
Setelah albumnya Short n’ Sweet memboyong Best Pop Vocal Album di Grammy, Sabrina Carpenter kembali merilis single berjudul Manchild. Lagu ini disebut-sebut jadi lead-single album Man’s Best Friend yang akan dirilis 29 Agustus mendatang.
Seperti lagu-lagu Sabrina Carpenter sebelumnya, Manchild dikemas lewat lirik pop catchy dengan MV yang enggak kalah “centil”. Dalam video itu, Carpenter tampak sedang dalam perjalanan dan berkali-kali menumpang kendaraan lelaki yang berbeda-beda, seolah menggambarkan gimana dinamika perempuan yang menjalin hubungan dengan seorang manchild.
Tapi, apa sih manchild—istilah yang belakangan juga ramai di media sosial?
Manchild adalah sebutan buat laki-laki dewasa yang sikapnya masih kekanak-kanakan. Istilah ini sebenarnya bukan hal baru di budaya populer. Di tahun 80-an, ada istilah Peter Pan Syndrome yang pertama kali dikenalkan lewat buku The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up (1983). Karakter Peter Pan sendiri digambarkan sebagai laki-laki yang menolak tumbuh dewasa dan hanya mementingkan diri sendiri.
Baca juga: Review ‘Hit Me Hard and Soft’: Album Billie Eilish Terbaik
Sementara esai berjudul Comedy’s Obsession with the Man-child Archetype menyebut karakter manchild ini muncul dari budaya anak laki-laki 90-an dan dibesarkan dalam gross-out comedy tahun 2000-an.
Ketidakdewasaan sering kali dianggap hal yang lucu, bahkan jadi bagian dari maskulinitas itu sendiri. Makanya, gak heran laki-laki yang bersikap kekanak-kanakan justru sering digambarkan charming dan bikin penasaran.
Dalam esai yang sama, Ivy Nicholls juga mencontohkan film Knocked Up (2007) sebagai “perayaan” karakter manchild. Ben (Seth Rogen) dan Alison (Katherine Heigl) bertemu di sebuah pesta, lalu terjadi one night stand yang berbuntut kehamilan tak disengaja. Kejadian ini dijadikan “alat” untuk memaksa Ben belajar dewasa dan bertanggung jawab.
Tapi sayangnya, alih-alih memperlihatkan bagaimana kehamilan merusak hidup dan menghancurkan karier perempuan. Film ini lebih memberi kesan perempuan yang mengganggu hidup laki-laki yang masih ingin bersenang-senang.
Baca juga: Review Album ‘Midnights’ Taylor Swift: Belajar Mencintai Sisi Gelap Kita
Istilah manchild sendiri sebetulnya dekat dengan kehidupan kita. Di Indonesia, istilah “bayi gede” bahkan sering kali diromantisasi untuk menunjukkan bagaimana laki-laki, entah itu kakak, pacar, atau suami harus selalu “dilayani”.
Di dalam pola pengasuhan yang masih patriarkal dan membagi peran gender tradisional, anak laki-laki sering kali diperlakukan “istimewa”. Pekerjaan domestik dibebankan ke anak perempuan, sementara anak laki-laki harus “dilayani”. Akibatnya, anak laki-laki enggak bisa basic life skill seperti memasak, beres-beres rumah, atau kerja-kerja perawatan. Tak dibiasakan membuat keputusan dalam hal-hal kecil di rumah juga tak jarang membuat laki-laki jadi tak tahu caranya mengambil keputusan atau indecisive.
Pola pengasuhan patriarkis enggak cuma bikin laki-laki minim basic life skill tetapi juga susah mengartikulasi emosi. Laki-laki dikondisikan buat percaya kalau mereka adalah makhluk yang kuat dan enggak boleh berkeluh kesah karena bakal dicap lemah oleh society.
Akibatnya, ketika dewasa, banyak laki-laki kesulitan menyadari dan menyampaikan perasaannya sendiri. Mereka bingung membedakan antara marah, sedih, atau kecewa, dan cenderung memendam atau melampiaskannya secara enggak sehat. Ini bikin mereka enggak tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan, susah membuat keputusan, dan gampang kabur dari tanggung jawab emosional baik dalam hubungan maupun kehidupan pribadi.
Hal yang sama soal pola pengasuhan juga sedikit disinggung Carpenter dalam lagu ini:
Why so sexy if so dumb?
And how survive the earth so long?
If i’m not there, i’m not get done
I choose to blame your mom
Baca juga: Manchild: Fenomena Lelaki Dewasa yang Menolak Dewasa
Mungkin kita bertanya-tanya kenapa Sabrina Carpenter justru memilih “menyalahkan ibu”, tapi mungkin ini bukan soal menyalahkan ibu secara personal. Lirik ini cenderung menyinggung bagaimana perempuan sering dibebankan jadi pengasuh utama, akhirnya anak perempuan disiapkan jadi penerus yang harus bisa semua pekerjaan rumah dan pengasuhan.
Sikap manchild ini juga akan berpengaruh ketika laki-laki akhirnya menjalin hubungan dengan orang lain. Banyak perempuan usia 20-30an yang pernah menjalin hubungan dengan manchild mengatakan lelah dan berakhir memutuskan untuk berpisah.
Artikel Vice, berjudul Peneliti Simpulkan Perempuan Ilfil dengan ‘Man-Child’ Alias Cowok Macam Bayi Gede menjawab hal yang sama, mereka memilih meninggalkan tipe laki-laki seperti ini. Kebanyakan bercerita kalau mengencani manchild terasa menyusahkan karena mereka enggak bisa diandalkan, terutama dalam pembagian kerja rumah tangga.
Lewat Manchild, Carpenter enggak hanya memotret rumitnya pengalaman menjalin relasi sama laki-laki yang kekanak-kanakan. Lagu ini justru membuka obrolan lebih dalam, bagaimana pola pengasuhan berpengaruh menentukan karakter seseorang ketika dewasa dan bagaimana mereka menjalin relasi dengan orang lain.
So, what do you guys think?
