Aroma Seksualisasi ‘NewJeans’, Grup ‘Idol’ K-Pop di Bawah Umur
Kerap mempekerjakan ‘idol’ di bawah umur, kenapa industri K-Pop sukar berbenah?
Sebelum Blackpink comeback pada (19/8), industri K-Pop dihebohkan oleh girl grup baru naungan sub label HYBE, ADOR besutan Min Hee Jin. Adalah NewJeans yang terdiri dari lima anggota, yaitu Danielle, Minji, Hyein, Haerin, dan Hanni.
Berbeda dengan format umum debut idol K-Pop yang merilis jadwal debut, sneak peak album, hingga poster setiap anggota, kemunculan perdana NewJeans di dunia hiburan tidak diumumkan secara resmi oleh agensi. Ya, mereka secara tiba-tiba muncul di belantara industri K-Pop dengan merilis video musik “Attention”, (21/7) tanpa fafifu atau pemberitahuan sebelumnya.
Kemunculan mendadak ini kemudian disusul oleh berbagai video musik untuk semua lagu b-side dari EP debut mereka “New Jeans”. Dengan promosi unik dan lagu-lagu lintas genre vibes 2000-an, penggemar K-Pop banyak yang langsung jatuh cinta pada mereka.
Hal ini terlihat dari performa lagu-lagu NewJeans yang menduduki peringkat tinggi di tangga lagu utama di Korea Selatan, seperti Melon Music Charts. Per (24/8) misalnya, “Attention” masih menduduki peringkat pertama di grafik streaming real-time mengalahkan “Pink Venom” dari Blackpink. Sementara, lagu mereka yang lain seperti “Hype Boy” dan “Cookie” masing-masing menduduki posisi 3 dan 10.
Kendati debut NewJeans terbilang sukses, ada masalah genting yang perlu kita bahas bersama. Apa itu?
Baca Juga: Seruan untuk Penggemar K-Pop: Stop Bela Pelaku Pelecehan Seksual
Objektifikasi dan Seksualisasi
Kita paham industri K-Pop sedari dulu menyimpan sederet masalah. Mulai dari jam kerja yang panjang dan tak masuk akal, kesehatan mental idol yang belum jadi prioritas, sampai kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Sudah banyak protes yang dilontarkan para penggemar K-Pop hingga membuat industri itu bersolek diri.
Sayangnya, ada satu masalah yang relatif sukar hilang, karena cenderung dinormalisasi oleh pelaku industri. Adalah mengobjektifikasi dan menseksualisasi member idol K-Pop di bawah umur. Ya, selain karena musik dan konsep NewJeans yang unik dan mampu memberikan potongan nostalgia pada penggemar K-Pop generasi 90-an, hal lain yang membuat NewJeans jadi banyak perbincangan adalah karena grup ini terdiri dari anak-anak di bawah umur.
Anggota tertua di grup ini bahkan baru berusia 18 tahun (Kim Min-ji dan Hani), sedangkan yang termuda adalah Lee Hye-in yang masih berusia 14 tahun. Padahal menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Remaja dari Pelecehan Seksual Korea Selatan, yang dimaksud dengan “anak-anak dan/atau remaja” adalah orang-orang yang berusia di bawah 19 tahun.
Dengan usia yang bahkan belum legal secara hukum, anak-anak ini harus berhadapan dengan dunia industri yang jelas bukan dibentuk ramah bagi mereka. Kendati mereka menyanyikan lagu yang bertema tentang persahabatan atau problematika remaja, di saat bersamaan, mereka dipaksa menyanyikan lagu-lagu percintaan orang dewasa.
“Cookie” misalnya, dilansir dari Korean Herald, mengundang kontroversi karena menggunakan metafora seksual di dalamnya. YouTuber Kim Tae-hoon dari saluran pengajaran bahasa Inggris Bridge TV berkomentar, “Banyak orang berdebat keras tentang arti kata ‘Cookie‘ dalam lagu ini. Di sini ‘Cookie‘ berarti alat kelamin perempuan. Itu adalah fakta. Mereka yang mengklaim ini tidak benar hanya menutup mata terhadapnya. Sepertinya perusahaan memberi tahu para anggota untuk mengatakan, ‘Kami membuat album ini seolah-olah kami membuat kue dengan cinta. Itu hanya omong kosong.”
