Sedikit-sedikit Asing Aseng, Cara Prabowo Bungkam Kritik Rakyat
Saat ditanya Tempo apakah dirinya anti-asing, Prabowo menjawab tegas, “Tidak. Saya ini produk asing. Tapi yang saya terima dari Barat adalah life, liberty, and the pursuit of happiness,” katanya. Ia mengklaim selama masih aktif di militer, kerap mengirim perwira untuk belajar ke luar negeri, dan mendorong anak buahnya agar terbuka terhadap ilmu dari luar.
Namun kini, kata “asing” justru jadi polemik. Istilah tersebut kerap dimanfaatkan sebagai kambing hitam oleh pemerintah untuk merespons kritik masyarakat sipil. Pemerintah tampak bersembunyi di balik retorika nasionalisme, dan mengerdilkan gerakan-gerakan kritis yang berkembang.
Dalam sarasehan ekonomi misalnya, Prabowo sempat menyinggung gerakan #IndonesiaGelap. Ia menyindir, “Saya juga heran ada orang yang mengatakan Indonesia gelap. Kalau dia memang merasa gelap, itu hak dia. Tapi kalau saya bangun pagi saya lihat Indonesia cerah.”
Baca Juga : Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa?
Nada serupa terdengar dari Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu pembantu dekatnya, yang menanggapi isu tersebut dengan ucapan, “Yang gelap kau, bukan Indonesia.”
Ungkapan-ungkapan ini mencerminkan gaya komunikasi pemerintah yang kerap memanfaatkan eufemisme—mengaburkan makna sesungguhnya dengan bahasa yang lebih lunak atau simbolik. Hal ini selaras dengan temuan dalam jurnal “Penggunaan Gaya Bahasa Eufemisme pada Pernyataan Resmi Presiden Jokowi Periode 2014–2019“ oleh Kasri Riswadi dkk., akademisi Universitas Hasanuddin. Prabowo dan Luhut memperlihatkan bentuk eufemisme berupa ekspresi figuratif, yakni merespons kritik dengan menggantikan substansi persoalan menggunakan simbol atau sindiran.
Namun di balik retorika tersebut, gelombang protes di jalanan tetap membesar. Selama enam bulan pertama masa jabatan Prabowo sebagai presiden, setidaknya sudah terjadi tiga demonstrasi besar: “Peringatan Darurat”, “Indonesia Gelap”, dan “Tolak RUU TNI“. Ketiganya berlangsung di berbagai daerah secara serentak, dengan catatan serupa: kekerasan aparat terhadap demonstran, mahasiswa, tenaga medis, hingga pengusiran terhadap mereka yang berkemah secara damai di depan gedung DPR, baik di Jakarta maupun Kalimantan Tengah.
Meski demikian, Prabowo menyampaikan pada tujuh media, Indonesia telah bersepakat untuk berdemokrasi. “Orang demo dijamin oleh UUD. Kalau ada abusive yah kita harus investigasi proses secara hukum,” katanya, dikutip dari Kompas TV.
Pertanyaannya kini: Bagaimana sebenarnya pemerintah berusaha membelokkan suara-suara kritis dari substansi persoalan yang diangkat?
Baca Juga : Habis UU TNI Terbitlah RUU Polri: Ini 4 Bahayanya Jika Disahkan
Upaya Mengkerdilkan dan Membungkam Gerakan
Cara pemerintah merespons gelombang protes publik menuai sorotan. Bukannya membuka ruang dialog, pemerintah justru meremehkan dan mengaburkan substansi tuntutan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dalam wawancaranya dengan Magdalene, menilai pernyataan Prabowo hanya memperkecil arti gerakan yang tengah berlangsung di banyak daerah.
Menurut LBH Jakarta, aksi-aksi yang muncul, terutama penolakan terhadap RUU TNI, adalah gerakan organik—bukan mobilisasi bayaran. “Berapa memangnya dana yang diberikan donor yang mampu untuk membayar ribuan mahasiswa peserta aksi? Dan puluhan kota di Indonesia?” ujar Belly, Pengacara Publik LBH Jakarta, mempertanyakan narasi pemerintah.
Fakta di lapangan mendukung pernyataan itu. Data dari Koreksi.org mencatat, dalam rentang 20–30 Maret 2025, aksi penolakan terhadap RUU TNI terjadi di 72 titik di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah ini memperlihatkan masifnya perlawanan yang datang dari bawah, bukan rekayasa dari luar.
Namun alih-alih merespons secara terbuka, pemerintah dan aparat memilih strategi lain: Menggiring opini bahwa gerakan ini ditunggangi asing. Akun resmi Instagram Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI, misalnya, mengunggah video dengan judul provokatif: “Indonesia dalam Bahaya: Antek Asing Bergerak”. Video tersebut menuding KontraS—lembaga yang selama ini vokal mengkritik penyalahgunaan kekuasaan—sebagai pembela kepentingan asing.
Baca Juga : Yang Tak Terlihat dari Pertemuan Prabowo dengan Pemimpin Redaksi Media
Narasi ini muncul tak lama setelah kelompok masyarakat sipil, termasuk KontraS, berhasil mendobrak ruang-ruang tertutup pengambilan kebijakan. Mereka mengungkap bahwa pembahasan revisi Undang-Undang TNI dilakukan secara diam-diam oleh DPR dan pemerintah di Hotel Fairmont—jauh dari pantauan publik.
Ketimbang berdiskusi di ruang sidang yang terbuka dan akuntabel, pembahasan krusial soal militer justru dilakukan di hotel mewah. Tak heran jika kecurigaan publik makin besar, dan suara kritis justru semakin nyaring.
















