Relationship

Kenapa Kita Suka Hancurkan Hubungan Sendiri?

Tiga cara kita menyabotase hubungan asmara, dan tiga cara untuk berhenti melakukannya.

Avatar
  • October 31, 2022
  • 7 min read
  • 1369 Views
Kenapa Kita Suka Hancurkan Hubungan Sendiri?

Kita sudah familier dengan orang yang suka menghancurkan relasi asmaranya sendiri lewat budaya populer. Dalam film 10 Things I Hate About You (1999), misalnya, salah satu tokoh bernama Kat mengatakan tidak tertarik terlibat hubungan asmara. Patrick, yang berupaya mendekatinya, kemudian mempertanyakan gaya berkencannya:

You disappoint them from the start and then you’re covered, right?

 

 

(Jadi kamu berusaha bikin mereka kecewa sejak awal, terus udah, gitu kan?)

Seiring plotnya berkembang, kita jadi tahu ini adalah cara Kat untuk melindungi dirinya sendiri – sebagai cara mengatasi trauma dari hubungan-hubungannya di masa lalu.

Orang lain, sementara, berpindah dari hubungan satu ke hubungan selanjutnya demi mencari “the one”, dan seringkali menilai pasangan mereka dengan sangat kilat.

Dalam serial TV The Mindy Project (2012-2017), Mindy adalah dokter obstetri dan ginekologi (OB/GYN) yang sukses – namun punya kemampuan yang buruk dalam mengelola hubungan asmara. Ia punya segudang hubungan gagal dan juga pasangan-pasangan yang tidak memenuhi ekspektasinya. Mindy mencari kisah cinta yang “sempurna” dengan beragam ekspektasi yang tidak realistis.

Contoh lain adalah tokoh Jacob dalam film Crazy, Stupid, Love (2011). Ia hobi bergonta-ganti pasangan seksual setiap malam untuk menghindari komitmen hubungan yang serius.

Di film yang sama, kita juga berkenalan dengan Cal dan Emily, yang bertahan dalam pernikahan secara jangka panjang, tapi lambat laun menjadi abai terhadap hubungan mereka. Ini membuat mereka harus berpisah. Tapi, seiring mereka fokus memperbaiki diri mereka masing-masing, Cal dan Emily menemukan cara untuk pelan-pelan membenahi hubungan mereka.

Baca juga: Sabotase Relasi: Tanda-tanda, Penyebab, dan Cara Mengatasinya

Sabotase Hubungan Asmara

Saya dan tim mendefinisikan sabotase hubungan asmara (relationship sabotage) sebagai perilaku yang cenderung merugikan diri sendiri di dalam (maupun di luar) hubungan. Sikap ini menghambat suksesnya suatu hubungan, atau berujung membuat kita dan pasangan berhenti memperjuangkannya, sehingga seolah-olah menjustifikasi gagalnya hubungan tersebut.

Yang terpenting, sabotase hubungan asmara adalah bentuk strategi perlindungan diri yang harapannya membuahkan situasi win-win (selalu ‘menang’) bagi orang yang melakukannya.

Dalam hal ini, misalnya, seseorang bisa jadi merasa menang jika hubungannya bertahan meski ia telah berupaya bersikap defensif dan melakukan sabotase. Sebaliknya, jika hubungannya gagal, kepercayaan dan pilihan seseorang untuk ‘melindungi diri’ kemudian tervalidasi.

Kenapa Kita Melakukannya?

Riset kami menemukan, orang-orang menyabotase hubungan mereka utamanya karena perasaan takut – bahkan meski dalam hati, mereka mendambakan hubungan yang dekat dan intim.

Seperti kata musisi Sam Smith dalam lagunya Too Good at Goodbyes:

I’m never gonna let you close to me (Aku tak akan membiarkanmu dekat-dekat denganku)

Even though you mean the most to me (Bahkan jika dirimu adalah orang yang paling berarti bagiku)

‘Cause every time I open up, it hurts (Karena tiap kali aku membuka diri, rasanya begitu sakit).

 

Namun, respons yang berhubungan dengan rasa takut tak melulu terlihat atau mudah untuk kita kenali. Ini karena emosi manusia punya banyak lapisan yang bertujuan untuk melindungi diri kita.

Rasa takut adalah emosi penting yang mewakili kerentanan (vulnerability), dan ini umumnya tersembunyi di bawah emosi permukaan (ataupun lapisan lainnya). Ini bisa berbentuk sikap ‘defensif’ dalam perilaku sabotase.

Baca juga: Bosan dengan Pasangan, Perlukah Kita Lanjutkan Hubungan?

Apakah Pola Ini Tampak Familier?

Sabotase hubungan asmara seringkali tak hanya terjadi sekali saja dalam suatu hubungan. Ia terjadi tiap kali rasa takut seseorang memicu pola-pola respons dari hubungan satu ke hubungan lainnya.

Riset saya menyoroti tiga pola utama terkait sikap dan perilaku yang penting untuk kita kenali.

Sikap defensif

Sikap yang defensif, seperti saat kita marah atau agresif, adalah ‘serangan balik’ terhadap sesuatu yang kita rasa sebagai ancaman. Orang yang defensif biasanya terdorong oleh keinginan untuk memvalidasi diri mereka sendiri: Mereka berupaya untuk membuktikan benar dan melindungi harga diri.