Selain diharuskan menyanyi lagu yang ternyata memiliki arti seksual yang implisit, anggota NewJeans juga tampil dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh dan menari dengan koreografi yang cukup seksi. Hye-in, anggota termuda NewJeans, baik di video musik atau panggung sering tertangkap kamera memakai baju seksi. Ia memakai bra top, tank top, dan hot pants lalu harus melakukan dance routine yang banyak menonjolkan gerakan yang berpusat pada bagian tubuh seperti pantat, payudara, dan pinggul.
Baca Juga: Bertabur Kekerasan, Mungkinkah ‘Fandom’ Jadi Ruang Aman Perempuan?
Normalisasi yang Terus Dilanggengkan
Pada awal-awal berjayanya K-Pop, kita kenal BoA yang didebutkan ketika ia berusia 13 tahun dan Taemin SHINee serta Krystal f(x) pada usia 14 tahun. Debut mereka saat itu, jadi perdebatan panas penggemar K-Pop dan warga Korea Selatan sendiri. Banyak yang menganggap usia mereka terlalu muda untuk didebutkan di dunia hiburan, sehingga cenderung rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Namun kini, idol yang debut di usia belum genap 15 tahun banyak bermunculan. Bahkan kata Lee Gyu-tag, profesor studi musik dan media di George Mason cenderung dinormalisasi dan jadi tren tersendiri.
Dalam wawancaranya bersama KoreaJoongDaily, Lee mengatakan, tren ini awalnya muncul karena maraknya program audisi trot (genre musik pop Korea Selatan). Program seperti “Miss Trot” (2019-21) and “Mr. Trot” (2020) menciptakan tren lahirnya idola cilik di dunia hiburan Korea Selatan. Gagasan tentang kontestan super muda normal tapi sayang, arahnya berubah ketika masuk ke industri hiburan K-Pop.
“Sementara program trot mengharapkan para kontestan anak-anak untuk tampil layaknya usia mereka, industri K-Pop justru mengharuskan mereka yang berusia remaja awal untuk berperilaku seperti artis K-pop profesional. Saya tidak yakin seberapa pantas bagi anak-anak untuk bertindak terlalu dewasa untuk usia mereka,” ungkap Lee.
Hal ini terlihat dari hasil laporan Kwon Sunt’aek, reporter dari Media News (midiŏ nyus) pada 2010. Dalam laporannya, Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga menemukan setidaknya enam puluh persen selebriti remaja perempuan mengaku ditekan untuk mengekspos tubuh mereka sendiri.
Lebih lanjut, dalam penelitian Idol republic: the global emergence of girl industries and the commercialization of girl bodies (2011) dijelaskan, mendebutkan idola K-Pop di bawah umur utamanya perempuan menandakan bagaimana tubuh anak perempuan diobjektifikasi sebagai komoditas normatif di bawah mentalitas pemerintah perusahaan. Agensi atas seksualitas mereka dicabut paksa dan diseksualisasi untuk dijadikan sumber penghasilan perusahaan-perusahaan, yang mayoritas masih dipimpin oleh laki-laki.
Peneliti Yeran Kim memberikan gambaran terhadap komersialisasi tubuh anak perempuan melalui keberadaan samchon-fans yang jadi sumber penghasilan besar perusahaan idol. Samchon-fans adalah penggemar laki-laki berusia 30 hingga 40-an yang menyukai figur idola perempuan dan tergabung dalam fandom. Banyak dari mereka mengklaim dan bersikeras hanya menghargai kemurnian anak-anak perempuan ini.
Sayangnya klaim mereka ini dinilai berbeda dari realitas karena idol K-Pop di bawah umur, diharuskan tampil dengan lagu, pakaian, dan dance routine yang bahkan tak diperuntukan untuk anak-anak seusia mereka. Reposisi industri yang melibatkan anak perempuan dalam struktur patriarki seperti ini, kemudian memungkinkan laki-laki dewasa untuk secara aman dan intim menikmati tubuh anak perempuan.
Dengan membenarkan dan mendorong konsumsi hiburan berbasis seksualitas anak perempuan yang sebenarnya dieksploitasi, ini cenderung jadi sarana untuk melegitimasi pandangan laki-laki atau male gaze. Di saat bersamaan mengajari anak-anak perempuan untuk melakukan seksualisasi diri.
Semua obsesi terhadap para anak perempuan idola yang tersebar di industri K-Pop ini menyatu dalam konstruksi apa yang kita sebut nasionalisme Lolita. Di sini, Lolita tidak hanya mengacu pada makhluk fantasi pedofilia laki-laki dan seksualitas bawah sadarnya, tetapi juga pada metafora seorang gadis seksi yang melayani kebutuhan pasar mediascape saat ini.
Baca Juga: Industri K-Pop Memang Toksik, Tapi Kritik Terhadapnya Suka Salah Sasaran
Dampak dan Apa yang Harus Dilakukan
Lim Myung-ho, profesor psikologi di Universitas Dankook yang memiliki spesialis dalam psikiatri anak dan remaja mengatakan, anak-anak atau remaja yang debut di usia belia rentan mengalami masalah kesehatan mental. Isolasi dan kurangnya interaksi sebaya akan memengaruhi perkembangan psikologis dan coping mechanism mereka sebagai orang dewasa kelak.
“Bahkan jika mereka menjadi bintang, ada kemungkinan besar mereka akan merasa sulit untuk menangani emosi atau menjadi tangguh ketika menghadapi stres. Mereka mungkin juga sangat terpengaruh oleh komentar kebencian, kemudian menjadi tidak mampu mengatasi dan berubah menjadi perilaku merusak diri sendiri, yang telah kita lihat dilakukan oleh banyak idol,” ungkapnya dikutip dalam KoreanJoongDaily.
Debut di usia belia memang jadi satu masalah, tapi kita tahu banyak dari mereka juga diobjektivikasi dan diseksualisasi. Hal ini sangat berpengaruh pada well being mereka hingga dewasa. Jika di Korea Selatan speak up soal kesehatan mental masih jadi hal tabu, di Barat yang sudah cukup terbuka, kita bisa melihatnya langsung dari kasus beberapa penyanyi dan aktor perempuan seperti, Britney Spears dan Jennette McCurdy.
Kendati Britney Spears jadi ikon legendaris sampai diberi julukan Princess of Pop, pengalamannya debut di usia muda memperlihatkan bagaimana dampak dari objektivikasi dan seksualisasi yang ia terima selama di industri hiburan.
Menurut berbagai pemberitaan di Amerika ia telah menderita bulimia sejak dia berusia 16 tahun. Ia juga depresi dan sempat membotaki kepalanya yang justru oleh media dilihat hanya sebagai usahanya mencari sensasi.
Konservatori kemudian diberlakukan pada 2008 setelah Spears dirawat di rumah sakit menyusul serangkaian insiden publik yang menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan mentalnya. Dilansir dari Forbes, Pengadilan Los Angeles memberi ayahnya kendali atas tanah miliknya dan keputusan medisnya dan hal ini berjalan lebih dari 12 tahun lamanya.
Tak jauh berbeda dengan Spears, Jennette McCurdy yang baru-baru ini mengeluarkan memoarnya juga membagikan ceritanya tentang pengalaman yang dia alami selama jadi aktor cilik.
Dilansir dari Vox, McCurdy mengatakan bagaimana dulu tubuhnya hanya dilihat sebagai komoditas yang tidak lagi sepenuhnya di bawah kendalinya dan ia mengalami pelecehan seksual dari seorang karyawan Nickelodeon yang dikenal sebagai “The Creator.” Dampaknya pun terlihat dari bagaimana kesehatan mentalnya menurun dan ia memiliki gangguan makan atau eating disorder sampai ia harus melakukan perawatan medis.
Melihat dampak yang ditimbulkan tak main-main, maka ada satu hal yang perlu ditanyakan atas hak-hak anak di bawah umur di Korea Selatan. Apakah hak-hak mereka dijamin dalam undang-undang? Apakah secara khusus ada undang-undang yang melindungi mereka dari objektivikasi dan seksualisasi oleh pihak tertentu?
Secara hukum Undang-Undang Perlindungan Anak Korea (ch’ŏngsonyŏn pohobŏp) adalah undang-undang yang paling terkait erat dengan isu ini. Secara kolektif, undang-undang ini berusaha untuk melindungi baik kaum muda yang berpartisipasi dalam pertunjukan musik, dan kaum muda yang menjadi basis konsumen yang ditargetkan oleh K-pop.
Untuk melindungi konsumen muda, Pasal 8 menjelaskan, Komite Perlindungan Anak dapat menilai materi media untuk membatasi akses oleh anak di bawah umur. Pasal 9 menyajikan “Kriteria Pembahasan Materi Media yang Berbahaya bagi Remaja”, menetapkan jenis konten apa yang tidak boleh diizinkan.
Di Pasal 11 terdapat penjelasan tentang pengaturan mandiri perusahaan dan distributor yang dibantu oleh Komite Perlindungan Remaja untuk menyeleksi apakah konten terkait sudah “aman” atau belum.
Sayangnya, dikutip dalam penelitian Juvenile Protection and Sexual Objectification: Analysis of the Performance Frame in Korean Music Television Broadcasts (2013), bahasa yang tidak jelas dari pasal ini mempersulit penegakan hukum di industri K-Pop sendiri. Dalam hal ini klausa berbahaya tak dijelaskan lebih mendetail dalam undang-undang ini.
Untuk memperbaiki rumpangnya undang-undang di Korea Selatan, pada 2020 portal berita Korea Selatan Naver melaporkan Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah menyiapkan rencana aksi melalui diskusi dengan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata, Komisi Komunikasi Korea, Asosiasi Produser Hiburan Korea, Federasi Manajemen Korea, dan Asosiasi Manajemen Hiburan Korea.
Rencana aksi ini nantinya antara lain memuat:
- Pemeriksaan, pengenaan denda, dan pembatasan kerja terhadap pelaku kejahatan seksual dan pemenuhan pendidikan seks wajib bagi para selebriti di bawah umur.
- Polisi peradilan khusus akan ditugaskan untuk menindak perlindungan hak selebriti di bawah umur untuk istirahat dan pendidikan yang layak yang disebutkan dalam Undang-Undang Pengembangan Industri Budaya dan Seni Populer (akan dilengkapi dengan pedoman yang lebih spesifik).
- “Pedoman penampilan TV standar” akan dibuat untuk saluran penyiaran utama untuk melindungi selebriti di bawah umur yang muncul di TV. Untuk klausul yang tidak mencantumkan batasan hukum, seperti klausul tentang berapa lama selebriti di bawah umur dapat memberikan layanan mereka tergantung pada usia mereka, akan diubah dengan memasukkan denda yang akan dikenakan jika peraturan tersebut tidak diikuti.
- Untuk menghilangkan stres dan kekhawatiran yang dimiliki selebriti dan trainee di bawah umur, konseling psikologis dan karir yang disediakan oleh Pusat Dukungan Budaya dan Seni Populer KOCCA akan diperluas untuk memungkinkan 350 klien dari 100 klien saat ini
Dari poin-poin yang disebutkan, akan dibahas dan dirumuskan dalam rencana aksi mungkin terlihat cukup progresif. Namun, masalahnya tetap sama dan tak langsung menyasar pada permasalahan utamanya yang timbul dari mendebutkan idola di bawah umum.
Dalam pembahasannya, tak ada satu poin pun yang mengurai tentang pentingnya batas usia minimal seharusnya seseorang masuk ke dalam industri hiburan. Pun, tak ada satu pun pembahasan tentang minimal usia penggemar yang dibolehkan berinteraksi langsung dengan idola di bawah umur.
Nihilnya poin penting ini menggarisbawahi tentang bagaimana pemerintah Korea Selatan berikut agensi hiburan yang ada jadi manifestasi nyata dari motor penggerak komersialisasi tubuh anak perempuan. Tak peduli mereka debut pada usia berapa pun asalkan “hak-hak” mereka lain terpenuhi.
Sampai kapan pun idol di bawah umur utamanya perempuan akan diobjektivikasi dan diseksualisasi jika tak ada regulasi yang secara jelas menetapkan batasan hukum. Maka dari itu, butuh usaha dari para idola itu sendiri, orang tua, atau agensi yang lebih sensitif terhadap isu ini untuk mulai membicarakannya sebagai bagian dari masalah darurat yang harus segera diperbaiki.
Selama tak ada satu pun yang berusaha mengubahnya bahkan dari industri itu sendiri, maka selamanya pula industri ini tak akan pernah aman bagi anak-anak utamanya bagi anak-anak perempuan.