Culture

‘We Are Lady Parts’: Perempuan Muslim ‘Ngepunk’, Kenapa Tidak?

Serial ‘We Are Lady Parts’ menggambarkan muslimah feminis dalam band punk dan keberagaman komunitas muslim yang jarang disorot media.

Avatar
  • June 25, 2021
  • 5 min read
  • 1266 Views
‘We Are Lady Parts’: Perempuan Muslim ‘Ngepunk’, Kenapa Tidak?

Sebagai perempuan muslim, saya merasa tidak bisa lepas dari cara pandang orang lain terhadap orang seperti saya. Teman-teman yang woke beranggapan saya seharusnya melepas jilbab. Sedangkan teman yang lebih “alim” menganggap tidak pantas perempuan muslim berhijab tergila-gila pada idola K-pop, dan bahwa mendengarkan musik itu adalah haram. Saya merasa sulit menjadi diri sendiri karena harus menjadi satu dimensi dan dinilai hanya dari kain yang menutupi kepala.  

Perasaan gelisah didikte menjadi ini atau itu digambarkan dengan apik dalam serial televisi asal Inggris, We Are Lady Parts, tentang band punk beranggotakan perempuan muslim berhijab dan cara pandang orang lain tentang menjadi muslimah. 

 

 

Amina (Anjana Vasan), si protagonis kikuk dan kutu buku, takut dipandang buruk oleh sahabatnya, Noor (Aiysha Hart), sehingga ia menyembunyikan fakta bahwa dia pemain gitar untuk Lady Parts. Noor menganggap perempuan tidak boleh bertindak “terlalu berlebihan” dan mendengarkan musik cadas bukan sesuatu yang dilakukan muslimah baik. Akibatnya, Amina sulit berkata jujur dan menjalani dua kehidupan sosial yang berbeda.   

Tekanan seperti itu juga dialami Amina bersama Saira (Sarah Kameela Impey), Bisma (Faith Omole), dan Ayesha (Juliette Motamed) sebagai sebuah band. Lady Parts menjadi viral akibat miskonsepsi “perempuan nakalnya Islam” karena perempuan memainkan musik punk pasti tidak suka dengan ajaran agama. Padahal anggota Lady Parts bangga dengan identitas mereka sebagai muslim dan taat beribadah. Mereka menyukai musik punk karena merasa bebas untuk mengekspresikan ketidaksukaan pada nilai patriarkal dan norma sosial yang mengekang.   

Serial karya Nida Manzoor itu menunjukkan realitas yang dialami perempuan muslim dan keharusan untuk memilih antara tunduk pada konformitas atau dihujat publik karena menolak dikotakkan. Sulit bagi perempuan seperti para anggota Lady Parts untuk memiliki keduanya—sebagai pemusik punk dan perempuan muslim yang taat

Dalam situasi yang kompleks seperti ini, perempuan muslim memang tidak bisa menang. Tetapi, tidak memilih dan menjadi diri sendiri adalah bentuk masa bodoh atas persepsi orang lain yang paling lantang. 

Selain itu, pasti ada seseorang yang menerima jati diri tersebut, seperti penggemar Lady Parts yang mendukung musik dan identitas mereka sebagai muslimah feminis yang ngepunk. Lagi pula, perempuan memainkan musik cadas tidak menjadi parameter penilaian muslim yang buruk. 

Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

Representasi Komunitas Muslim yang Tidak Stereotipikal

Komunitas muslim di media hiburan Barat secara stereotipikal adalah teroris atau perempuan yang melepas jilbabnya untuk mencari pembebasan, seperti Nadia dari serial Elite atau Amy dari film Cuties yang kontroversial. Walaupun memang tidak bisa dihindari ada muslim ekstremis, dan pemaksaan sekaligus pelarangan memakai jilbab adalah pelanggaran hak seseorang, kedua stereotip itu tidak merepresentasikan komunitas muslim

Riz Ahmed, seorang aktor muslim, mengatakan komunitas muslim sangat heterogen—tidak semua memiliki sifat yang kasar dan tidak semua muslimah harus diselamatkan. Maka dari itu, representasi yang benar-benar menunjukkan komunitas muslim menjadi penting karena ada pengaruhnya pada isu islamofobia

Sebelum Lady Parts ada serial komedi Ramy, dibintangi oleh komedian Ramy Youssef, tentang kehidupan keluarga keturunan Mesir di AS. Meskipun begitu, serial tersebut dinilai belum inklusif untuk komunitas muslim karena hanya merepresentasikan dan memberikan persepsi orang Islam dari Timur Tengah saja. 

