Dear ‘Bride to Be’, Jangan Lupa Lakukan Negosiasi Seksual Sebelum Nikah
Negosiasi seksual artinya berunding dengan pasangan agar punya aktivitas seksual yang aman dan nyaman sesuai persetujuan bersama. Bagaimana cara negosiasinya?
Tampaknya sampai hari ini, topik seksualitas masih kerap dianggap tabu di kalangan masyarakat. Terlebih masyarakat kita masih banyak yang mengedepankan nilai adat ketimuran dan patriarki–kondisi sosial yang menempatkan perempuan di posisi lebih rendah daripada laki-laki.
Nilai dan norma yang berlaku tersebut cenderung membatasi obrolan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi–khususnya di antara perempuan. Hal ini berdampak pada ketidakberdayaan perempuan dalam mengendalikan hak-hak seksualitas yang dimilikinya serta dampak dari aktivitas seksual yang dilakukannya, meskipun ia sudah menikah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perempuan menikah yang hidup dalam masyarakat patriarki cenderung sulit mengantisipasi konsekuensi dari aktivitas seksual bersama pasangan, termasuk mengalami perkosaan dalam perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan tertular infeksi menular seksual dari suaminya.
Untuk itu, kemampuan perempuan menikah dalam bernegosiasi seksual dengan pasangannya sangat diperlukan.
Negosiasi seksual dalam pernikahan adalah kemampuan berunding dengan pasangan guna mengedepankan aktivitas seksual yang aman dan nyaman sesuai persetujuan bersama. Contoh negosiasi seksual adalah mampu menolak ajakan berhubungan seksual dan menegosiasikan penggunaan kondom dengan pasangan.
Baca juga: 5 Hal Kurang Berfaedah dalam Persiapan Pernikahan
Ancaman Tersembunyi Perempuan Menikah
Negosiasi seksual penting agar perempuan terhindar dari ancaman tersembunyi dalam lingkungan pernikahan yang patriarki, seperti:
1. Perkosaan dalam perkawinan
Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) merupakan fenomena yang masih dialami sebagian besar perempuan, tetapi sering diabaikan. Sebuah studi menyebutkan ada banyak faktor yang “mendukung” terjadinya perkosaan dalam perkawinan, termasuk ideologi, sosial, budaya, dan politik.
Norma sosial di Indonesia masih cenderung enggan mengakui bahwa seks dalam pernikahan tanpa persetujuan merupakan kejahatan yang dapat dihukum. Sebab, cara pandang mayoritas masyarakat terhadap seksualitas dan hubungan di antara pasangan suami-istri masih menganut nilai patriarki.
Banyak yang masih memandang bahwa tidak ada istilah “perkosaan” jika terjadi antara suami dan istri. Perempuan diharapkan untuk selalu memenuhi kebutuhan seksual suami, dan penolakan dianggap melanggar norma pernikahan, bahkan dalam situasi kekerasan. Hal ini juga menyebabkan pengalaman korban perkosaan dalam perkawinan tidak diakui, sulit mencari bantuan, dan mengalami trauma secara terus-menerus.
2. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan merupakan konsekuensi pasti dari hubungan seksual, apalagi hubungan seksual yang dilakukan tanpa alat kontrasepsi. Kita sering mendengar istilah “kebobolan” dari banyak pasangan yang tidak menyangka akan mendapatkan anak karena hubungan seksual “iseng” yang dilakukan.
Dalam hal ini, perempuan sering menjadi pihak yang lebih banyak menanggung konsekuensi dari kejadian kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, baik konsekuensi fisik, mental, maupun sosial.
Laki-laki dan perempuan perlu memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup terkait konsekuensi dari aktivitas seksual yang mereka lakukan agar proses negosiasi hubungan seksual dapat terjadi. Bila perempuan mampu menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya, kehamilan yang tidak diinginkan ini lebih bisa dicegah dibandingkan bila perempuan tidak berdaya dalam menegosiasikan hal tersebut.
3. Risiko terkena penyakit menular seksual
Dampak nyata dari ketidakberdayaan perempuan berikutnya, yaitu meningkatnya kasus human immunodeficiency virus (HIV) dan sifilis pada ibu rumah tangga.
HIV adalah virus perusak kekebalan tubuh yang menyebabkan daya tahan tubuh pengidapnya melemah dan rentan mengalami berbagai masalah kesehatan. Adapun sifilis merupakan penyakit menular seksual akibat bakteri yang sebabkan luka pada alat kelamin dan mulut pengidapnya.
Data Kementerian Kesehatan pada 2023 menunjukkan adanya peningkatan kasus HIV dan sifilis yang didominasi oleh ibu rumah tangga di Indonesia. Jumlah ibu rumah tangga pengidap HIV bahkan lebih banyak daripada pekerja seks komersial maupun gay.
Sejumlah penelitian menyebutkan, penularan HIV pada perempuan yang sudah menikah sering kali berasal dari pasangan atau suami yang memiliki perilaku seksual berisiko, seperti memiliki lebih dari satu pasangan seks. Ada banyak perempuan yang tidak memiliki pengetahuan tentang HIV dan tidak mengetahui kondisi HIV suaminya, sehingga tetap mematuhi suaminya untuk melakukan seks.
Padahal, penularan HIV pada perempuan yang sudah menikah sangat krusial, mengingat mereka merupakan calon ibu yang akan melahirkan seorang anak. Penularan HIV dapat terjadi secara vertikal, dari ibu ke anak. Hal ini perlu dicegah melalui banyak upaya karena membuka peluang tersebarnya HIV ke populasi umum.
Penyebaran HIV di kalangan populasi umum membuat pengendalian HIV di masyarakat semakin sulit dan berpotensi menurunkan kualitas penduduk Indonesia yang dicanangkan mencapai puncak bonus demografi pada 2045.
Baca juga: Menikah Tak Cuma Soal Sayang dan Pesta, Butuh Persiapan Mental
Pentingnya Perempuan Bernegosiasi Seksual
Perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan terkait aktivitas seksual mereka, termasuk hak untuk menolak ajakan berhubungan seksual dan bernegosiasi dalam penggunaan kondom. Namun, banyak perempuan masih terjebak dalam nilai dan norma sosial yang membatasi hak-hak mereka, termasuk karena minimnya pengetahuan perempuan akibat terbatasnya ruang diskusi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Penelitian yang kami lakukan menemukan bahwa pada 2017, hanya 51 persen perempuan menikah di Indonesia yang mampu menolak hubungan seksual dan sebanyak 21 persen atau 1 dari 5 perempuan menikah mampu menegosiasikan penggunaan kondom dengan pasangannya.
Terdapat perbedaan kemampuan negosiasi seksual antara perempuan menikah dengan karakter sosio-ekonomi tertentu. Perempuan menikah yang bekerja, berpendidikan tinggi, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di rumah tangga cenderung bisa bernegosiasi untuk menolak berhubungan seksual dengan pasangannya.
Selanjutnya, perempuan menikah berpendidikan tinggi, memiliki suami berpendidikan tinggi, dan hidup dalam rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang cukup baik, juga bisa bernegosiasi agar suaminya pakai kondom saat seks.
Kemampuan negosiasi seksual pada perempuan menikah merupakan hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari masing-masing individu, pasangan dan keluarga terdekat, hingga lingkungan sosial tempat perempuan tinggal.
Karena itu, meningkatkan kemampuan negosiasi seksual perempuan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak aspek sosial yang perlu diperhatikan untuk memberdayakan perempuan menikah dalam bernegosiasi seksual dengan pasangannya. Aspek sosial yang mengelilingi perempuan akan berdampak pada berbagai bentuk negosiasi, seperti mampu menolak ajakan hubungan seksual maupun menegosiasikan penggunaan kondom dengan pasangan.
Baca juga:Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama
Harus Dimulai Bersama
Pemberdayaan kemampuan perempuan dalam menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangan perlu diupayakan bersama. Sebab, hal ini tidak hanya menyangkut kesehatan dan keselamatan perempuan, tetapi juga kesehatan keluarga dan kualitas generasi penerus bangsa.
Upaya ini perlu didukung oleh pemerintah dalam membuka akses yang lebih luas terhadap pengetahuan seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi. Kendati ilmu kesehatan reproduksi sudah diajarkan di bangku sekolah, diperlukan sarana lain untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang lebih mendalam. Misalnya, dengan membuka ruang diskusi di masyarakat yang melibatkan para pemangku kepentingan, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tenaga kesehatan, serta organisasi yang fokus terhadap pemberdayaan kemampuan negosiasi seksual perempuan.
Diskusi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi juga perlu digalakkan oleh para akademisi dan praktisi yang ingin menyebarluaskan pengetahuan dan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan reproduksi perempuan Indonesia.
Marya Yenita Sitohang, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Riza Fatma Arifa., S.Si., M.Si, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.