Ancaman-ancaman yang memicu sikap defensif, di antaranya adalah trauma hubungan masa lalu, pergolakan terkait harga diri, perasaan kehilangan harapan, adanya kemungkinan untuk kembali terluka, serta ketakutan akan kegagalan, penolakan, ditinggal seseorang, ataupun komitmen.

Di sisi lain, sikap defensif adalah respons dari insting kita yang kadang-kadang masuk akal.

Orang bisa saja punya keyakinan bahwa hubungan asmara lebih sering berujung “patah hati”. Salah satu responden riset kami merasa lelah terus menerus dikritik dan juga merasa perasaan mereka sering disalahpahami:

Saya melindungi diri saya dari rasa sakit dalam hubungan asmara dengan cara memasang ‘tembok pertahanan’ dan selalu waswas.

Perasaan sulit percaya

Ketika seseorang punya kesulitan mempercayai orang lain, mereka susah percaya dengan pasangan mereka serta kerap merasa iri jika pasangan tersebut memberikan atensi pada orang lain. Orang yang seperti ini bisa jadi merasa tidak aman dan cenderung enggan membiarkan diri mereka merasa rentan (vulnerable) dalam suatu hubungan.

Ini kerap kali merupakan dampak dari pengalaman masa lalu ketika kepercayaan mereka dikhianati, atau berekspektasi untuk dikhianati. Pengkhianatan ini bisa jadi hasil dari kebohongan-kebohongan kecil (white lie) ataupun yang besar (misalnya perselingkuhan).

Para responden menjelaskan, mereka memilih untuk tidak percaya, atau kesulitan mempercayai pasangannya, sebagai cara agar tidak tersakiti lagi. Seorang partisipan riset mengatakan:

Saya tak lagi percaya pasangan-pasangan saya 100 persen. Saya akan terus memikirkan apa yang akan saya lakukan jika mereka pergi atau selingkuh, sehingga saya tidak pernah sepenuhnya ‘berinvestasi’ dalam suatu hubungan.

Kemampuan yang buruk dalam mengelola hubungan asmara

Ini terjadi ketika seseorang punya pengetahuan atau kesadaran yang minim terkait kecenderungan-kecenderungan yang destruktif dalam suatu hubungan. Bisa jadi, sikap ini terbentuk karena seseorang tidak mempunyai panutan (role model) yang baik terkait hubungan asmara, atau interaksi dan kejadian yang negatif dalam hubungan-hubungan masa lalu.

Seorang partisipan riset mengatakan:

Biasanya, yang membuat saya gagal dalam suatu hubungan adalah pengalaman yang minim, role model yang buruk (dalam hal ini orang tua saya), dan juga sikap ketidakdewasaan saya.

Namun, kemampuan untuk mengelola hubungan asmara (relationship skills) bisa dipelajari. Hubungan yang sehat bisa membantu kita mengasah kemampuan ini sehingga kemudian mengurangi sikap defensif dan kesulitan untuk percaya pada pasangan.

Baca juga: Cemburu: Kapan Ini Wajar, Kapan Jadi Tak Sehat?

Konsekuensi Sabotase Relasi Sendiri

Perilaku sabotase tak melulu membuyarkan hubungan asmara. Ini juga tergantung dengan apakah pola-pola ini bersifat jangka panjang.

Bagi orang yang lajang, perilaku sabtotase bisa sejak awal menghambat mereka untuk memulai suatu hubungan. Bagi orang yang sudah berada dalam suatu hubungan, terus menerus menerapkan strategi perlindungan diri secara jangka panjang justru bisa membuat ketakutan-ketakutan mereka menjadi nyata, seperti ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri (self-fulfilling prophecy).

Perasaan kesulitan mengelola hubungan yang intim adalah salah satu alasan utama seseorang mencari bantuan konseling. Kesulitan-kesulitan semacam ini juga berkontribusi signifikan terhadap munculnya kecemasan (anxiety), depresi, dan pemikiran bunuh diri.

Solusi

Saya telah mendengar banyak sekali testimoni dari orang yang menyabotase hubungan mereka, kemudian merasa kehilangan harapan.

Berikut tiga cara kita bisa mencoba mengatasinya:

  • kesadaran: kita harus tahu siapa diri kita terlebih dahulu, beserta trauma emosional (“baggage”) yang kita bawa ke dalam suatu hubungan. Jujurlah pada diri kita sendiri dan juga pasangan kita terkait segala rasa takut maupun hal-hal yang tengah kita hadapi
  • ekspektasi: kita perlu mengelola ekspektasi kita dalam hubungan asmara. Pahamilah apa yang bisa kita harapkan secara realitis dari diri kita maupun pasangan kita
  • kolaborasi: kita perlu berkolaborasi dengan pasangan dalam menerapkan strategi-strategi untuk mempertahankan hubungan yang sehat. Ini berarti belajar bagaimana berkomunikasi dengan lebih baik (dan berupaya untuk senantiasa jujur, meski membicarakan topik yang menantang) serta menunjukkan kedewasaan kita untuk bersikap fleksibel dan penuh pengertian – apalagi jika sedang berkonflik.

Di atas segalanya, tak boleh kehilangan kepercayaan bahwa kita bisa punya hubungan yang sehat, dan selalu pantas untuk disayang.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Raquel Peel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *