Komnas Perempuan: MA Seharusnya Pakai PERMA Perkara Perempuan untuk Baiq Nuril
Jika kasus Baiq Nuril didasarkan pada PERMA perkara perempuan dan perspektif gender, hak-haknya sebagai korban tidak akan diabaikan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengkritik Mahkamah Agung karena tidak memakai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mengenai perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum dalam kasus korban pelecehan seksual Baiq Nuril Maknun.
November lalu, publik dikejutkan oleh putusan kasasi MA yang memvonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta untuk Nuril, seorang guru SMA dari Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang dinyatakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ia dikriminalisasi setelah melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan atasannya, kepala sekolah SMA tersebut, dengan membawa bukti rekaman suara. Tetapi rekaman tersebut disebarluaskan oleh pihak lain yang menjanjikan akan membantu Nuril mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke Dewan Perwakilan Rakyat. Karena ini, Nuril dilaporkan telah melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yaitu pencemaran nama baik dengan menyebarkan dokumen elektronik.
Pengadilan tingkat pertama menyatakan Nuril tidak bersalah, namun MA menetapkan ia bersalah dan menghukumnya. Permintaan untuk peninjauan kembali (PK) kepada MA juga ditolak 4 Juli 2019.
“Walaupun menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh diintervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini,” ujar Budi Wahyuni, Wakil Ketua Komnas Perempuan, pada konferensi pers di kantornya, Senin (8/7).
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengatakan keputusan dan pertimbangan hakim seharusnya didasarkan pada PERMA tersebut untuk semua perempuan, baik posisinya sebagai saksi, korban, atau bahkan terdakwa.
“Walaupun di dalam kasus ini Baiq Nuril adalah terdakwa, jika kita melihat kasus ini berdasarkan PERMA dan juga dengan perspektif gender, kita tidak bisa melupakan bahwa Baiq Nuril adalah korban juga. Seharusnya hak-hak dia sebagai korban tidak ditinggalkan,” ujarnya.
Pengabaian atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh MA dan ketidakmampuan polisi dalam mengenali pelecehan seksual non-fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul, telah menghilangkan hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, ujar Budi.
“Padahal PERMA ini adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan,” katanya.
Sri mengatakan bahwa kasus seperti ini dapat diminimalisasi jika sejak proses awal, polisi sudah dapat menentukan korban pelecehan seksual dengan pedoman yang lebih lengkap menjelaskan tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual.
“Di dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah ditentukan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Lima hak bukti yang sah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga ditambahkan,” ujarnya.
Karenanya, Komnas Perempuan mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan memastikan kesembilan jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual dalam RUU tersebut tetap dapat dipertahankan.
“Apalagi karena tampak ada kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya pada perempuan,” ujar Budi.
“Selain itu, kami juga meminta Presiden RI untuk memberikan amnesti kepada Nuril sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual,” tambahnya.
Keterbatasan yang dimaksud oleh Budi adalah belum adanya kesetaraan perlindungan dari pemerintah, sebagaimana diatur dalam prinsip afirmasi yang dimungkinkan oleh Konstitusi, dan prinsip due dilligence yang ada dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1984.
“Diharapkan dengan menggunakan perspektif gender, bentuk-bentuk kekerasan seksual di RUU PKS dan juga mengoptimalkan PERMA 3/2017 dari awal proses penerimaan laporan hingga persidangan, kasus seperti Baiq Nuril ini dapat diminimalisasi ke depannya,” ujar Sri Nurherwati.
Baca juga soal kejahatan perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.
Foto dari SAFENet