Amnesti untuk Baiq Nuril dan Langkah Besar Selanjutnya
Menyusul persetujuan amnesti untuk Baiq Nuril, DPR diharapkan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang membawahi isu hukum, hak asasi manusia, dan keamanan secara resmi menyetujui surat pertimbangan Presiden Joko Widodo soal pemberian amnesti terhadap korban pelecehan seksual yang tersandung Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun.
Keputusan tersebut disampaikan dalam rapat kerja Komisi III bersama dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, pada Rabu sore (24/7). Hasil putusan tersebut diharapkan dapat masuk dalam rapat Paripurna DPR Kamis besok.
“Sesuai dengan mekanisme, Komisi III sudah mengadakan pleno, telah diputus dan diberi pandangan dari 10 fraksi dan hadir 6 fraksi secara aklamasi dapat memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk dapat diberikan amnesti kepada Baiq Nuril,” ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsudin dari Fraksi Golkar.
Yasonna mengatakan pemberian amnesti ini merupakan pesan yang kuat dari Presiden dan juga DPR.
“Besarnya respons positif dalam pemberian amnesti dari masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan ini memberikan jelas pesannya, kita melindungi perempuan yang memperjuangkan hak, harkat dan martabat perempuan,” ujar Yasonna kepada wartawan usai rapat kerja.
Terkait UU ITE yang menjerat Nuril, Yasonna mengatakan bahwa pemerintah akan membahasnya kembali dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Baca juga: MA Seharusnya Memakai PERMA Perkara Perempuan untuk Baiq Nuril
“Undang-undang ITE nanti akan kita bahas lagi dengan Kemenkominfo. Sudah ada pikiran ini, tapi masa sidang ini ‘kan tinggal dua bulan, jadi tidak mungkin dalam waktu dekat, rencana undang-undang amnesti dan abolisi juga kita siapkan sekarang. Pastilah kita bawa nanti pada masa periode DPR mendatang,” ujarnya.
Keputusan dari Komisi III ini disambut dengan seruan rasa syukur dari Nuril dan semua orang yang berada dalam ruangan.
“Saya cuma bisa mengucapkan terima kasih kepada Komisi III,” ujarnya sambil terisak.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati, yang hadir dalam rapat kerja tersebut mengapresiasi keputusan Komisi III. Ia mendorong agar Komisi III juga memberikan dukungan bagi pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang akan memberikan kesetaraan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak.
“Saat ini kami sedang melakukan advokasi pembahasan yang juga terkait erat dengan RUU Hukum Pidana. Kemarin saat pertemuan panitia kerja (panja) pemerintah dengan panja RUU PKS di Komisi VIII, salah satu klausulnya adalah sinkronisasi pembahasan RUU PKS dengan pembahan RKUHP,” ujar Sri dalam rapat tersebut.
Baca juga: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong Komisi III agar dapat mengomunikasikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), terutama kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Mataram untuk menindaklanjuti kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Nuril.
Presiden Joko Widodo pada 15 Juli 2019 memberikan surat permohonan amnesti untuk Nuril kepada DPR, menyusul bergulirnya petisi daring “Amnesti untuk Nuril” yang mendapatkan hampir 300 ribu tanda tangan.
Nuril merupakan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban pelecehan seksual oleh atasannya, kepala sekolah SMA tersebut. Alih-alih mendapatkan keadilan, ia dikriminalisasi setelah melaporkan pelecehan seksual itu dengan membawa bukti rekaman suara. Rekaman tersebut kemudian disebarluaskan oleh pihak lain yang menjanjikan akan membantu Nuril mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke DPR. Oleh pelaku, Nuril dituntut mencemarkan nama baik dengan menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
Pengadilan tingkat pertama menyatakan Nuril tidak bersalah, namun Mahkamah Agung pada November 2018 memvonisnya enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. Permintaan untuk peninjauan kembali (PK) kepada MA juga ditolak 4 Juli 2019.