Madge PCR

Apa itu Aromantisme: Tak Tertarik pada Semua yang Serba Romantis

Sering dianggap belum menemukan sosok yang tepat untuk menjadi pasangan merupakan salah satu stereotip aromantisme.

Avatar
  • September 7, 2022
  • 7 min read
  • 1547 Views
Apa itu Aromantisme: Tak Tertarik pada Semua yang Serba Romantis

Merasakan ketertarikan seksual terhadap semua orang, tapi tidak tertarik secara romantis meninggalkan banyak pertanyaan di benak “Melissa”. Selama bersekolah, ia tidak pernah berpacaran dan naksir dengan seseorang, kecuali kakak kelasnya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Kakak T cakep ya,” kata Melissa menceritakan ucapannya ke salah seorang temannya. Sejak hari itu, temannya menyimpulkan pujian Melissa sebagai ketertarikan romantis, kalau ia naksir dengan si kakak kelas.

 

 

“Komentar itu bikin aku berpikir, ternyata bisa ya temen yang lain (naksir dengan seseorang),” ujar Melissa.

Pekerja lepas itu dulu enggan berkencan atau punya relasi romantis dengan seniornya di sekolah. Melissa mengatakan, ia hanya senang memandang fitur wajah laki-laki tersebut.

Kebingungan dalam diri Melissa berlanjut sampai dirinya masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Perlahan ia mengenal spektrum LGBT. Salah satunya lewat karakter Kurt Hummel (Chris Colfer) dalam serial Glee (2009-2015).

Dari karakter tersebut, Melissa merasa dirinya terwakilkan karena bisa melabelkan ketertarikan seksual terhadap teman-teman perempuannya. Ia mengetahui dirinya biseksual. Kendati demikian, Melissa masih tidak merasakan ketertarikan romantis. Keadaan itu membuatnya semakin bingung. Terlebih karena film dan musik yang secara tidak langsung kerap menyampaikan, “If there is sexual attraction, then there is romantic attraction.”

“Di situ aku mikir, am I a pervert and deprived of morality sampe gini banget? Is it a punishment from Allah?” ungkapnya.

Ada kalanya Melissa memutuskan untuk tidak menyelidiki seksualitas dan hal-hal romantis. Namun, saat bertemu dengan sahabatnya sewaktu kuliah, ia memutuskan untuk melela sebagai seorang biseksual. Ia juga menceritakan tentang ketidaktertarikan romantisnya. Tanggapan sahabat Melissa itulah yang membuatnya semakin mengeksplorasi ketertarikan romantis.

“Ada orang yang aromantic dan aseksual. Elu aromantic but sexual. And it’s okay,” tutur Melissa mengutip ucapan sahabatnya.

Apa itu Aromantisme?

Kalau selama ini kamu lebih banyak mendengar pengalaman orang yang naksir dengan orang lain, mungkin kamu belum familier dengan aromantisme. Aromantisme adalah sifat seseorang yang tidak—ataupun jarang, merasakan ketertarikan romantis terhadap individu. Karena itu, seorang aromantis cenderung tidak ingin memiliki relasi romantis dengan siapa pun, terlepas dari gendernya.

Awalnya, kata “aromantis”—sebutan untuk orang yang tidak memiliki ketertarikan seksual atau disebut juga aro—mulai dikenal sejak awal 2000-an. Berdasarkan catatan Aromantic-Spectrum Union for Recognition, Education, and Advocacy (AUREA), istilah tersebut terbentuk dalam komunitas aseksual.

Yang perlu diingat, aseksual dan aromantis merupakan dua hal berbeda. Jika aromantic tidak tertarik secara romantis, aseksual justru tidak memiliki ketertarikan secara seksual. Namun, belum tentu seorang aromantis juga aseksual. Begitu pun sebaliknya.

Hal itu karena aromantisme berkaitan dengan ketertarikan romantis, bukan hasrat seksual, seperti dijelaskan Stacy Anne Pinto dalam ASEXUally: On Being an Ally to the Asexual Community (2014). Maka itu, seseorang aromantis juga bisa mengategorikan diri dalam orientasi seksual apa pun, seperti lesbian, homoseksual, biseksual, dan heteroseksual.