We Are Lady Parts menunjukkan keberagaman yang dimiliki komunitas muslim, khususnya perempuan, dan menolak stereotip karena diciptakan oleh orang muslim untuk komunitas muslim. Setiap episode menampilkan berbagai jenis karakter muslim, dari yang konservatif sampai moderat, seperti akhi-akhi cabul, keluarga konservatif, laki-laki yang ingin poligami, muslim liberal, dan muslim seperti Noor yang agak kolot tetapi modern. 

Baca juga: Film Remaja ‘Unpregnant’ Bicara Soal Tubuhku Otoritasku

Representasi yang beragam itu juga ditunjukkan dari cara berpakaian anggota Lady Parts. Momtaz (Lucie Shorthouse), manajer band dan penjual pakaian dalam, mengenakan niqab dengan gaya punk, seperti menggunakan sepatu bot dan sarung tangan pengendara motor. Momtaz juga menekankan bahwa niqab yang dipakainya bukan sebuah bentuk opresi, tetapi pilihan untuk mendekatkan dirinya pada Tuhan dan memberinya rasa percaya diri. 

Sumber: IMDB

Amina, yang juga mahasiswa S2 biologi, adalah muslimah moderat lainnya yang senang memakai warna pastel. Representasi perempuan muslim tidak berhijab ada pada Saira, sang vokalis yang sangat anti-kapitalisme dan masyarakat patriarkal. Ayesha, si pemain drum, adalah seorang muslim queer, sementara Bisma yang bermain bass adalah ibu rumah tangga yang menekankan nilai kesetaraan gender di keluarganya. Selain itu, serial ini juga merepresentasikan perempuan muslim kulit hitam yang jarang ditunjukkan di media karena stereotip semua muslim adalah bangsa Arab dari Timur Tengah. 

We Are Lady Parts tidak takut menjadi feminis muslim, menentang miskonsepsi media Barat perempuan muslimah yang lemah, dan menunjukkan bahwa “hijau” juga bagian dari pelangi.

Baca juga: Mengenal Amina Wadud, Bintang Rock Feminisme Islam

Hidup Lebih dari Sekedar Mencari Suami

Satu pesan yang dari serial ini yang sangat berkesan bagi saya adalah hidup itu lebih dari sekadar mencari suami. Menurut saya, pesan itu menyinggung nilai heteronormatif masyarakat yang membuat perempuan harus cepat menikah agar tidak dicap perawan tua

Amina mematok kebahagiaan dan menilai dirinya hanya bisa dicintai ketika menemukan suami. Hal itu juga didorong dari tekanan sosial karena teman-temannya yang sudah memiliki pasangan. Amina pun merasa ketinggalan, padahal orang tuanya saja berpesan untuk santai saja mencari suami. 

Ketika dia berfokus mencari suami, Amina bertemu segelintir laki-laki menyeramkan yang tidak sesuai dengan seleranya. Tetapi, saat dia tidak memusatkan energinya untuk segera menikah, Amina menemukan bahwa dia menyukai bermain musik punk, membangun relasi di luar lingkar sosial yang itu-itu saja, bahkan mulai dilirik oleh laki-laki idamannya. 

We Are Lady Parts menunjukkan berbagai isu lain yang dialami perempuan muslim, seperti penolakan dari keluarga karena dianggap “memberontak”, diskriminasi dari orang kulit putih terhadap muslim, pembingkaian media yang menjebak, dan persahabatan perempuan

Walaupun sering terjadi adu mulut dan perkelahian, serial itu tidak menunjukkan permusuhan untuk saling menjatuhkan sesama perempuan. Musuh bersama dalam We Are Lady Parts adalah ekspektasi sosial yang kepada perempuan muslim. Keenam episode serial ini berhasil mengemas kehidupan perempuan muslim non-konformis, tidak takut mengumpat, dan pembenci patriarki, yang jarang disorot media.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *