December 20, 2025
#WaveForEquality Issues Politics & Society

Tujuh Bulan Berjalan, Bagaimana Peran GATI sebagai Gerakan Nasional? 

BKKBN meluncurkan program GATI untuk menjawab fenomena ‘fatherless’. Namun, tanpa dukungan struktural yang memadai, beban perawatan tetap lebih banyak membebani ibu.

  • November 30, 2025
  • 6 min read
  • 1825 Views
Tujuh Bulan Berjalan, Bagaimana Peran GATI sebagai Gerakan Nasional? 

Setelah bercerai, Rangga, 43, belajar mengasuh anak perempuannya seorang diri. Ia menghadapi pertanyaan yang tak pernah diajarkan pada laki-laki. Misalnya, sampai usia berapa ayah boleh memandikan anak perempuan, cara mengatur pengasuhan saat ia bekerja, atau bagaimana merawat relasi anak dengan ibu kandungnya. 

“Saya tanya-tanya sama orang tua, tetangga, dan cari komunitas orang tua tunggal,” ujarnya. 

Kebingungan seperti ini menunjukkan absennya negara dalam mendukung ayah menjalankan peran perawatan. Selama ini, perawatan dianggap domain ibu, sehingga bikin ayah sulit mendapat support system selain nasihat informal keluarga atau internet. 

Padahal, Rangga mampu melakukan perawatan dasar, seperti memandikan, mengganti popok, memberi makan. Sebab, ia sendiri dibesarkan dalam keluarga yang melibatkan anak dalam pekerjaan domestik. Baginya, perawatan dan kerja rumah seharusnya melekat pada semua gender. 

Sayang, masyarakat masih menginternalisasi peran gender tradisional, membagi tanggung jawab pengasuhan pada ibu dan finansial pada ayah. Salah satu dampaknya terlihat dalam fenomena fatherless, yakni absennya figur ayah dalam kehidupan anak, secara fisik maupun emosional. Data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada 2021 menyebutkan, 20,9 persen anak Indonesia kehilangan peran ayah di keluarga. 

Pemerintah meresponsnya dengan meluncurkan program Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) pada April 2025. Harapannya, ayah terlibat aktif dalam merawat dan mendampingi anak. 

Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah mengantar anak ke sekolah dalam program Sekolah Bersama Ayah (Sebaya). Direktur Bina Ketahanan Remaja Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Edi Setiawan menjelaskan, mengapa momen tersebut penting. Yakni menunjukkan kepedulian bagi anak, serta memberikan ruang bagi ayah dan anak untuk mengobrol. 

Pertanyaannya, apakah program tersebut bisa meningkatkan keterlibatan ayah dalam perawatan anak? 

Baca Juga: Salah Paham BKKBN soal ‘Fatherless’: Tak Cuma Ayah yang Bisa Mencontohkan Kepemimpinan

Peran GATI dan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak 

Sehari-hari, Satria, 35, membangunkan dan menyiapkan keperluan sekolah anak-anak—dari perlengkapan hingga kesiapan mengikuti kuis dan ujian. Ia juga menyusun rencana pendidikan, serta menyokong kegiatan anak-anak untuk bermain, baca buku, dan olahraga. 

Sementara istri Satria, biasanya terlibat dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Namun, pembagian tugas ini cenderung fleksibel. Selama bisa dikerjakan, Satria dan istri bergantian melakukannya. 

Bagi Satria, kentalnya peran gender tradisional di masyarakat, sempat menjadi tantangan dalam menjalankan peran sebagai ayah yang hadir. Ia pun tak punya figur yang dicontoh, karena dibesarkan oleh ayah yang lebih banyak bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial. 

“Jadi meraba-raba (peran ayah seperti apa). Sambil belajar dari buku dan internet, tanya ke anak-anak, apa yang diharapkan dari ayah,” ucap Satria. “Ternyata simple, mereka ingin saya ada untuk nemenin main.” 

Kesadaran Satria untuk terlibat dalam pengasuhan anak, berawal dari merefleksikan pengalaman masa lalu. Sebagai anak, ia melihat dan memperbaiki pola asuh orang tua yang kurang ideal. Misalnya ayah Satria yang melewatkan pertandingan karena harus bekerja. Pengalaman itu membuat Satria merasa harus terlibat untuk kegiatan di luar sekolah, supaya anak-anak merasa didukung.  

Secara psikologis, ketidakhadiran ayah dalam tumbuh kembang anak menciptakan kesenjangan empati—atau tidak mampu memahami pengalaman emosional orang lain. Sebab, ada ruang kosong dalam diri anak yang seharusnya diisi oleh teladan, validasi, dan dialog emosional dengan ayah. 

Ini menjelaskan mengapa ayah dan ibu berperan saling melengkapi dalam pola pengasuhan. Menurut ahli komunikasi psikologi Geofakta Razali, interaksi dengan ayah membantu anak belajar meregulasi emosi, keberanian, dan kemandirian. Anak juga belajar memproses konflik, menyampaikan pendapat, dan mengekspresikan perasaan.  

Karena itu, dalam jangka panjang, fenomena fatherless berdampak pada cara anak meregulasi emosi, kemampuan membangun relasi, dan memengaruhi kepercayaan diri. 

Melihat GATI yang bertujuan meningkatkan keterlibatan ayah, program ini juga berperan untuk menggeser pandangan masyarakat terhadap peran ayah dalam keluarga. 

Baca Juga: Akun Instagram ‘Bermain Bersama Bapak’, Solusi Fatherless 

“Kalau negara mengakui bahwa ayah harus aktif dalam pengasuhan, masyarakat akan melihat itu sebagai norma baru,” kata Geofakta. 

Pengakuan pemerintah diikuti dengan menyusun empat layanan utama dalam GATI: Bilik Konsultasi Ayah, Konsorsium Komunitas Penggiat Ayah Teladan, Desa/Kelurahan Ayah Teladan, dan Sebaya. Lewat keempat layanan tersebut, pemerintah ingin menyosialisasikan pentingnya kehadiran ayah dalam perawatan anak. 

Untuk mengukur sejauh mana GATI membentuk keteladanan ayah, Edi membagikan empat indikator utama yang digunakan. Pertama, indikator interaksi dengan melihat apakah ayah membacakan buku, olahraga bersama, memandikan, menyuapkan makanan, dan main dengan anak. Kedua, indikator aksesibilitas, mencakup sejauh mana kehadiran ayah ketika anak membutuhkan—meski tak tinggal atau sedang tidak di rumah. Contohnya melalui telepon atau percakapan di media sosial. 

Ketiga, indikator tanggung jawab yang meliputi kebutuhan finansial dan pengambilan keputusan penting terkait kehidupan anak—seperti menentukan sekolah anak. Keempat, indikator keterlibatan dalam tugas domestik. 

Namun, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi GATI di masyarakat. Sebab, baik Rangga, Satria, maupun Ardha—kreator konten asal Bali yang mengunggah konten parenting, belum familier dengan program tersebut. Ketiganya sekadar mendengar soal layanan Sebaya, dan menilai ini belum tentu solutif untuk jangka panjang. 

Lalu, sosialisasi seperti apa yang perlu dilakukan agar GATI efektif dalam menekan isu fatherless?  

Baca Juga: Kenapa Ayah Jarang di Rumah, ‘Fatherless’ dan Memori Masa Kecilku

Solusi yang Ideal 

Selama tujuh bulan berjalan, Edi menuturkan tantangan dari program GATI. Di antaranya para ayah yang minim terbuka terhadap layanan yang ditawarkan, serta bingung membagi waktu antara mencari nafkah dan peran perawatan. 

“Di bilik konsultasi, ayah-ayah ini jarang bercerita atau ngungkapin yang ada dalam pikirannya. Mungkin malu harus bertanya soal pengasuhan,” ucap Edi. 

Butuh edukasi jangka panjang agar para ayah menyadari peran mereka lebih dari tanggung jawab finansial. Lewat GATI, BKKBN berusaha menyosialisasikan bahwa untuk terlibat dalam pengasuhan, bukan berarti ayah harus selalu berada di rumah seperti ibu. Melainkan memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi dengan anak, jika sedang tak berada di rumah. 

Sementara menurut Ardha, GATI dapat dibagi ke beberapa layanan dengan menggandeng stakeholders. Pertama, sosialisasi soal peran ayah pada laki-laki yang akan menikah. Kedua, edukasi lewat rumah sakit atau bidan, supaya ayah siap mendampingi selama kehamilan dan melahirkan. Ketiga, perusahaan menghadirkan aktivitas terkait keayahan berupa seminar, atau mengajak anak ke kantor. 

“Semua sektor harus ikut berperan (menyuarakan pentingnya peran ayah), termasuk public figure dan content creator. Nanti semakin banyak masyarakat yang aware,” tutur Ardha. 

Sebenarnya, para ayah yang juga aktif sebagai kreator konten pengasuhan anak, bisa menjadi contoh bagi ayah lain. Geofakta menilai, peer-to-peer modeling sangat efektif karena ayah lebih percaya pada yang sudah mempraktikkan. 

Namun, itu saja tak cukup. Pemerintah juga harus mendukung keterlibatan ayah secara struktural lewat kebijakan cuti ayah, fleksibilitas jam kerja, dan kelas parenting berbasis komunitas sebagai fondasi. Sebab, kebijakan di Indonesia saat ini masih membebankan tanggung jawab peran perawatan pada ibu—terlihat dari jangka cuti melahirkan dan kesempatan kerja perempuan yang cenderung lebih sedikit daripada laki-laki. 

“Kalau sistemnya nggak mendukung, nggak realistis berharap perilaku (ayah) berubah,” terang Geofakta. 

Sebab, tumbuh kembang anak dan kestabilan keluarga bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu—seperti yang “dididik” pemerintah Orba melalui ibuisme. Ayah juga berperan dalam menjaga keutuhan keluarga, yakni dengan menjadi ayah yang hadir. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.