Lifestyle

Antara Mamak, TV, dan Saipul Jamil: Pengalaman Saya Nonton Bareng ‘Boomer’

Benci sinetron Indonesia tetapi memaafkan pelaku kekerasan seksual, memahami cara pandang ibu saya dari program TV yang ia tonton selama dua minggu.

Avatar
  • September 7, 2021
  • 7 min read
  • 1309 Views
Antara Mamak, TV, dan Saipul Jamil: Pengalaman Saya Nonton Bareng ‘Boomer’

Sebagai generasi milenial kohort 90-an, saya merasakan masa-masa kejayaan televisi Indonesia yang dulu masih menyiarkan kartun-kartun Jepang dan Nickelodeon. Saya ingat betul, saking senangnya menonton televisi, rebutan remot dengan kedua orang tua adalah rutinitas saban hari. Mereka ingin menonton acara TV lain, sedangkan saya setia nonton kartun di stasiun TV Space Toon (yang akhirnya gulung tikar).  

Ketika ayah saya meninggal dunia, lawan saya rebutan remot TV tinggal Mamak seorang. Namun, aksi rebutan remot TV ini intensitasnya kian berkurang saat kartun-kartun Jepang dan Nickelodeon menghilang satu-persatu, digantikan oleh acara gosip. Saya semakin tidak berselera menonton tayangan televisi Indonesia, hingga suatu hari saya meminta Mamak untuk pasang layanan TV kabel. Sialnya, ketika kami sudah punya beragam pilihan saluran TV, saya malah tidak memiliki waktu untuk menonton TV.  

 

 

Namun, baru-baru ini karena saya mulai melakukan puasa gawai sebelum tidur, saya akhirnya kembali bercengkrama dengan televisi. Saya pikir, karena di rumah kami sudah memasang TV kabel, Mamak saya bakal lebih sering menonton film dan serial drama luar negeri, ternyata?

Dari sekian banyak pilihan, Mamak saya masih bertahan menonton saluran TV Indonesia, bahkan punya jadwal rutin tersendiri. Saya semakin penasaran dengan kebiasaan menonton TV Mamak saya, dan memutuskan untuk ikut menonton dengan beliau selama dua minggu kemarin.    

Baca juga: Bikin Tambah PD? Tidak Juga: Pengalaman Saya Seminggu ‘Full Make-up’

Jadilah Seperti Mamak Saya, Antara Acara Keagamaan dan Gosip Seimbang

Pagi hari, setelah melaksanakan salat Subuh, biasanya Mamak sudah menyalakan televisi, dan menonton salah satu acara keislaman idola emak-emak, Islam itu Indah di Trans TV. Biasanya, Mamak saya sengaja membesarkan volume televisinya sebagai teguran halus buat saya. Mamak memang tipikal ibu Sumatra Barat yang sangat taat dengan agama. Beliau juga yang masih istiqomah menyuruh saya untuk memakai jilbab dan berhijrah ke jalan Senoparty, eh jalan yang lurus maksudnya. 

Jika acara tersebut sedang membicarakan tentang aurat perempuan, ibu saya langsung berkomentar,

“Tuh, denger tuh, aurat perempuan itu seluruh badan kecuali telapak tangan dan muka, ini kamu malah melanggar semuanya.” ujar ibu tanpa melirik ke arah saya.  

Saya yang sudah sering diceramahi soal ini, cuma melengos dan pura-pura tidak mendengar omongannya. Soalnya, masa iya pagi-pagi sudah debat perkara agama? Saya kan bukan masbro-masbro ndakik-ndakik fafifu wasweswos yang suka masturbasi intelektual di Twitter. Mungkin cerita akan berbeda ketika saya masih kuliah, dan bakal menjawab dengan marah-marah. Namun, setelah bertahun-tahun diceramahi macam ini, saya pun mulai berdamai dengan cara pandang keagamaan Mamak yang berbeda. 

Setelah diceramahi soal agama selama satu jam lebih, biasanya Mamak tidak beralih ke saluran TV lain. Lalu di jam 7 pagi, beliau lanjut menonton acara gosip seputar selebriti. Bingung kan, lo? Sama, saya juga. 

Selama dua minggu kemarin, saya melihat salah satu contoh keseimbangan duniawi versi emak-emak. Berita atau gosip seputar selebriti yang ditonton Mamak saya enggak jauh-jauh dari kabar istri/ suami artis A yang berselingkuh dan minta cerai, artis B yang melaporkan netizen ke polisi dengan UU ITE, dan keluarga artis yang sedang berlibur ke luar negeri ketika pandemi. Sungguh sebuah informasi yang berbobot abizzz. 

Jika jadwal acara gosipnya terlewat? Oh tidak perlu gundah gulana, acara gosip di televisi saat ini tayang seperti jadwal kita makan obat, yaitu 3x sehari, dari pagi, siang dan sore, atau malam. Alih-alih mendapatkan konten yang beragam, Mamak lebih banyak mendapatkan gosip seputar selebriti yang beragam absurd-nya.   

Baca juga: Respons Lelaki pada Feminis Radikal di Aplikasi Kencan: Ujung-ujungnya Seks

Mamak Benci Sinetron karena Suka Bikin Perempuan Sengsara

Selama dua minggu mengamati Mamak saya menonton televisi, saya jarang sekali bahkan hampir tidak pernah melihat Mamak menonton sinetron Indonesia. Beberapa hari lalu, saya iseng mengganti ke acara sinetron, dan misuh-misuh melihat karakter perempuan yang dibuat sangat baik plus naif menghadapi cobaan. Saking gemasnya, saya tak henti-hentinya berkomentar, dan saya agak kaget ketika ibu saya satu pikiran dengan saya. 

“Ya begitulah sinetron, perempuan cuma diinjek-injek aja di sana, kok ya mau aja diinjek sama laki-laki,” celetuk Mamak. 

Wow, ternyata walau konservatif dalam urusan pakaian, Mamak tetap anti perempuan yang diinjak laki-laki. Bagi saya, ini merupakan sisi baru yang saya kenal dari Mamak. Ternyata, beliau anti banget menonton sinetron gara-gara hal tersebut. Saya jadi iseng bertanya gimana kalau misalnya yang main sinetronnya si Lesti dan Bilar, ship artis favorit beliau, dan beliau dengan tegas tetap menjawab, 

“Enggak dulu.”

Baca juga: Satu Minggu Tanpa Handphone Sebelum Tidur, Ini yang Saya Alami

Selain Sinetron, Mamak Juga Enggak Suka Dangdut Pantura dan Film Horor

Mamak adalah salah satu die hard fans lagu dangdut. Kecintaan terhadap dangdut beliau perlihatkan dari betapa disiplinnya setiap malam menunggu acara Dangdut Academy (D’Academy) di Indosiar dari musim pertama di 2014 hingga tahun ini. Genap sudah beliau menjadi fans acara ini selama 8 tahun. Acara ini juga yang membuat Mamak saya betah menonton TV sampai larut malam, ketika anaknya sudah K.O di jam 9 malam, Mamak masih sibuk menonton D’Academy sampai jam 11 malam. 

Acara dangdut ini bukan sekadar ajang pencari bakat penyanyi saja, tetapi setiap harinya, kita juga disuguhkan dengan sisi-sisi “kemanusiaan” tiap pesertanya. Tim kreatif seringkali mengangkat sisi-sisi mengharukan para peserta, bahkan satu peserta bisa memiliki durasi satu jam sendiri. 

Cerita yang mengharu-biru itu semakin dieksploitasi jika si peserta berasal dari keluarga tidak mampu. Saya jadi geuleuh sendiri, bagaimana media sering kali menjual cerita-cerita menyedihkan demi keuntungan mereka. Kalau Mamak, sih, malah sampai berkaca-kaca tiap kali menontonnya. 

Nah, karena D’Academy tahun ini sudah berakhir, dan diganti oleh acara pencarian bakat dangdut Pantura, Mamak saya jadi jarang banget menonton TV di malam hari. Saya bingung dong, karena saya tahu betul Mamak ini cinta banget sama aliran musik dangdut. Saya pun bertanya pada beliau,

“Kok enggak nonton dangdut?”

Udah abis Dangdut Academy-nya, sekarang yang lagi tayang itu Dangdut Pantura.”

“Loh, emang kenapa sama Dangdut Pantura? Kan sama-sama nyanyi dangdut juga.”

“Ah, enggak lah Mamak enggak suka, baju perempuannya bakatak-katak (bahasa Minang dari ketat), goyangannya juga seksi banget. Pada enggak malu gitu.

Oalah, Mamak saya ini memang religius banget menyangkut baju, enggak hanya anaknya saja yang diceramahi, bahkan perempuan di televisi pun ikut diceramahi. Karena Mamak sedang jarang menonton TV, saya jadi punya kesempatan untuk menjelajah acara malam di TV Indonesia, kebetulan hari itu, di ANTV sedang ada film horor Indonesia berjudul The Secret: Suster Ngesot Urban Legend (2018). 

Film ini benar-benar bikin saya sakit kepala. Film berkisah tentang Kanaya (Nagita Slavina) yang baru saja pulang studi dari luar negeri, dan mendapati papanya (Roy Martin) memiliki istri baru (Tyas Mirasih) yang umurnya ternyata sama dengan dirinya. Singkat cerita, Papa Kanaya mengadakan pesta penyambutan besar-besaran untuk anak semata wayangnya itu. Dalam pesta itu, Kanaya bertemu dengan Teddy (Raffi Ahmad) pria yang sudah lama berhubungan dengan Kanaya. Nah, dari sini plot cerita semakin absurd. 

Kok masih lu tonton, Lam? 

Ibu saya juga bilang hal serupa ketika saya misuh-misuh tiap 5 menit sekali. Ini mungkin kutukan orang kepo yang enggak bisa menonton suatu film setengah-setengah walau filmnya ancur banget. Yaudah, sih enggak usah ditonton.” Mamak sendiri sebetulnya juga ogah menonton film horor karena enggak suka dikagetin setannya. 

Kesengsaraan saya tidak hanya sampai di situ. Saya pun disiksa dengan jeda iklan yang lamanya bisa sampai kurang lebih 15 menit sendiri. Awalnya, saya tidak terlalu memperhatikan, tapi di tengah-tengah film, kok durasi jeda iklannya bikin naik darah karena luama banget. Eh, ternyata ketika saya mencoba menghitung berapa jumlah iklan dalam setiap jeda, saya kaget sendiri mendapati hitungan saya melebihi 35 iklan. Waw, jika satu slot iklan dihargai Rp100 juta per/tayang, stasiun TV bisa untung miliaran rupiah setiap jeda iklan yang super lama itu. 

Bebasnya Saipul Jamil dan Pendapat Mamak Saya

Selama dua minggu ini, banyak sekali hal-hal yang membuat saya sakit kepala ketika menonton televisi Indonesia bersama Mamak. Puncaknya adalah ketika banyak acara gosip menggembar-gemborkan pembebasan pedangdut Saipul Jamil. Saipul divonis 8 tahun penjara karena melakukan kekerasan seksual pada DS dan menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Ketika melihat salah satu acara gosip membuat siaran langsung pembebasan tersebut, saya auto-tepuk jidat. Masyarakat seolah-olah dengan mudahnya mengesampingkan fakta tentang perbuatan pelaku hanya karena dia sudah masuk penjara dan “bertobat”, dan Mamak adalah salah satu dari masyarakat tersebut. 

“Mak, ngapain ditonton, dia kan pelaku kekerasan seksual”

“Ya, tapi kan dia sudah dipenjara dan sudah tobat.” 

Wah, terima kasih televisi Indonesia! Berkat kalian masyarakat termasuk Mamak saya jadi orang-orang yang pemaaf sama pelaku kekerasan seksual. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *