ini membuat mereka jadi enggak pake lagi yang disaat bersamaan membuat angka KTD tidak kunjung landai di mana di PKBI sendiri klien yang meminta layanan konseling KTD 70 persen di antaranya berstatus menikah selama 2007 hingga 2018 dan 78 persen di 2020 hingga 2021,” jelas Eko.

Namun, faktor penyebab KTD tidak sampai situ saja. Buat Marcia pribadi yang kemudian harus jadi perhatian Marcia soal faktor penyebab KTD juga tentang bagaimana informasi soal kontrasepsi sangat tersegregasi berdasarkan status pernikahan. Ini terlihat dari produk hukum Indonesia, KUHP pada pasal 408 dan 410 ayat 1 dan 2 yang menurutnya belum berpihak pada akses informasi lengkap soal kontrasepsi pada semua perempuan terlepas dari status pernikahan mereka.

Ada ancaman pidana yang membuat pihak-pihak tertentu dan perempuan yang ingin mengakses informasi tersebut mengalami kriminalisasi. Ini membuat iklim di Indonesia semakin tidak kondusif untuk membincangkan hak-hak seksual dan kesehatan reproduksi di ranah publik dan memotretnya selalu dalam bingkai stigma negatif yang menakut-nakuti.

“Orang muda itu perlu diberikan informasi yang lengkap. Informasi lengkap sangat diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran tentang perilaku seksual yang bertanggung jawab dan ini berkaitan langsung sama KTD,” pungkasnya.

Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja

Dimensi Ketidakadilan Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam KTD

Menarik untuk diketahui lebih lanjut bahwa permasalahan KTD pada perempuan selalu beririsan dengan dimensi ketidakadilan gender. Dalam laporan SWP UNFPA yang sama misalnya ditemukan korelasi antara angka kehamilan tidak direncanakan 2015-2019 dengan Gender Inequality Index (GII). Perlu diketahui bahwa dalam pengukurannya GII menggunakan 3 aspek antara lain kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan status ekonomi.

Dengan kata lain, tingginya skor GII akan menggambarkan level ketidakadilan gender yang tinggi pula. Skor GII Indonesia misalnya saat ini ini sebesar 0,48. Posisinya berada di peringkat 121 secara global, tertinggal dari negara Asia Tenggara lainnya dengan angka KTD yang lebih besar dibandingkan negara seperti Myanmar dan Thailand.

Seema Jalan dalam artikelnya yang diterbitkan Uniteds Nation Foundation mengatakan prevalensi keterhubungan ketidakadilan gender dalam suatu negara dan KTD memperlihatkan bagaimana minim atau tidak adanya kekuatan pengambilan keputusan mendasar atas tubuh perempuan.

Ini tak hanya soal nihil atau minimnya layanan atau informasi kesehatan seksual dan reproduksi, kurangnya akses terhadap kontrasepsi pilihan, tetapi juga norma atau stigma masyarakat yang berbahaya seputar reproduksi dan otonomi tubuh, kekerasan atau pemaksaan oleh pasangan atau kekerasan seksual, serta hukum dan kebijakan yang berbahaya.

Faktor-faktor ini diperparah bagi orang-orang yang sudah terpinggirkan karena pengidentifikasian seperti usia, status perkawinan, tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, jenis kelamin, seksualitas, ras, etnis, pendapatan dan tingkat pendidikan, kemampuan, atau agama.

Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan kepada Magdalene mengatakan pada idealnya, perempuan memiliki otonomi tubuh dan berhak menentukan sendiri apakah ia ingin melanjutkan kehamilan atau tidak. Ini karena mereka yang mengalami dan mengetahui kemampuannya sendiri.

Namun, fakta lapangan berbanding terbalik dengan idealisme yang ada. Jika mengacu pada laporan UNFPA yang sama disebutkan bahwa lebih dari 87 persen perempuan yang mengalami KTD di 57 negara yang disurvei tidak memiliki pilihan bebas terkait hubungan seksual dengan pasangan, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan.

Ketika perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri, maka Retty pun menambahkan perempuan akan jadi lebih rentan mengalami kekerasan yang berakibat pada KTD. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian berjudul Associations Between Unintended Pregnancy, Domestic Violence, and Sexual Assault (2019) yang menyebutkan disebutkan bahwa risiko kehamilan KTD 1,6 kali lebih tinggi pada perempuan yang mengalami kekerasan fisik.

Ini disusul dengan risiko 3,3 kali lebih tinggi pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan kekerasan fisik, dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun.

Dengan ragam faktor penyebab KTD serta kaitannya dengan ketidakadilan gender dan kekerasan pada perempuan, solusi yang ditawarkan untuk menurunkan angka KTD ini tentu tidak tunggal. Bagi Marcia, solusi ini harus terdiri dari tiga hal.

Pertama, memberikan akses akses dan hak pendidikan seksual yang komprehensif kepada semua perempuan. Kedua, memberikan akses kontrasepsi kontrasepsi tanpa syarat di mana tidak harus pasangan yang menikah saja yang bisa mendapatkannya. Ketiga, memberikan kontrasepsi darurat. Hal ini karena untuk beberapa orang tidak memakai kontrasepsi dan melakukan hubungan seksual yang beresiko pada kehamilan tinggi, akses kontrasepsi darurat atau morning pills tidak bisa didapatkan di Indonesia.

“Tiga itu jadi solusi yang penting dan poin pertama (pemberian akses dan pendidikan) HKSR (Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) harus dilakukan paling awal. Ini sudah jadi evidence based di beberapa negara yang berhasil menekan angka KTD,” jelas Marcia.

Senada dengan Marcia, Eko juga mengungkapkan akses dan pendidikan HKSR memang jadi sangat penting di Indonesia untuk menekan angka KTD. Pasalnya menurut Eko masih banyak masyarakat Indonesia yang bahkan tidak mengerti informasi-informasi mendasar soal tubuhnya sendiri. Hal yang ia anggap adalah dampak langsung dari konservatisme agama yang membentuk ketabuan perbincangan mengenai kesehatan reproduksi di ruang publik.

“Pemerintah perlu memberikan edukasi yang benar tentang kespro bukan hanya sekedar pelajaran biologi atau hanya mengenal tubuh saja tidak terlalu spesifik. Menyebut alat vital aja burung atau bunga padahal secara aspek kesehatan itu tidak benar. Edukasi kespro yang baik dan komprehensif akan memutus rantai KTD pada perempuan,” jelasnya Eko.

Ia pun menambahkan edukasi ini bisa dimasukan ke dalam Undang-Undang Kesehatan. PKBI sendiri bahkan mengusulkan kepada pemerintah agar edukasi ini bisa dimasukkan menjadi mata ajar wajib. Dari level Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

“Diajarkan itu semuanya sampai bagaimana merencanakan keluarga, memutuskan kehamilan, cara mencari pasangan yang benar. Sehingga warga terutama perempuan well informed dan menjadi terbiasa (dengan hak-haknya),” tutupnya.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *