Jepang Belum Jadi Tempat Aman untuk Perempuan
Lelaki Jepang yang ingin membunuh perempuan karena nilai misoginis, menjadi alarm darurat bahwa negara itu belum cukup aman buat perempuan.
Malam itu Yusuke Tsushima naik ke kereta listrik Odakyu di jalur Setagaya, Tokyo dengan satu tujuan: Membunuh perempuan yang ‘tampak bahagia’. Untuk ‘menjalankan misinya itu, Tsushima membawa pisau, gunting, minyak, dan korek api. Ia pun mulai menusuk penumpang dengan acak dari gerbong ke gerbong lain. Dikabarkan media, ia bahkan mencoba membakar satu gerbong.
Aksi penusukan oleh laki-laki berusia 36 tahun itu memakan 10 korban luka-luka yang juga mengaku tidak mengenal Tsushima. Kondisi paling parah dialami mahasiswi berusia 20 tahun dengan luka tusuk yang tersebar di badannya. Peristiwa itu terjadi tiga hari yang lalu.
Tsushima sempat melarikan diri ketika kereta diberhentikan secara paksa. Meskipun begitu, ia akhirnya menyerahkan diri kepada polisi dengan alasan ‘lelah menghindar’. Ia pun mengaku sengaja melakukan aksinya di kereta cepat karena di sana, penumpang ‘terperangkap’ dan tidak bisa menyelamatkan diri. Dengan demikian, ia bisa membunuh banyak orang.
Ketika ditanya lebih lanjut oleh polisi tentang motif melakukan tindakan kriminal itu, Tsushima mengatakan ingin membunuh karena ‘kesal’ ditolak perempuan dan dipermalukan oleh orang lain.
“Sudah enam tahun saya mau membunuh perempuan yang tampak bahagia. Siapa saja bisa (menjadi korban),” ujarnya dikutip dari Kyodo News.
Baca juga: Kesepian dan Isolasi: Musuh dan Tema Utama Karya Sastra Jepang
Ancaman Kekerasan Perempuan Jepang
Kasus penyerangan itu menyorot bentuk ekstrem dari ancaman kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan Jepang. Aksi kriminal Tsushima memang tidak terjadi berulang kali. Meskipun begitu, dalam kesehariannya perempuan juga tetap menjadi korban dari perilaku misoginis. Ini tampak dari fenomena butsukariya atau laki-laki yang sengaja menabrak atau menyenggol perempuan di dalam stasiun. Kasus bustukuriya sering terjadi saat stasiun ramai agar pelaku bisa langsung bebas dari konsekuensi dengan dalih sedang terburu-buru. Aksi tersebut juga berbasis atas ketidaksukaan pada perempuan.
Butsukariya sempat ramai dibicarakan ketika sebuah video viral menunjukkan seorang laki-laki sengaja menabrak perempuan di stasiun Shinjuku pada 2018. Di stasiun paling ramai di Jepang itu, si pelaku bisa menabrak siapa saja jika memang tergesa-gesa. Namun, dari cuplikan video, pelaku memang tampak sengaja memilih perempuan.
Dikutip dari Japan Today, setelah kasus tersebut, pengawasan dan keamanan di stasiun semakin ditingkatkan. Maret lalu, butsukuriya kembali ramai disorot di Jepang. Mereka berterima kasih pada perempuan pegulat profesional Hiroyo Matsumoto ketika berhasil ‘membanting’ balik seorang butsukuriya.
Baca juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
Tantangan seperti itu juga kadang dibarengi dengan aksi pelecehan seksual. Jepang memang memiliki reputasi buruk terkait keamanan dan kenyamanan perempuan karena chikan atau laki-laki cabul di dalam kereta. Chikan sering meraba-raba tubuh perempuan bahkan memegang area genital ketika penumpang sedang berdesakan. Lebih buruknya lagi, aksi kekerasan tersebut dinormalisasi dengan diadaptasi dalam konten pornografi.
Dilansir situs Suki Desu, serangan terhadap perempuan itu sering terjadi karena masyarakat Jepang cenderung pasifis atau menghindari konflik dan konfrontasi. Perempuan memilih untuk diam daripada membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Maka dari itu, dua anak perempuan yang tidak takut mengejar dan meneriaki chikan yang melecehkan mereka di stasiun Akabane menjadi sorotan dan mendorong orang-orang lain juga melawan saat dilecehkan.
Berkaca dari situasi itu, walaupun menduduki peringkat sembilan sebagai negara paling aman dalam Global Peace Index 2021, Jepang masih belum menciptakan ruang aman bagi perempuan.
Aktivis perempuan Sachiko Ishikawa di akun media sosialnya juga sering menekankan hal yang sama. Dalam cuitannya, ia menekankan situasi yang mengancam perempuan memang tidak hanya terjadi di Jepang, tapi tetap saja Jepang menjadi tempat yang berbahaya untuk orang-orang yang bukan laki-laki cis-gender.
Pembiaran Perilaku Misoginis dan Seksis
Dalam laporan Violations of Women’s Right in Japan oleh UN Committee Against Torture disebutkan alasan kekerasan berbasis gender masih menjadi isu yang tidak kunjung selesai. Salah satunya ialah karena pemerintah belum menganggapnya sebagai suatu hal yang serius. Selain itu, masih minim kesadaran bahwa kekerasan yang dialami perempuan didasari oleh stereotip gender, dan ketidaksetaraan di ranah sosial maupun ekonomi.
Pemerintah Jepang menggadang-gadang akan menghilangkan diskriminasi tersebut dengan cara ‘mengangkat’ perempuan di posisi strategis. Hal ini karena Jepang berada di posisi 120 dari 156 negara dalam gender gap index. Namun, pemerintah belum memperbaiki isu budaya patriarki yang merugikan perempuan secara sistemik. Seksisme dan nilai-nilai misoginis juga sudah dianggap sebagai norma di Jepang.
Akiko Matsuo, pendiri gerakan perempuan Flower Demo mengatakan, nilai-nilai patriarki yang dibiarkan berkuasa menjadi alasan kekerasan pada perempuan sangat lancar di Jepang
Momoko Nojo, ketua organisasi pemuda No Youth No Japan juga mengatakan, masyarakat membiarkan komentar atau perilaku seksis dan misoginis terus langgeng karena takut menciptakan konfrontasi. Maka dari itu, orang-orang seperti Yoshiro Mori, mantan kepala Olimpiade Tokyo yang mengatakan perempuan harus tahu ‘tempatnya’, bebas berperilaku ‘buruk’. Ketika mereka meminta maaf, masyarakat langsung bersimpati dan tidak menerima konsekuensi, ujarnya dilansir BBC.
Karena adanya norma tersebut, perempuan pun menginternalisasi nilai-nilai itu, seperti tergambar dari pernyataan politikus Mio Sugita. Ia mengatakan pada 2020 lalu, perempuan suka berbohong tentang kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Selain itu, Sugita juga menyalahkan jurnalis Shiori Ito yang berani maju mengungkapkan kasus pemerkosaannya dalam gerakan #MeToo. Pemerkosaan yang dialami Ito dianggapnya sebagai konsekuensi kesalahannya sebagai perempuan.
Baca juga: Rambut Pendek An San dan Feminisme yang Ditabukan Korea Selatan
Muak dengan situasi tersebut, aktivis dan masyarakat Jepang mulai bergerak sendiri. Misalnya dengan ikut mendukung Shiori Ito, kemudian muncul juga gerakan #KuToo yang menolak pemaksaan mengenakan sepatu hak tinggi bagi perempuan di ranah kerja.
Selain itu, Flower Demo yang juga meminta agar pemerintah Jepang merevisi dan memperberat hukuman bagi pemerkosa dan pelaku kekerasan seksual lainnya. Hukum tersebut dibentuk pada 1907.
Dikutip dari Japan Time, tuntutan perubahan hukum pelecehan seksual itu berupa kenaikan hukuman penjara minimal menjadi lima tahun. Sebelumnya, pelaku dihukum selama tiga tahun. Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah untuk memperluas definisi tindakan pelecehan dengan mengikutsertakan penetrasi anal dan oral. Hal itu pun untuk mengakui adanya korban laki-laki.
Hiroka Shoji, peneliti dari Amnesty International mengatakan, pemerintah memiliki kewajiban untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, mereka juga mesti memberikan kesempatan pekerjaan dan pendidikan yang setara. Pemerintah juga tidak bisa memandang seseorang lebih superior karena jenis kelamin atau gendernya.
“Daripada menderita karena diskriminasi dalam diam, perempuan Jepang harus meminta pertanggungjawaban pemerintah untuk hak kita,” ujarnya seperti dikutip dari Time.