Sebenarnya, kurang akrabnya masyarakat dengan aromantisme juga dipengaruhi oleh minimnya populasi aromantis. Menurut peneliti Emily Lund, dkk. dalam Examining Concordant and Discordant Sexual and Romantic Attraction in American Adults: Implications for Counselors (2016), jumlahnya hanya hampir sepersen di Amerika Serikat.

Tapi, sikap diskriminatif akibat pemahaman bahwa semua orang adalah alloromantis—punya ketertarikan romantis terhadap individu—sedikit banyak berperan dalam hal ini. Pasalnya, kita tinggal di masyarakat yang menganggap pacaran, menikah, kemudian memiliki keturunan sebagai siklus yang sudah sepantasnya dilakukan setiap orang. Sementara realitasnya enggak demikian. 

Ditambah, kecenderungan untuk mencari kebahagiaan lewat hidup berpasangan secara monogami dan dianggap ideal oleh banyak orang—atau amatonormativity, juga membahayakan aro maupun alloromantis. Sebab, mereka dipaksa oleh standar sosial untuk berada dalam hubungan sekalipun enggak sehat, didorong adanya persepsi buruk di masyarakat terhadap mereka yang single. 

Amatonormativity itu semakin membutakan realitas bahwa sejumlah orang enggak tertarik secara romantis, dan itu bukan suatu hal yang perlu dipertanyakan hanya karena berbeda dengan mereka yang alloromantis.

Sikap diskriminatif itu juga didukung oleh representasi aromantisme dalam media dan budaya populer yang jarang terlihat. Mungkin serial komik Bloom Into You (2015-2019) hanya satu dari segelintir yang terlihat.

Komik lesbian tersebut sebenarnya tentang percintaan. Mulai dari mencari cinta, apa artinya jatuh cinta, cinta monyet, dan seputar cinta di masa muda. Namun, karakter utamanya, Yuu Koito, naksir dengan kakak kelasnya. Ia bingung dengan perasaan tersebut karena menganggap dirinya susah jatuh cinta dengan seseorang.

Kemudian, Koito menceritakan keluh kesahnya kepada Seiji Maki, temannya. Di sebuah percakapan dengan Koito, Maki mengatakan dirinya senang melihat orang lain jatuh cinta. Tapi, ia enggak ingin terlibat dalam perasaan tersebut karena enggak tertarik, sehingga lebih suka menyaksikan mereka yang jatuh cinta.

Selain Bloom Into You, kebanyakan karakter fiksi diciptakan berpasangan atau punya ketertarikan dengan seseorang. Sementara di media, mungkin enggak lebih dari mengungkap penjelasan mengenai aromantisme dan meluruskan stigma atau stereotip tentangnya.

Misalnya takut terhadap komitmen dan keintiman, enggak punya hati, cuma memperdaya, sampai enggak bisa merasakan kasih sayang kepada teman dan keluarga.

Enggak jarang stereotip tersebut datang dari pemahaman masyarakat yang sering kali meyakini, kebahagiaan hanya bisa diperoleh dari cinta dan kasih sayang dengan pasangan. Padahal, sama seperti alloromantis, seorang aro juga bisa mendapatkan kebahagiaan dari hal lainnya. Contohnya lewat relasi dengan teman dan keluarga, hobi, atau ketertarikan dengan bidang tertentu.

Karena itu, yang perlu ditekankan adalah pemahaman, bahwa ketertarikan romantis dan ciri-ciri kepribadian merupakan dua hal berbeda. Pun seorang aromantis bukanlah robot atau sosok manipulatif. Mereka bisa merasakan dan memberikan kasih sayang kepada teman-teman dan keluarga. 

Akibat stereotip dan stigma tersebut, sejumlah teman-teman aro kerap menerima invalidasi sebagai respons dari orang-orang sekitarnya. Misalnya dianggap hanya belum menemukan seseorang yang menarik perhatian, atau memunculkan keinginan menjalin relasi romantis dengannya.

Respons itulah yang menjadi salah satu kebimbangan Melissa dalam mengeksplorasi dirinya sebagai seorang aromantis. Ia mengaku, komentar demikian yang membuatnya ragu dan masih mencari tahu tentang diri sendiri.

“Gimana kalau yang dibilang bener? What if someday I feel romantic attraction? Tapi gimana kalau itu nggak terjadi?” cerita Melissa.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang muncul dalam benak Melissa merupakan satu dari sekian yang dipertanyakan teman-teman aro. Bahkan, ia sempat mempertanyakan kesukaannya terhadap lagu-lagu milik Taylor Swift yang banyak menceritakan kisah cinta, maupun menonton film romcom.

“Am I a fake aro?” tanyanya, mengungkapkan keresahannya saat itu.

Pun di balik pemahaman tentang aromantisme, masih ada beberapa spektrum di dalamnya seperti dijelaskan oleh Logan Plonski dalam tulisannya di them.

Pertama demiromantic, yakni hanya mengalami ketertarikan romantis setelah terikat secara emosional dengan seseorang. Meskipun demikian, ketertarikan romantis yang dirasakan belum tentu langsung kuat.

Kedua, grayromantic. Adalah seseorang yang mengalami ketertarikan romantis atau hanya dalam keadaan tertentu, sehingga mereka tidak sepenuhnya aro maupun alloromantis. Umumnya, mereka tidak tahu apa yang diperlukan untuk tertarik dengan seseorang. Pun perasaannya bisa muncul kemudian hilang, atau berdasarkan kriteria tertentu.

Ketiga, akoiromantic, yaitu mengalami ketertarikan romantis tanpa ada keinginan terbalaskan. Ada juga yang ketertarikannya akan hilang apabila terjadi timbal balik. Keempat, quoiromantic. Merupakan ketidakmampuan untuk membedakan ketertarikan romantis atau platonik.

Kelima, cupioromantic. Dalam spektrum ini, seorang aromantis tetap menginginkan hubungan romantis.

Apabila berkaca pada spektrum kelima, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: apakah artinya seorang aromantis enggak bisa terlibat dalam hubungan?

Aromantisme dan Keterlibatan dalam Hubungan

Kenyataannya, seorang aromantis juga bisa memiliki koneksi dan ikatan dengan orang lain, hanya tidak secara romantis. Sebagian orang justru terikat dalam relasi queerplatonic untuk menjelaskan relasi tersebut. Istilah queerplatonic relationship pertama kali digunakan oleh komunitas aseksual dan aromantis, kemudian semakin dikenal pada 2010-an.

Layaknya hubungan romantis pada umumnya, queerplatonic relationship juga melibatkan komitmen. Dalam hubungan itu, seorang aro bisa tinggal dan mengambil keputusan bersama, menikah, dan memiliki anak dengan partnernya. Perbedaannya hanya terletak pada hubungannya yang lebih platonik, dibandingkan romantis. Pun enggak terbatas pada orientasi seksual atau jenis hubungan monogami, atau poliamori.

Penulis dan terapis seks Stefani Goerlich mengatakan, ada relasi queerplatonic yang terlihat seperti teman dekat dan ada juga yang mirip hubungan romantis. Terlepas dari itu, hubungan ini juga bisa melibatkan afeksi secara fisik seperti lewat pelukan, ciuman, cuddling, dan berhubungan seksual.

“Setiap hubungan queerplatonic berbeda, tergantung pada kenyamanan setiap orang,” tulis Goerlich dalam tulisannya di Psychology Today.

Kendati demikian, belum tentu setiap aro menginginkan relasi queerplatonic. Salah satunya Melissa. Meskipun beberapa waktu lalu ia sempat menginginkannya, kini ia memilih untuk tidak berpasangan.

Selain itu, terlepas dari dirinya yang aromantis, Melissa tetap memandang ketertarikan romantis sebagai bagian dari hidup manusia.

“Aku menganggap that romantic feelings as a part of being human and human interaction. And I saw that in my friends or the popular media,” ucapnya. “I like to watch my friends experience that romance, walaupun aku enggak ada romantic attraction.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *