December 5, 2025
Culture

‘Addison’: Album Mengejutkan dari Si Bintang Tiktok yang Jadi Bintang Pop

Tidak ada heartbreak, tidak ada longing for a man dalam ‘Addison’.

  • July 15, 2025
  • 5 min read
  • 1108 Views
‘Addison’: Album Mengejutkan dari Si Bintang Tiktok yang Jadi Bintang Pop

Sebelum album Addison dirilis, saya nyaris tak kenal siapa Addison Rae. Tidak sebagai salah satu TikToker paling terkenal di dunia, apalagi sebagai penyanyi. Semua berubah saat Charli xcx merilis versi remix Von Dutch dan menyertakan Addison sebagai featured artist

Performa vokal Addison di situ tidak bisa dikatakan impresif. Namun, saya ingat betul saat pertama kali mendengar lengkingan teriakannya di chorus kedua (yang saat ini jadi ciri khasnya), saya sadar ada yang unik dari Addison.

Lewat Brat, Addison Rae masuk dalam orbit budaya pop secepat album itu melesat jadi tren di internet hingga dapat 9 nominasi Grammy. Salah satu daya pikat Brat—yang tidak hanya sukses besar secara komersial dan kritikal ini, adalah bagaimana ia menciptakan semacam semestanya tersendiri, yang tak hanya diisi oleh kolaborator (Troye Sivan, Lorde, Billie Eilish, dan Addison Rae), tapi juga gerombolan it girl, spirit utama yang diusung Brat (Alex Consani, Julia Fox, Gabriette). Dan dari sanalah, momentum Addison terbentuk. 

Baca juga: Mengalami “BRAT”, Mendalami Sisi ‘Pop Girlie’ Charli

Dengan dukungan eksplisit dari Charli—salah satu figur paling terpercaya untuk urusan “taste-making” pop saat ini—Addison Rae diuntungkan dengan membawa sesuatu yang jarang dimiliki selebritas internet yang mencoba jadi seniman serius: kredibilitas.

Album debutnya, Addison, lahir di tengah ekspektasi yang campur aduk. Tapi sejak dirilisnya lima single pendahuluan, antusiasme publik mulai terbentuk. Responsnya nyaris universal: loh, kok… bagus? 

Seorang figur yang awalnya tidak dianggap serius karena terkenal berkat joget-joget di TikTok, ternyata punya visi artistik yang jelas. Diet Pepsi, single perdananya, langsung mencuri perhatian lewat hook yang instan menempel di kepala, delivery berbisik semi mendesah, dan perubahan nada yang memunculkan sensasi mengawang. Lalu datang High Fashion, favorit saya sejauh ini, dengan ketukan synth lambat yang mengingatkan pada rilisan awal James Blake, sebelum kemudian membuka ruang untuk chorus yang sangat quotable.

I don’t need your drugs

I’d rather get, rather get high fashion

I don’t want cheap love

I’d rather get high fashion

Baca juga: ‘Man of the Year’ dari Lorde dan Sejarah Panjang Nyanyian Sumbang Melawan Patriarki

Lirik-lirik di album ini punya benang merah tematik: kesadaran Addison sebagai selebriti muda yang hidup di tengah glamor dan budaya konsumerisme. Tapi, ia tidak meromantisasi semua itu. Sebaliknya, ada kejenuhan dan renungan eksistensial di dalamnya. 

My life moves faster than me,” nyanyinya di Times Like These—sebuah keluhan generasi Z yang lelah akan budaya hustle culture yang terus menuntut lebih. 

Menarik juga untuk dicatat, bahwa tidak ada satu pun lagu dalam album ini yang bercerita tentang laki-laki atau menjadikan relasi romantis sebagai pusat narasi. Tidak ada heartbreak, tidak ada longing for a man.

Addison bukan album pop yang lurus-lurus saja. Hanya ada beberapa lagu yang benar-benar bisa dibilang danceable; selebihnya justru pelan, atmosferik, dan memberi ruang bagi vokal Addison untuk menjadi fokus. Ini adalah pendekatan yang lebih mirip Brat daripada Britney. Nuansa James Blake sangat terasa: synth yang tebal dan terus berubah bentuk, arpeggio yang menjelajah, dan beat yang memberi misteri. Sentuhan lain yang kentara adalah Bedtime Stories-nya Madonna, era awal Grimes, serta pop-R&B synth-y à la Jessy Lanza.

Di tengah lanskap industri pop arus utama hari ini yang secara garis besar bisa dipetakan berdasarkan: tim Max Martin (Taylor Swift, Ariana Grande), Jack Antonoff (Taylor Swift, Lana Del Rey, Sabrina Carpenter), atau Dan Nigro (Olivia Rodrigo, Chappell Roan), Addison lahir dari hasil persekutuan tim produser yang semuanya perempuan: Elvira Anderfjärd dan Luka Kloser. Hasilnya, adalah album dengan sound yang terdengar segar, dan tidak terjebak dalam pola produksi yang itu-itu saja. 

Addison, Britney, dan Telegenik sebagai DNA Pop

Sejak 2021, saat Addison bilang hidupnya mirip Britney dalam sebuah interview, internet belum berhenti membanding-bandingkan keduanya. Di Tiktok, maupun di Reddit.

Sebagai penampil, sejauh ini Addison punya ciri menarik: Ia adalah seniman visual. Ada sesuatu yang sangat telegenik tentang dirinya—cara ia menatap kamera, cara tubuhnya bergerak, cara musik videonya mendefinisikan musikalitasnya. Dan dari sinilah perbandingannya dengan Britney Spears jadi masuk akal.

Kemiripan keduanya bukan dari segi vokal atau musikalitas. Apalagi dari showmanship di atas panggung, rasanya Addison bakal sulit untuk menyamai Britney. 

Jika dilihat lebih dalam, keduanya berbagi DNA pop yang sama: tentang bagaimana mereka bisa berfungsi layaknya kanvas kosong dan medium perantara. Saya tidak bilang keduanya sekadar penampil yang visi artistiknya didikte oleh orang lain. Justru sebaliknya. Britney dan Addison sama-sama punya kemampuan menyerap berbagai estetika dan persona, lalu menampilkannya kembali sebagai sesuatu yang terasa utuh dan otentik. Ditambah lagi, lensa kamera cinta wajah mereka.

Konteks ini yang membedakan Addison dengan Tate McRae—artis pop lain yang juga ditempatkan dalam warisan Britney, hanya karena ia jago menari. Jika Tate adalah penampil yang menjual olah tubuhnya, Addison adalah visual artist yang menjinakkan kamera. Tate tidak diragukan memang seorang penari yang brilian. Tapi secara kepribadian artistik, hubungan dengan kamera, serta sensibilitas dalam membangun persona, kesamaan Tate dengan Britney sangatlah tipis.

Justru Addison—yang secara teknikal menari tidak selihai Tate—punya sensibilitas artistik yang sejalan dengan Britney; keduanya sama-sama menjadikan video musik sebagai medan tempurnya. Dan strategi paling cerdas dari peluncuran album ini adalah menjadikan video klip sebagai medium utama untuk memperkenalkan Addison sebagai artis.

Pitchfork, yang terkenal pelit nilai, memberi Addison skor 8. “Album perdana Rae, Addison, mendapat sambutan baik setelah serangkaian singel yang luar biasa, masing-masing sedikit lebih aneh dari sebelumnya,” tulis Meaghan Garvey di Pitchfork.

Saya masih mencerna album ini. Tapi, saya ingin melihat lebih banyak visual, karena New York dan Money Is Everything layak dapat momen mereka masing-masing. Saya ingin tahu lebih banyak tentang Addison Rae bukan sebagai selebriti, tapi sebagai artis pop yang sedang—dan mungkin akan terus—membentuk dirinya di depan mata kita. Dengan tidak menggaet produser di balik kesuksesan para main pop girls, Addison berjalan di jalurnya sendiri, dan—seperti yang telah dilakukan Charli xcx selama bertahun-tahun sampai akhirnya terkulminasi dalam Brat-–menunjukkan bahwa suara-suara yang menarik sesungguhnya adanya di tier B.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.